Cover by me
Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.
Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.
Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.
Lanjut baca langsung ya disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Miss to Mrs
Tim Avengers yang di pimpin oleh Abri berhasil menguasai pos kedua terdapat beberapa warga yang di sandera juga beberapa anak buah dari penjahat itu. Walau mereka sempat kewalahan melawan karena jumlah musuh cukup banyak di sana, tapi semangat mereka tak gentar untuk melawan dan menyelamatkan para penduduk. Yang kini sebagian sudah di amankan.
"Oke, ingat tujuan awal kita. Selamatkan penduduk desa dan rebut kembali desa yang sebagian besar sudah mereka kuasai." Kata Abri melalui earpiece memberi komando. Ia berada di balik pohon bersembunyi bersama dengan Denis dan juga Marvin.
"Siap komandan!" Sahut para anggota Abri kompak.
Situasi sudah memanas dan mencekam sejak siang tadi sejak mereka memasuki pos kedua dan para komplotan penjahat itu mulai menyadari keberadaan mereka dan menyerbu dengan pasukan yang jauh lebih banyak dari tim Avengers.
Abri mengintip dari balik pohon keberadaan musuh.
Dor!
Dor!
Dor!
Peluru peluru itu langsung menyerbunya. Segera Abri menarik kepalanya untuk kembali bersembunyi. "Howkeye dan sniper lainnya bersiaplah di tempat," instruksi Abri.
"Roger sir!" Seru Gilang, si jago bidik tim Avengers, bersama rekan-rekannya yang sudah menempati posisi sniper.
Abri memberi arahan pada tiga anggota yang ikut bersamanya, mereka akan maju. "Gatot kaca, Thanos, Hulk, Thor, kita bergerak."
Mata Denis membulat ia mencekal tangan Abri yang sudah akan beranjak dari tempat persembunyian mereka. "Bang! Tunggu dulu! Wah, bahaya ini pesan mayor Malik Abang gak boleh lecet seujung kuku pun. Biar kami aja yang maju." Denis ingat pesan dari atasannya itu untuk menjaga Abri.
"Kalau calon mantu Panglima lecet sedikit aja, siap-siap kalian saya kirim minta maaf sambil merangkak ke rumah dinas Jenderal Hamzah!" Begitu kira-kira pesannya.
"Di sini atasan kalian itu saya bukan mayor Malik, bergerak!" Perintahnya tegas, dingin dan tak ingin di bantah itu membuat Denis kicep.
Mau tak mau semua anggota Abri mendengarkan perkataannya. Abri mulai bergerak di ikuti anggota yang di sebutkan Abri namanya tadi. Mereka mulai bergerak, menuruni lereng, menuju titik masuk ke desa.
"Sniper lindungi kami di area ini. Saya yang memimpin untuk mencoba masuk lebih dalam lagi ke desa." Arah Abri lagi.
"Roger!" Para sniper berseru mendengarkan perintah Abri di atas tebing.
Dor!
Dor!
Dor!
Baku tembak langsung terjadi begitu Abri dan anggotanya keluar dari tempat persembunyian.
Bles!
Bles!
Bles!
Seperti kata Abri tadi para sniper yang di perintahkan untuk melindungi mereka melepaskan amunisi dan tentunya tepat sasaran.
"Gocha!" Seru Gilang melalui earpiece begitu musuh yang ia bidik tumbang.
"Stick together," perintah Abri, tak boleh ada yang berpisah. Mereka membentuk lingkaran bermaksud menyerang musuh dari arah manapun dan tentunya juga saling melindungi satu sama lain.
"Siap!"
"Arah jam sembilan komandan!" Seru Marvin. Abri langsung sedikit menyerongkan tubuhnya.
Dor!
Dor!
Dor!
Tiga musuh tumbang begitu timah panas dari senapan milik Abri di lepaskan.
"Arah jam sepuluh!" Dico juga ikut berseru.
"Sniper, cover kami!"
"Roger!" Sahut Gilang dan yang lain dari earpiece.
Bles!
Bles!
Bles!
"Wow! Gagal nikah dah ini komandan!" Kata Gilang lagi, begitu ia berhasil membidik dan melihat rombongan musuh lainnya datang. "Mereka ngajak tawuran. Anjir!"
"Mundur komandan! Mereka bawa RPG!" Seru Gilang lagi ketika melihat salah satu musuh mereka membawa senjata rudal darat.
"We will not back down. Itu tugasmu!" Tanggap Abri tak gentar, ia masih menembak beberapa musuh yang lain tak sempat untuk membidik target yang di katakan Gilang.
"Aelah, emang dia kucing punya sembilan nyawa? gue yakin komandan pasti gagal nikah besok." Gerutu Gilang. Walaupun begitu Gilang tetap mendengarkan perintah Abri, ia mulai membidik musuh yang tengah membawa bazoka itu.
Dor!
Bles!
"Lari!"
Boom!
Bersamaan dengan rudal yang meledak, amunisi yang di lepaskan oleh Gilang mengenai targetnya.
"Mampus! Mau rusak acara makan daging kita besok Lo hah?! Langkahi dulu mayat gue. Gue anter duluan Lo ke malaikat Izrail." umpat Gilang lewat earpiece, puas.
"Anjay, howkeye!" Dico turut kagum dengan kepiawaian Gilang dalam membidik jarak jauh.
"Good job," puji Abri pada kerja Gilang yang tak pernah mengecewakan. Mereka sudah tiarap di atas tanah setalah tadi sempat berlari menghindari rudal.
Yang di puji tersenyum dengan angkuhnya "Beh, ikan sepat ikan lele, babang Gilang tamvan ini leee~" Jawabnya sombong.
"Muncung kau itu kek ikan sepat, telat sedetik kita yang kau antar ke malaikat Izrail," walaupun tepat sasaran kepiawaian Gilang tentu saja mendapat umpatan juga dari Ibam.
Gilang cekikikan "mau ngeprank malaikat Izrail yang lagi nonton sambil tunjuk tunjuk siapa aja yang pantes mati."
"Matamu!" Denis pun ikut memaki Gilang yang otaknya sudah mulai mereng. Ngeprank malaikat pencabut nyawa katanya?
Dico, Marvin malah cekikikan dan tentunya mereka langsung mendapatkan pelototan mematikan dari Abri dengan wajah kesalnya. Bisa bisanya dalam keadaan mencekam begini mereka masih bercanda.
"Fokus!" Pekik Abri membuat Dico, Ibam, Marvin ,Denis dan anggota Abri yang lain berseru "Siap salah komandan!"
Tapi tidak untuk Gilang ia malah mengeluarkan celetukan nyelenehnya lagi "Elah, biar kendor dulu bang urat uratnya yang pada tegang. Humor penting buat mental tempur.”
Yang satu ini… lebih cocok jadi anggota Srimulat ketimbang sniper pasukan elite.
_________________
"Win, kenapa mata aku di tutup gini sih? Gelap aku takut. La bukain dong, aku takut la." Windy dan beberapa pekerjanya di studio menutup mata Moza dan menggiring gadis itu pergi ke kamarnya, tak satupun dari mereka mendengarkan rengekan dari Moza yang saat ini memang benar-benar ketakutan setengah mati, ia Taruma tempat gelap sejak kejadia mengerikan di mall dan membuatnya membayangkan tragedi mengerikan itu. Keringat dingin pun sudah mulai timbul sangking takutnya.
"Kayak Bocah dah za, bentar lagi kita sampai. Sabar." Kata Windy tidak ambil pusing.
"Tapi win–"
"Surprise!!" Seru mereka begitu sampai dan membuka kain penutup mata Moza.
Pintu kamar Moza di buka lebar memperlihatkan kamarnya yang kini sudah di dekorasi dengan nuansa merah muda warna favoritnya di padukan dengan putih juga, terdapat tulisan balon di dinding 'Miss to Mrs'.
Yang membuat Moza langsung paham ini acara bridal shower yang di persiapkan oleh Windy dan juga dua anggota di studionya. Moza pun menyadari ketiganya memakai pakaian dengan warna serupa, yaitu piyama tidur berbahan satin berwarna merah muda dengan pita berwarna senada di kepala mereka. Begitu juga Moza ia tadi juga di paksa memakai piyama berwarna putih. Ana menyematkan pita berwarna senada dengan piyama yang Moza kenakan ke atas kepalanya.
Moza menoleh ke kanan, ke kiri, menatap mereka satu persatu secara bergantian. Ketakutan Moza tadi langsung menghilang entah kemana di ganti dengan raut kaget dan tak percaya, juga bahagia "i-ini apa win?" Tanya masih setengah sadar. Kedua tangannya menutup mulut.
"Kejutan buat calon nyonya Abrizam!" Seru Windy, Laila dan juga Ana heboh menyerukan nama Abri yang mereka belum ketahui rupanya seperti apa. Moza juga tidak memiliki foto pria itu sama sekali.
Boro boro foto, nomor hp aja gak punya.
Pantas saja waktu sudah mendekati tengah malam Moza malah di usir dan di suruh keluar kamar tidak di perbolehkan masuk ke dalam kamarnya sendiri ternyata mereka tengah mempersiapkan ini untuknya.
Moza tak bisa menahan rasa bahagia yang di rasakannya saat ini, gadis cantik itu tersenyum begitu lebar sampai membuat mata besar indahnya menyipit dan berembun sangking bahagianya. Ia sangat terharu.
Pelukan Moza dapatkan dari anggotanya yang sudah seperti keluarganya sendiri, membuat tangis bahagianya seketika tumpah.
Windy lebih dulu mengurai pelukan mereka "Anjir, Lo kenapa malah nangis Dodol?" tangan Windy dengan entengnya menoyor kepala Moza, namun gadis itu malah makin menangis kencang dengan di iringi tawa bahagia "kalau mau ketawa, ketawa aja ogeb. Jangan pakai nangis. Ketularan gue anjir!" Air mata Windy tak bisa di tahan lagi ia akhirnya ikut menangis.
Moza tersenyum di tengah tangisnya "Aku seneng win. Makasih atas surprise kalian ini. Aku gak nyangka akan dapat hal kayak gini dari kalian," wajah Moza benar benar menyiratkan kebahagiaan, menatap ketiga anggotanya.
"Huwa... Abis ini gak ada lagi dong temen yang bisa gue jadiin tumbal acara jodoh jodohan emak gue za," adunya karena teringat selama ini selalu Moza yang ia jadikan tumbal perjodohan itu.
"Itu tandanya kamu harus segera nyusul aku."
"Huwaa... Kak Moza tetap masih ke studio kan setelah nikah? Nggak ninggalin kita demi jadi Ibu Persit full-time, kan?" Laila memeluk erat tubuh Bu bos cantiknya itu dengan air mata yang juga ikut tumpah. Tapi mulut Moza bungkam. Ia tak tau harus menjawab apa karena dia masih takut hanya untuk keluar rumah.
"Eh, cukup dong drama-dramaannya! Ini bridal shower, bukan FTV!" Ana protes sambil bertepuk tangan, berusaha menghidupkan kembali suasana riang.
Semua tertawa setuju. Mereka langsung berpencar. Laila menutup pintu kamar, Ana mengambil kue dari pojok ruangan, dan Windy memasangkan selempang pink fanta di badan Moza.
Mata Moza melotot membaca tulisan yang ada di selempang tersebut. Tau apa tulisannya?
'Moza siap di cocol'
Padahal ada banyak tulisan yang lebih sopan dari itu misalnya 'bride to be'. Sungguh... memalukan!
Tatapan Moza langsung jatuh ke pada Windy tentunya siapa lagi yang berani melakukan hal itu kalau bukan dia.
Yang di tatapan dengan tampang tak bersalahnya menjawab "loh, kenyataan guys. Habis akad, resepsi, trus... di cocol."
Seketika, pipi Moza bersemu merah. Kata-kata frontal dari mulut nggak ada akhlak Windy itu bikin jantungnya nyaris copot.
"Lo kan gak mau di ajak keluar ya kan, bapak jenderal juga gak ngasih. Jadi nanti Lo harus keliling rumah dan selempang ini harus tetap Lo pakek."
Mata Moza melotot mendengar perkataan Windy yang sepertinya memang bertujuan ingin membuatnya malu. Rumahnya lagi ramai loh karena baik keluarga dari Hamzah maupun Clara sudah ada di sana. Masih belum pada tidur juga. Jangan gila deh.
"Bener banget! Tapi sebelum itu mukanya kak Moza harus di coret coret dulu dong, supaya lebih memorable" timpal Ana tak kalah semangat dari Windy.
"Memangnya kalau mau nikah harus di permalukan kayak gini dulu ya?" Tanya Moza tak habis pikir. Memakai selempang dengan tulisan aneh itu saja sudah membuat Moza malu, apa lagi sampai wajahnya di coret coret.
"Harus. Ini itu sebagai kenang-kenangan dan bukti kalau masa muda kita penuh dengan kegilaan." Windy memberi penjelasan dengan menggebu.
"Terima aja kali kak, masih mending cuma keliling rumah dan di lihat keluarga. Ketimbang kita suruh keliling Jakarta." kata Laila, mungkin jika karena tidak di larang oleh Hamzah saat ini Moza sudah mereka suruh keliling Jakarta.
"Karena itu keluarga Laila malah makin buat malu."
"Mereka paham kok za, yuk buruan yuk. Untuk malam ini putusin urat malu Lo dulu."
Akhirnya mau tak mau Moza mengangguk, ia pasrah terserah mau di apakah oleh mereka malam ini.
Begitu selesai di coret coret tentunya Moza langsung di giring untuk keliling rumah memperlihatkan mahakarya mereka bertiga di wajah Moza kepada sanak keluarga gadis itu, tentunya Moza malu bukan kepalang, belum lagi tulisan nyeleneh di selempang itu membuat Moza selain mendapatkan malu juga mendapatkan godaan dari para keluarganya.
Di antara tiga gadis yang malam ini berhasil membuat malu, tentunya Windy yang paling puas tertawa.
Dan begitu sudah lewat tengah malam para rekannya itu pamit pulang karena besok mereka juga harus bangun pagi sekali untuk menemani Moza di hari akadnya.
"Bye, bye calon pengantin. Jangan di kekepin terus baju cheongsamnya ya, jangan kayak bocil yang gak sabar nunggu lebaran Lo." canda Windy dari jendela mobil.
Moza tertawa, melambaikan tangan dari depan pintu. Wajahnya kini bersih, hanya selempang itu yang masih belum dilepas atas larangan Windy.
"Iya, hati-hati ya kalian!" ucapnya pelan.
Begitu mobil Windy keluar dari kediaman keluarganya, Moza pun menutup pintu. Ia menunduk membaca kembali selempeng yang ia kenakan.
Blush!
Pipinya kembali bersemu membayangkan hubungan seperti apa yang di maksud dalam selempang itu.
Astaga!
Apa besok malam ia benar benar akan di cocol?
Memikirkan hal itu membuat Moza kembali senyum senyum sendiri. Ia begitu bahagia mengingat hari esok dimana ia akan di persunting oleh Abri, yang merupakan pria yang langsung membawa lari hatinya jauh sebelum perjodohan ini terjadi.
Ya, Moza sudah memiliki ketertarikan jauh sebelum ia tau akan di jodohkan dengan siapa. Lebih tepatnya saat dirinya di jadikan tumbal oleh sahabatnya, Windy. Sejak saat itu setitik perasaan aneh pada Abri mulai merasukinya. Awalnya Moza mencoba menenggelamkan perasaan itu, agar tak mencuat ke permukaan mengingat pertemuan-pertemuan tak terduga mereka hanyalah sebuah kebetulan, namun kini, ia menyimpulkan jika semuanya bukan cuma sekedar kebetulan, tapi takdir dan anugerah.
Rasanya Moza sudah tak sabar ingin hari esok segera tiba dan melihat wajah Abri yang sudah dua Minggu ini tak pernah ia lihat lagi. Tak tau dimana rimbanya.
"Heh, ngapa mesam mesem di depan pintu?" Moza terlonjak di tempatnya, menatap Julian yang sepertinya baru keluar dari ruang kerja. Wajah sang kakak sulungnya itu lalu terlihat seperti menahan tawa "masih di pakek aja itu selempang?" tunjuknya dengan bibir ke arah selempang yang melekat di tubuh adiknya.
Moza langsung menunduk menatap selempang yang masih ia kenakan. Astaga! Ia lupa masih memakai selempang memalukan itu. Dengan cepat ia melepaskannya dan berlari pergi dari sana, tentunya di iringi dengan tawa renyah dari mulut Julian, yang tampak puas melihat wajah malu Sang adik.
Langkah kaki Moza yang tadinya sempat berlari kini memelan begitu ia mendengar suara gaduh dari dalam kamar kedua orangtuanya yang sedikit terbuka.
Awalnya ia tak begitu penasaran, namun karena sayup-sayup namanya dan calon suami di sebutkan berulang kali membuat Moza perlahan mendekat.
"Gimana ceritanya bisa Abri berangkat misi Pi? Besok itu acara pernikahan dia dan Moza, gimana kalau sampai besok dia belum balik? Gimana kalau terjadi apa apa sama Abri? Gimana sama Moza Pi, gimana?!"
Deg!
Tubuh Moza membeku di tempat. Itu suara Clara... Dia tak salah dengarkan?
"Mi, pelankan suara kamu, nanti kalau Moza dengar gimana?" Hamzah mencoba meredam.
Sudah terlambat. Moza sudah mendengar segalanya.
"Apa bedanya Moza denger atau gak kalau sampai besok pun Abri belum pulang juga. Apa bedanya?!"
"Za, ngapain disini?" tanya Julian.
Kontan pasangan suami-istri yang tengah cekcok itu kontan menoleh, Hamzah dengan perasaan was-was mendekat dan membuka pintu kamar. Ia seketika membeku mendapati sang putri di depan pintu kamarnya.
"Oza!" ucap kedua pasturi itu menatap kaget dan tak percaya pada putri bungsu mereka.
"Pa-papi..." Mati-Matian Moza menahan suaranya agak tak terdengar bergetar. Matanya juga mulai mengembun bersiap akan tumpah. "Itu... Itu gak bener kan Pi?" Dadanya begitu sesak mengetahui jika calon suaminya masih tengah berjuang di medan perang di saat saat terkahir mendekati hari pernikahan mereka. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Abri? Air mata Moza tak mampu di bendung lagi dan langsung tumpah ruah begitu Hamzah mendekap erat tubuhnya.
"Maafin papi za. Papi gak bisa menghentikan Abri."
_________________
Dor!
Dor!
Dor!
Boom!
Boom!
Semakin larut suasana desa yang sedang di sandera oleh para teroris itu semakin mencekam, pertumpahan darah gak bisa di elakkan baik itu dari tim Avengers maupun dari tim teroris. Seluruh penduduk juga kini sudah di evakuasi menggunakan helikopter ke posko evakuasi.
Tim avengers mulai terpojok para teroris mulai mengepung mereka. Belum lagi persediaan senjata mereka cukup mempuni entah dari mana mereka mendapatkan itu semua yang jelas persenjataan mereka tak kalah kuat dari tim kopassus.
"Mundur, mundur! Rudal mereka meluncur kesini, sembunyi!" Seru Dico membuat yang lain pontang panting berlari menyelamatkan diri.
"Kimak lah! Amunisi mereka gak abis abis!" Umpat Ibam kesal setengah mati.
"Gagal kawin, udah yakin ini mah, gagal kawin!" Tak jauh berbeda Gilang malah terus mengatakan hal yang sama sejak siang tadi. " peluru ku tinggal sepuluh," selanjutnya ia memberitahu persediaannya sudah menipis.
"Semuanya, tiarap!" Seru Abri tak mendengar begitu jelas apa yang di katakan Gilang saat melihat kembali RPG itu melesatkan rudalnya ke arah mereka. Semuanya pun spontan tiarap.
Boom!
Rudal mini itu meledak tepat di belakang tak jauh dari mereka.
Syukur meleset.
"Kapten, bagaimana sekarang?" Tanya Marvin yang tiarap di samping Abri dan mulai bingung juga putus asa. Nafas mereka semua sudah naik turun, raut lelah juga sudah terpancar dengan wajah yang sudah Basah akibat keringat.
Bagaimana tidak? Ini sudah dini hari bahkan menjelang pagi, persediaan senjata dan amunisi mereka sudah kian menipis dan masa tenggat waktu yang di sepakati sudah hampiri tiba, tapi musuh masih belum menyerah. Abri harus memikirkan taktik baru untuk segera mengakhiri misi kali ini dengan sukses.
Di tengah kekalutan itu tiba tiba saja Ibam menoyor kepala Denis membuat sang empu tentunya marah tak terima. "Apanya kau bam?! Kau toyor toyor pulak kepala yang di pitrai bapak ku ini!"
"Heh, koplak. Dari tadi ku perhatikan kau bawa RPG juga di punggungmu, mau ku tanya dari tadi cuma muncungku belum sempat ngomong karena sibuk nembaki musuh. untuk apa kau bawa itu heh?" Melenceng dari apa yang di utarakan oleh Denis, Ibam malah mengatakan hal lain yang menganggu pandangannya sejak tadi sore menyadari senjata yang mirip musuhnya itu ada di tangan Denis.
Astaga!
Denis seketika menepuk jidat, tadi sore saat ia sempat melakukan kontak tembak dengan salah satu musuh dan tentunya kontak itu di menangkan oleh Denis, ia pun memeriksai tubuh musuhnya untuk mengambil persediaan pria itu dan juga senjata yang di milikinya yang merupakan RPG yang di pegang oleh Denis saat ini.
Denis cengengesan "lupa aku we, ini komandan" ia melepaskan senjata yang di maksud itu dari tubuhnya "tapi gitu amunisinya cuma satu." Lanjutnya menyerahkan senjata itu pada Abri.
Dan bagai angin segar, Abri tersenyum lebar, menepuk pundak Denis bangga. "Bagus Hulk, kasih sama Thor dia ahli dalam memakai RPG"
Denis memberikan senjata itu pada Dico.
"Thor kau yang terbaik dalam hal ini, lakukan. Kami akan melindungi mu dengan tembakan." Ia beralih menatap Dico, dan dengan yakin Dico mengangguk patuh. "Dalam hitung mundur kita akan kejutkan mereka." Tambahnya lagi.
"Siap!"
Mereka mengambil tempat dan mulai bersiap.
"Three, two, one, go! Suppresing!" Mereka keluar dari tempat persembunyian, melindungi Dico supaya bisa menembakkan satu satunya amunisi harapan mereka tepat sasaran.
Dor!
Dor!
Dor!
"Thor, do it!" Seru Abri begitu melihat peluang. Dico mengambil tempat dan,
Boom!!
Markas utama musuh mereka meledak seketika. Jumlah para teroris itu berkurang banyak, hanya tinggal beberapa saja membuat tim Avengers di atas angin.
"Ikan sepat ikan lele, Anjay nyong timur lee," suara Gilang yang sejak tadi tak terdengar kembali mengisi.
"Fokus! Jumlah mereka tinggal sedikit, bersiap dan habisi!"
"Siap komandan!"
Dor!
Dor!
Dor!
Baku tembak kembali terjadi. Tim Avengers menyapu bersih para teroris. Tak menyisakan satu orang pun yang hidup.
"Para penduduk telah di evakuasi, desa kembali di dapat. Mission clear."
biasanya bergerak dlm senyap tiba" harus diapresiasikan lwt kata"
berasa nano nano
mkasih thor akhirnya pnantian berakhir manis🤭🤭🤭😊
kangen kak Chika eh salah kangen abri Moza deh wkwkwkwkkwkkk
lanjuuuuuutttt....