Pengasuh Bayi Professor

"Tatto harimau?"

Aku terdiam di kesunyian malam, bersama dengan hujan yang turun berintikan. Hawa dingin membuatku tenggelam, tenggelam dalam bayang-bayang rasa penasaran.

"Aku tidak akan salah mengenali gambar mematikan ini. Dia adalah milik pria waktu itu, dan kini kutemui lagi dia, dengan rupa yang tak pernah kusangka; pria itu adalah majikanku sendiri, Pak Bima."

Malam yang membingungkan. Satu hal yang menyelamatkanku dari gelisah adalah berangkat tidur. Kutinggalkan Pak Bima di atas sofa sana, tanpa menyelesaikan apa yang tadinya ingin kukerjakan. Tapi, sebelum itu aku harus mematikan weker ku untuk beristirahat. Aku ingin beristirahat sampai matahari naik ke langit tinggi. Menenangkan jiwa-jiwa ku yang telah melayang, melambung bebas, dengan semua kenyataan dan hal-hal yang datang hari ini. Sementara urusan tentang Pak Bima dan Tatonya, akan ku pikirkan besok. Saat hatiku mungkin jauh lebih tenang.

Besok paginya, embusan angin yang memukul pepohonan yang penuh embun membuat aroma hujan yang telah reda tetap bertahan membangunkan aku dari rasa lelah yang panjang.

Aku bangun dengan perasaan malas.

Ingatan tentang tatto di dada Pak Bima masih jelas teringat dalam pikiranku. Ku pikir hanya mimpi, mimpi yang ingin segera ku akhiri. Sebab, aku tak mau dipenuhi prasangka buruk tentang Pak Bima hanya karena sebuah tatto yang belum jelas kenyataannya.

Aku segera bangkit sambil membersihkan kamar, kemudian melanjutkan dengan beres-beres rumah, kulihat di ruang tengah Pak Bima masih pulas di atas sofa.

Di tengah berlalunya waktu, dan lalu lalang burung gereja, di tengah langit biru yang di terangi matahari dan awan putih, perasaanku seperti diserbu melankolia. Selain melihat kesedihan Pak Bima dan keinginannya agar aku tetap menetap, aku sebenarnya tak tahu apakah masih bisa mempertahankan perasaanku pada Pak Bima, bila mengetahui kebenaran di balik kenyataan ini.

Dari pada menjadi gila karena pikiran yang melayang-layang. Mungkin karena terlalu banyak rahasia semesta yang bermunculan akhir-akhir ini. Akhirnya ku putuskan untuk mencari tahu kebenarannya. Tak ada yang menemaniku, selain kursi kayu dengan dudukan empuk di depan perapian. Sambil memandangi Pak Bima yang baru saja sadar.

"Julia!" Serunya sambil mengerjap-ngerjap.

"Halo, Pak." Ucapku, tapi dengan ekspresi dingin untuk melihat reaksinya.

"O-h, Halo, maaf aku bangun kesiangan."

Tak ada jawaban dari ku, dan dia menunggu beberapa saat. Kemudian, barulah ada respon darinya.

"Kamu kenapa belum siap-siap berangkat kerja?" Tanyanya.

"Saya tidak berangkat kerja, Pak."

"O-oh, masih mau istirahat dulu, ya.. Saya mengerti."

"Tidak." Sergahku. "Saya masih punya urusan yang harus diselesaikan terlebih dahulu."

"Urusan apa? Dengan siapa?"

"Bapak." Jawabku singkat, datar dan dingin.

Dia bangkit dan membenarkan posisi duduk. Pak Bima memandangku dengan sungguh-sungguh. Seolah dia menangkap isyaratku yang menginginkan sesuatu darinya.

"Sama saya? Mau apa?"

"Semalam waktu Pak Bima cerita tentang kejadian waktu Bapak menyentuh perempuan itu. Saya mau tanya, kapan Pak Bima melakukannya?"

"Hmm..." Ucapnya. "3 tahun yang lalu, saat saya ada kerjaan di luar kota."

"Di desa?" Kataku.

"Benar," Pak Bima mengangguk pelan. "Waktu itu saya di undang untuk mengisi acara perayaan hasil panen di desa, sekaligus memberikan sosialisasi tentang cara tanam sama petani di sana."

Aku terdiam, tubuhku melemas. Rasanya masih belum percaya dengan semua ucapan Pak Bima. Ini sebuah tabir kebenaran yang luar biasa, dan aku hanya mampu bertahan, menguatkan tubuh dan hatiku yang gemetar.

"Saya baru tahu."

"Tahu apa?"

"Tahu, kalau Pak Bima adalah salah satu tamu dari kota itu."

"Iya, saya diundang. Waktu itu saya baru dipromosikan jadi profesor." dia terdiam sejenak, berpikir. Matanya menerawang ke atas, ke langit-langit Restoran yang kelabu. Jakunnya yang kokoh, menonjol berlatar leher gagah yang kecoklatan. "Setelah mengisi acara, malamnya saya menikmati hidangan yang disediakan orang-orang sana. Habis itu, saya mulai merasa aneh, Jul. Saya merasa tidak nyaman... Karena merasa ada yang tak beres, saya keluar dari perkumpulan. Dan saya masuk ke ruangan---"

"Ruangan di balai desa!" Seruku.

"Nah, itu! benar. Aduh saya benar-benar kurang paham lokasi di sana waktu itu."

"Hah?" Ucapnya dengan mata membulat, tubuhnya langsung ke depan, menatapku seakan tengah menginterogasi. "Kamu kok tahu semuanya Jul? Saya kan belum cerita."

Ekspresi wajahnya yang polos, terlihat seperti orang bodoh...

"Karena saya---" Aku menahan isak seraya bangkit mendekat ke hadapannya. Jari telunjuk, kurapatkan di dada kirinya, tepat dimana tatto harimau itu bersemayam.

"Saya perempuan yang bapak perko-sa malam itu!" Kataku berteriak.

"Saya tidak akan pernah lupa--- dengan tatto harimau di dada Bapak ini!" Lanjutku, tetap dengan menekan dada kirinya dengan telunjukku. "Saya selalu ingat bagaimana tatto itu tergambar di dada lelaki yang merenggut kesucian saya."

"Dan semalam--Saya berjumpa lagi dengan tatto harimau itu, di dada Pak Bima!"

...****************...

Assalamualaikum ini author sanskeh 🫡

Mohon maaf hari ini update terlalu malam, sebab sore tadi habis olahraga keliling lapangan.

Salam sehat semuanya! Sukses selalu.

love,

author sanskeh 💐❣️