“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyeri di Dada
“Maaf,” kata Zayn dengan santai. Dia segera duduk di sebuah mobil yang telah dipersiapkan. Dia diberi tempat duduk di depan. Dia adalah tokoh utama yang akan sangat berperan dalam acara kali ini.
Untuk sesaat Zayn lupa dengan nyeri yang dia rasakan. Dia baru sadar ketika Faiz dan Faisol meminta duduk di pangkuannya.
“Aku mau duduk di depan, dengan Pakde,” kata kedua bocil dengan mimik yang menggemaskan.
“eh...eh,” kata Khadijah sambil menggapai kedua. Dia hendak menahannya. Tapi terlambat. Mereka telah turun dari mobil berlari, menghampiri Zayn.
Keduanya pun melompat ke dalam pangkuan Zayn secara bersamaan. Berebut tempat yang nyaman di paha pakdenya. Tak ada yang mengalah. Zayn pun merengkuh keduanya untuk didudukkan di kedua pahanya.
Tak sengaja, kepala mereka mengenai dada Zayn. Tepat di bagian yang terkena tendangan Sapri.
“Astaghfirullah al adzim...sakit sekali,” gumamnya dalam hati. Sontak Zayn memegangi dadanya. Mukanya memerah, menahan nyeri.
“Ada apa, Zayn?” tanya Yakub, suami Khadijah.
“Nggak apa-apa, Yakub. Hanya kedua jagoanmu ini nggak bisa tenang,” kata Zayn dengan asal. Dia tak mau Yakub maupun kedua bocil itu mengetahuinya apanyang dia rasakan saat ini.
Padahal Zayn merasakan nyeri tidak terkira. Sekali-kali dia memejamkan mata sambil mengatur pernafasan. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya berlahan-lahan. Siapa tahu, rasa sakitnya bisa berkurang.
Namun sayang, cara tersebut hanya sedikit membantunya. Rasa nyerinya makin mantap, ia rasakan. Seiring dengan kehebohan yang keponakannya lakukan.
Mereka benar-benar tak bisa diam. Bertepuk tangan dan berperang sambil tertawa di pangkuannya. Yang sesekali tangan kecilnya menyasar di dadanya. Ups...
Dadanya makin nyeri. Sampai-sampai keringat dingin keluar dari dahinya. Dan dia hanya bisa menggigit bibir, untuk menahan rasa nyeri. Tanpa bisa menghentikan kedua bocil yang bergerak makin aktif di pangkuannya.
“Faiz Faisol, berdiri dulu ya,” kata Zayn yang hendak membersihkan dahinya dari keringat dingin.
Keduanya berdiri dengan patuh. Zayn segera mengatur duduknya agar bisa bernafas dengan nyaman. Namun sayang, kenyamanan itu hanya dia dapatkan sesaat. Begitu Zayn duduk tenang, mereka melompat ke pangkuannya kembali.
“Ya Allah,” ucap Zayn kaget. Zayn menggigit bibirnya sambil berdesis. Mereka bukannya kasihan, malah tertawa senang.
Beginilah nasib, kalau terlalu dicintai oleh keponakan. Begitu bertemu, langsung berbuat kehebohan. Untuk saat ini lebih mirip keonaran deh. Membuat dirinya berdarah-darah mengatasi rasa sakit. Hehehe...
Dari pada melerainya, Zayn memilih diam dan menyandarkan punggungnya. Nikmati saja.
“Kalian tenanglah. Kasihan Pakde,” Yakub melihat Zayn seperti sedang tidak baik-baik saja. Dia merasa kasihan. Tapi saat ini, bukan waktunya untuk peduli. Dia harus mengemudikan mobilnya dengan cepat agar tiba tepat waktu di tempat acara.
Tapi wajar saja, cobaan yang biasa oleh seseorang yang akan melakukan ijab qobul. Dia pasti nervous menghadapi saat-saat yang mendebarkan, saat-saat mengucapkan ijab qobul di hadapan penghulu.
Terlihat dahinya keluar keringat dingin. Seperti yang terjadi pada dirinya saat harus mengucapkan ijab qobul beberapa tahun yang lalu, Saat dirinya mempersunting Khadijah, adik Zayn.
Tak lama kemudian, mereka telah sampai di tempat yang dituju. Di sebuah masjid jami` yang megah dan mewah, terletak di dekat rumah Zara.
Begitu turun, keluarga Zara datang menyambut mereka. Dan membawa mereka langsung ke dalam masjid. Di sana telah menunggu Anggota keluarga Zara yang lain dan juga petugas KUA.
Tak banyak yang menghadiri majlis inj, sekitar lima belasan orang yang didominasi oleh laki-laki. Hanya satu dua yang ikut dari keluarga Zara.
Zayn melihat sekeliling, di mana gerangan Zara berada. Senyum Zayn mengembang, saat melihat seorang gadis yang ia cari, sedang duduk dengan tegang di antara Bunda dan tantenya.
Zara terlihat sangat cantik dengan kebaya pink beby dengan hiasan kepala sederhana di atas kerudungnya yang berwarna senada.
Dengan diiringi oleh Abah dan Yakub menuju ke hadapan petugas KUA. Di sana telah menunggu ayah Zara, Sulaiman, pak Camat dan pak Kades, sebagai saksi.
“Apakah acara sudah dapat kita mulai, Pak Kyai?” tanya Mc.
“Ya, ya.” Kyai Munif mengangguk-anggukkan kepala dan melambaikan tangannya. Dia mempersilahkan acara untuk segera dimulai.
Sulaiman dan Zayn duduk berhadap-hadapan di samping penghulu dan petugas KUA.
“Bapak Sulaiman, Gus Zayn, Siap?”
“Insyaallah,” jawab keduanya.
“Bisa syahadat dulu, Gus?” tanya Penghulu.
Pada saat Zayn akan mengucapkan syahadat. Dia merasakan nyeri dadanya kambuh. Dan terasa sangat-sangat sakit. Telapak tangan dan seluruh mukanya dipenuhi dengan keringat dingin. Namun demikian ia mampu mengucapkan syahadat dengan sempurna.
“Sekarang ijab qobul, siap Gus Zayn,” ucap penghulu kemudian.
“Insyaallah.”
“Ini pakai bahasa apa?” tanya penghulu.
“Bahasa Indonesia saja,” jawab Sulaiman.
Bahasa Indonesia?... Zayn terkejut. Dia mempersiapkan diri dengan lafadz arab bukan bahasa Indonesia.
Dia bingung, melirik ke kanan dan ke kiri. Siapa tahu Abahnya bisa mengubah situasi. Tapi yang diliriknya tak merasa. Kyai Munif tampak tenang, menyimak dengan apa yang terjadi.
Ah sudahlah, semoga bisa. Bismillah....
Sebelum melakukannya, Zayn mengambil nafas berlahan-lahan beberapa kali. Agar sakit yang sampai saat dia rasakan, tidak sampai mengganggu konsentrasinya.
Sulaiman dan Gus Zayn berjabat tangan dengan erat.
Dengan sura lantang Sulaiman berkata,
“Aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya Zara binti Sulaiman, dengan mas kawin berupa perhiasan seberat 25 gram dan seperangkat alat shalat dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya dengan Zara binti Sulaiman e....”
Nyeri di dadanya terasa menghujam, sehingga Zayn tak bisa meneruskan kata-katanya.
Dia menggigit bibirnya sambil memejamkan mata, tak peduli dengan nafas berat terdengar dari orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Kyai munif memandang Zayn sesaat sambil berpikir, apa yang terjadi dengan putranya saat ini. Mengucapkan kalimat qobul yang begitu mudah, kok tak bisa.
“Kita ulang sekali lagi, nggeh. Semoga kali ini lancar,” harap pak penghulu.
“Siap Gus Zayn?”
“Baiklah. Insyaallah,” ucap Zayn setelah merasakan nyeri dadanya sedikit berkurang.
Kembali lagi ayah Zara berkata dengan suara sedikit melembut dari yang pertama.
“Aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya Zara binti Sulaiman, dengan mas kawin berupa perhiasan seberat 25 gram dan seperangkat alat shalat dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya dengan Zara binti Sulaiman dengan mas kawin...uhuk..uhuk...uhuk.” Sekali lagi, Zayn tak bisa menyempurnakan kalimat qobulnya.
Dia batuk-batuk hingga beberapa kali. Membuat semua yang hadir semakin tegang.
Demikian juga dengan Zara yang tengah duduk diapit oleh Bunda dan tantenya. Dia tegang dan gelisah. Matanya tampak berkaca-kaca. Bukan karena sedih atau bahagia. Melainkan ketegangan dan kegelisahan.
Dia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi, jika Gus Zayn tidak berhasil mengucapkan kalimat qobulnya dengan sempurna. Tak terasa satu butir embun bening lolos dari sudut matanya.