Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8.
Seharian ini, mood Arka benar-benar buruk. Wajahnya muram seperti langit mendung yang enggan memberi cahaya. Alisnya terus bertaut, rahangnya mengeras, dan bola matanya tajam menatap layar laptop, tapi nyaris tak ada pekerjaan yang tersentuh. Rasa kesal itu masih menyala, membara di dalam dada—menyulut gelombang emosi yang sejak pagi belum reda. Semua berawal dari satu hal: telepon dari Mbok Mirna.
Ruang kerja yang biasanya nyaman dan rapi kini terasa dingin dan menyesakkan. Seolah dinding-dindingnya ikut menyerap kekesalan pemiliknya. Suasana suram itu cukup membuat karyawan enggan melintas, apalagi masuk. Hanya Arman—si kembaran santai yang kadang menyebalkan—yang masih betah duduk di sana.
Ia sudah dua jam berada di ruangan itu, duduk menyilang kaki sambil memutar-mutar bolpoin di tangan. Sesekali melirik Arka yang terus mengetik tanpa suara. Tak ada sapaan, tak ada diskusi ringan seperti biasanya.
"Kamu masih marah?" tanya Arman akhirnya, mencoba membuka percakapan dengan nada ringan. "Kalau begitu aku nggak usah pergi menjenguk papa."
Arka tidak langsung menjawab. Jarinya tetap menari di atas keyboard, meski tidak benar-benar fokus. Lalu, tanpa menoleh, dia berkata datar, "Bukannya sudah aku bilang semalam? Kamu boleh pergi menemui papa."
Arman mengangguk, lalu mendengus kecil. Ia tahu Arka sedang tidak ingin diusik, tapi bukan berarti dia bisa diam saja. "Setelah kupikir-pikir lagi, aku juga malas lihat muka Mak Lampir itu," celetuknya. "Jangan-jangan nanti aku kena kutukan dan berubah jadi anak durhaka."
Arka hanya menatap layar, tak bergeming. Tapi sudut bibirnya sedikit tertarik—nyaris tak terlihat.
"Lebih baik aku pergi kencan aja. Hidup tuh harus dinikmati," lanjut Arman sambil berdiri dan merentangkan tangan. Suaranya dibuat ceria, mencoba menulari energi positif, walau gagal.
"Tidak ada yang lebih baik," sahut Arka dengan suara rendah namun tegas. Tatapannya kini beralih ke Arman, tajam dan menusuk. "Sebaiknya kamu pergi periksa keadaan vila-vila kita. Aku dengar ada tamu bodoh yang merusak fasilitas di salah satu vila."
Arman mendesah keras. "Cih, aku itu butuh hiburan biar semangat hidup, malah disuruh inspeksi lapangan," keluhnya sambil mengambil kunci mobil. Meski begitu, ia tidak membantah lebih jauh. Dia tahu, jika Arka sudah menunjukkan ekspresi seperti itu, debat hanya akan membuat suasana semakin tegang.
Begitu pintu tertutup, Arka menyandarkan punggungnya ke kursi. Kepalanya terasa berat. Ia meraih ponsel, lalu segera menghubungi seseorang.
"Bagaimana keadaannya?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Pak Surya dibawa ke rumah sakit. Tapi keadaannya sudah membaik," jawab suara di seberang. Suara tenang milik detektif pribadi yang sudah bekerja lama untuknya.
"Kalau ada apa-apa, cepat hubungi aku."
"Baik, Pak Arka."
Arka hendak menutup panggilan ketika suara di ujung sana memanggil lagi dengan nada tergesa, "Pak Arka, sebentar ...!"
Alis Arka langsung naik. Ia menempelkan kembali ponsel ke telinga. "Ada apa?"
"Ini mengenai Bu Soraya," kata si detektif pelan, seolah takut ada yang mendengarnya. "Saat ini, dia dan anaknya yang mengendalikan perusahaan. Ada desas-desus kalau siapa pun yang tidak tunduk pada mereka, akan langsung diberhentikan. Sudah ada beberapa staf yang dimutasi tanpa alasan jelas."
Mata Arka menyipit. Tangannya menggenggam ponsel lebih erat, rahangnya kembali mengeras. Wajahnya memucat oleh amarah yang melonjak tiba-tiba.
"Dasar Mak Lampir! Sejak awal sudah kelihatan belangnya. Tapi, papa masih saja bilang kalau wanita jalang itu baik!" desisnya geram, nyaris seperti menggeram. Suaranya rendah tapi penuh racun.
Rasa bencinya terhadap Soraya semakin mengakar. Ia tidak hanya marah karena perempuan itu telah merebut perhatian ayahnya, tapi karena sejak datang, Soraya mengubah segalanya—mengadu domba, mengambil alih, merusak harmoni yang dulu pernah ada. Dan kini, anaknya yang bahkan tak memiliki ikatan darah dengan Pak Surya, berani bertindak seolah-olah dia pemilik sah segalanya?
Tidak. Arka tidak akan tinggal diam.
Sementara itu, di balik kemudi, Arman memacu mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ibu kota. Jalanan yang lengang dibelah oleh laju kendaraan mewahnya, namun pikirannya jauh lebih padat dari lalu lintas mana pun. Di dalam benaknya, pertanyaan terus berputar—benarkah ayahnya sakit? Atau ini hanya drama murahan lainnya dari pria yang dulu memanggil dirinya anak?
"Awas saja kalau kali ini juga hanya tipu daya agar aku pulang," gumamnya sambil menggertakkan gigi.
Sudah terlalu sering Pak Surya berpura-pura lemah demi menyatukan kembali keluarga yang sudah tercerai-berai akibat ulahnya sendiri. Dan Arman, walau selalu bersikap sinis, masih punya sedikit ruang dalam hatinya untuk mengecek kebenaran setiap kabar.
Alasannya bukan hanya karena hubungan darah—tapi karena warisan. Beberapa aset kekayaan milik keluarga Abimana bersifat khusus. Untuk pencairan atau pergerakan besar, dibutuhkan dua tanda tangan: dari pemilik utama dan dari para ahli waris. Dan sayangnya, Arman dan Arka adalah kunci dalam permainan ini. Mereka bukan sekadar anak. Mereka adalah kunci legalitas.
Empat jam perjalanan terasa hambar. Bahkan playlist musik favoritnya pun gagal mengusir rasa jengah. Begitu mobilnya berhenti di pelataran rumah sakit, Arman segera turun dan melangkah cepat ke ruang rawat yang tertera di pesan.
Begitu membuka pintu, waktu seolah berhenti. Pandangannya langsung bertemu dengan sosok yang sudah mengisi daftar musuh abadinya—Bu Soraya. Wanita paruh baya itu masih setia dengan dandanan glamor: gaun desainer, sepatu hak tinggi mengilap, dan tas mewah yang mencolok. Parfum mahalnya langsung memenuhi udara. Penampilannya lebih cocok untuk acara gala dinner, bukan menemani suami yang tengah dirawat.
Raut wajah Arman langsung berubah kaku. Sorot matanya dingin, penuh jijik dan kebencian yang telah lama mengendap.
"Akhirnya kamu datang juga, Arman," sapa Bu Soraya dengan suara manis palsu yang nyaris membuat perutnya mual.
"Aku datang untuk melihat keadaannya saja," balas Arman dengan nada setajam belati.
Dia berjalan mendekati brankar. Di sana, Pak Surya terbaring lemah, wajahnya pucat dan tubuhnya tampak lebih kurus dari terakhir kali Arman melihatnya. Pria itu tampak rapuh dan tua—sangat tua dari terakhir mereka bertemu.
Bukan simpati yang lahir dari dada Arman. Justru sebaliknya. Sebuah kepuasan dingin mengalir perlahan.
"Melihat keadaan Papa saat ini, entah kenapa aku senang sekali," ujar Arman pelan, namun menusuk. Wajahnya tak menunjukkan iba sedikit pun.
Mata Arman menatap ke arah wanita yang berdiri angkuh di sisi lain ranjang. "Semoga saja wanita kesayanganmu juga bisa seperti dirimu secepatnya," sambung pria itu, suaranya penuh racun.
"Apa kamu bilang?!" teriak Bu Soraya, matanya membelalak marah. Ia berdiri, bahunya berguncang karena emosi. Gincunya tampak retak di sudut bibir, seperti topeng yang mulai luntur.
"Papa, kamu tidak boleh mati dulu," lanjut Arman dengan nada dingin. "Kamu harus melihat sendiri bagaimana wanita kesayanganmu itu mati perlahan-lahan ... mengenaskan. Supaya kamu tahu, rasanya seperti apa waktu mama dulu dihancurkan."
Telinga Bu Soraya memerah, wajah memucat sekaligus memanas. Amarahnya tak bisa dibendung lagi. Tanpa pikir panjang, dia melangkah maju dan mengayunkan tas tangannya—tas seharga ratusan juta rupiah yang kini jadi senjata penuh emosi.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗