Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Kejengkelan ku pada mas Sigit sudah menumpuk. Sejak tau aku dan mas Agam tidak ada hubungan, dia semakin bertingkah. Dia datang kerumah tidak kenal waktu. alasannya datang untuk Bulan. sudah ku beri kata-kata kasar pun tidak mempan. Ibuku hanya bisa mengelus dada melihat keadaan itu. Pria yang hampir menjadi mantan ku itu benar-benar mengusik ketenangan rumah kami.
Mas Agam? Sejak kejadian mas Sigit bicara padanya lewat telpon itu tidak pernah menelpon lagi. Sampai aku dengar dari orang-orang kalau seorang wanita dari kota datang menemuinya. Menurutku itu pasti istrinya. Pupus sudah harapanku. tapi walau begitu, aku tetap beraktivitas untuk menyembunyikan luka hati.
Dari awal aku sudah sadar diri kami sangat jauh berbeda. Bak bumi dan langit. Karena itu aku berusaha menata hati. tapi perhatiannya kepadaku dan Bulan merubah semuanya. Inilah hasilnya, aku harus merana sendiri. Bahkan orang yang membuatku terluka pun tidak tau. sungguh naif.
"May, kau sudah dengar belum?" Sofia datang mengunjungi ku suatu sore.
"Hmmm..."
"May, istrinya dokter Agam datang. Untunglah kau langsung menjaga jarak dengannya. keputusan yang kau ambil sangat tepat." ujarnya lagi.
Aku terus sibuk mengecek barang yang sudah di packing rapi dan siap kirim.
bukannya aku tidak menyimak, itu ku lakukan agar Sofia tidak melihat mataku yang mulai mengembun. aku tidak mau orang tau tentang luka yang ku rasakan.
Sofia langsung mengalihkan topik percakapannya. Mungkin dia berpikir aku tidak terpengaruh dengan berita yang di bawanya.
"Banyak juga pesanannya."
"Alhamdulillah. Ada saja orderan yang masuk. Mungkin ini rezekinya calon janda." ucapku berkelakar.
Tapi candaan ku malah membuatnya terharu.
"Tidak selamanya menjadi janda itu menakutkan. Kau harus tetap bahagia."
"Aku bahagia, apalagi sebentar akan lepas dari pernikahan yang membelenggu. aku dan Bulan akan bebas. itu yang terpenting." jawabku bersemangat.
"Padahal aku sempat berkhayal kau dan dokter..."
"Stop..! Jangan bahas itu lagi. Aku tidak ingin mengingatnya. Sekarang prioritas ku hanyalah Bulan." ucapanku sangat mantap hingga dia percaya.
Mas Sigit datang dengan bersiul-siul kecil.
Aku menghela nafas. Ini si muka badak datang lagi. Semua ucapan pedas ku tidak berpengaruh padanya.
"Bulan, ayah datang...!" tanpa berbasa basi dia langsung duduk di kursi.
"Eh, ada tamu. Sudah lama Sof?"
"Baru saja. Mas Sigit dari mana?"
"Sengaja dari rumah, ingin mengajak Bulan jalan-jalan." jawabnya percaya diri.
Sekarang sudah ada maunya dia baru mengajak anaknya jalan-jalan. dulu kemana saja pas masih bersama. Dia cuma sibuk dengan Tara dan Tara terus. Aku menggerutu dalam hati.
Karena sering datang di bawakan mainan dan makanan. Bulan luluh juga, dia tidak lagi cuek kalau mas Sigit datang.
"Ini dia putri ayah yang pintar. Kita jalan-jalan yuk..!" ajaknya.
Bulan memandang kearahku seakan minta ijin.
"Tidak boleh..!" ucapku tegas. Sorot mata kecewa jelas terpancar dari mata putriku. "Ayolah, May.. ijinkan dia sekali-kali keluar jalan-jalan."
Aku melotot kepadanya.
"Oh ya? Mau jalan-jalan? Kenapa tidak ajak Tara saja?" niatku adalah menyindirnya. tapi tau jawabannya?
"Iya sama Tara juga. Nanti kita ketemu Tara disana."
Aku jadi naik pitam.
Jadi dia mau mengajak Bulan jalan-jalan bersama Tara juga. Aku pikir dia sadar dan ingin menghabiskan waktu bersama putri kandungnya. Tapi ternyata tidak. kalau ada Tara, pasti ada Rani juga.
Benar-benar memuakkan.
Aku menatap pria itu lekat.
Kenapa bisa aku pernah mencintai pria egois ini?
"Kenapa menatapku begitu? Aku tau, kau tidak perlu malu mengakui perasaanmu. kau menyesal karena sudah menggugat cerai, bukan? Ini belum terlambat, May." ucapnya penuh percaya diri.
Astaga.. Dia malah mengira aku suka lagi padanya.
"Sampai kapan kau mengerti, Mas? aku tidak pernah menyesal bercerai denganmu. Aku hanya heran. Kau tidak bisa menghilangkan Tara dan Rani sedetik saja dari hidup mu demi Bulan."
"Maaf, sepertinya keberadaan ku tidak tepat. Aku permisi pulang saja May." Sofia langsung pergi. Mas Sigit terlihat mengusap dahinya.
"Ini hanya soal mengajak Bulan jalan-jalan. Kenapa harus merembet pada mereka?" ia mengeluh.
"Tentu saja aku menyebut mereka. Aku pikir kau akan menghabiskan waktu dengan Bulan saja setelah apa yang terjadi. Tapi nyatanya? Hidup mu memang sudah tergadai oleh Rani."
"Kau salah paham, aku dan Rani tidak ada..."
"Hubungan?" aku memotongnya cepat.
Dia mengangguk pelan.
"Mau ada atau tidak ada, apa hubungannya dengan ku? Aku hanya perduli Bulan saja. Jadi, aku mohon jangan bawa dia pergi.!"
Kami terus beradu argument.
Hingga sejurus kemudian, aku dan Bulan sudah ada di dalam mobilnya.
"Tersenyumlah, May. Sama suami sendiri masa wajahnya kecut begitu?"
aku membuang pandangan ke luar.
"Lihat Bulan, dia terlihat ceria. iya, kan sayang.." dia membelai rambut Bulan.
Sepuluh menit yang lalu. Kami masih berdebat. Dia ngotot membawa Bulan. Akhirnya aku bersedia ikut dengan syarat tidak ada Rani dan Tara. Dia setuju.
"Lebih dekat duduknya..!"
"Jangan kelewat batas ya, Mas. Aku bersedia ikut juga karena Bulan. Aku takut kau akan menculiknya seperti saat itu." ucap ku ketus.
"Hah, itu tidak akan terjadi. tenang saja..." dia kembali menyetir.
Ponselnya berbunyi.
Dia kerepotan memegang ponsel sambil menyetir. Tapi aku tidak perduli.
"Ibu, ada apa?" suaranya terdengar kecewa.
Sudah bisa di tebak apa yang terjadi.
"Tapi, aku sedang bersama Bulan. Aku ingin menghabiskan waktu bersamanya kali ini. Bilang pada Tara besok giliran dia jalan-jalan." ia berkata sambil melirikku. Pasti ibunya yang menelpon dan minta Tara di bawa serta.
Dan akhirnya aku lihat wajahnya putus asa.
"Tara mengamuk di rumah. Dia anak yatim, May. Kita jemput dia dulu, ya..!" ia memohon dengan memelas.
Bukannya aku egois. aku juga tau dia anak yatim. tapi Tara juga sudah merebut semua hak Bulan dalam rumah itu. Di tambah sifat Rani yang culas, semakin menambah empati ku pada ini dan anak itu.
"Aku mohon...!" wajahnya benar-benar memelas.
Akhirnya aku luluh juga. Biarlah, toh cuma sekali ini saja kami bertemu. Lain kali tidak ada acara jalan-jalan bersamanya.
Aku dan Bulan menunggunya di suatu tempat yang menuju kota kecamatan dimana tujuan kami jalan-jalan. Aku tidak mau ikut menjemput Tara dan harus bertemu dengan penghuni rumah itu.
Tapi jantungku serasa berhenti berdetak. Mobil mas Agam datang dari arah berlawanan. Mau menghindar sudah terlambat. Dia pasti sudah melihat keberadaan ku disini.
Aku semakin gemetar saat mobil itu menepi.
Sekuat tenaga aku pasang wajah wajar.
"Bulan... Om ayah rindu sekali padamu." dia langsung memeluk Bulan.
Sesaat dia menatap ku. Mungkin banyak pertanyaan dalam benaknya. Tapi mulutnya terkunci.
Sampai satu detik, "May, sedang apa disini?"
"Kami.. Kami sedang menunggu angkot." jawabku ngasal.
"Angkot? Motor mu dimana?"
Aku kembali kebingungan mencari jawaban.
"Bulan mau jalan-jalan bersama ayah.." jelas Bulan dengan polosnya. Mas Agam menatap bocah yang masih dalam gendongan nya itu.
"Ayah Sigit, maksudnya?"
Bulan lalu mengangguk.
Aku tak sanggup menerima tatapan matanya yang penuh pertanyaan.
"Benar, May? maaf, kalau aku sudah sering mengganggu mu selama ini. Aku benar-benar minta maaf.." Sorot mata teduh itu menyiratkan kekecewaan yang dalam.
Aku ingin teriak kalau itu tidak benar. Yang terjadi bukan seperti yang dia pikirkan.
Tapi tenggorokan ku tercekat. Seorang wanita anggun memakai kacamata hitam turun dari mobil.
"Siapa,Mas?" dia mendekati kami.
"Yang cantik dan manis ini namanya Bulan. Dan uang ini ibunya namanya May. Mereka warga kampung sini." wanita itu mengulurkan tangannya.
"Dia Hanna..." ucap mas Agam cepat.
Ooh, jadi ini istrinya...? walau tertutup kaca mata hitamnya. Aku yakin dia sangat cantik.
Aku menelan ludah mengingat diriku yang bukan siapa -siapa kalau di bandingkan dia.
"Hanna.." ucapnya riang sambil mengguncang tanganku. Aku jadi tersadar dari lamunan.
"May..." jawabku singkat.
Percakapan kami terhenti karena deru mobil mas Sigit mendekat.as Agam terlihat kaget melihatnya.
"Dokter Agam.. ternyata kita bertemu lagi. Habis jalan-jalan ,ya?" tegur mas Sigit.
"Iya, kenalkan ini Hanna."
Dia menunjuk Hanna.
"istrinya dokter Agam, ya? Kenalkan saya Sigit, suaminya May." ucapnya dengan nada sombong. Hanna hanya tersenyum.
Sementara mereka berbasa basi. Diam-diam aku dan mas Agam saling pandang. Beribu pertanyaan ingin kami ucap.
(Kau sudah menipuku, Mas. Kenapa tidak bilang dari awal kalau kau sudah ada yang punya aku terluka karena terlanjur menyayangi mu)
(Kau yang bohong..! Kenapa sikapmu plin plan. Kau bilang benci pada Sigit dan ingin bercerai, tapi apa yang terjadi. Kalian malah pergi nge date bertiga. Aku cemburu, May..!)
(Tidak..! Kau lah yang sudah melukai ku. Kenapa kau beri aku harapan tinggi lalu merenggutnya kembali?)
(Aku tidak memberi mu harapan palsu. Aku memang menyayangi mu. Tapi kau tidak pernah mengerti. Kau malah menjauh dari ku karena ingin kembali kepada Sigit. Kau yang egois)
Kami terus saling menyalahkan, namun itu lewat tatapan mata.
"May, ayo..! Tara sudah menunggu di mobil." mas Sigit menarik tangan ku. Sambil berjalan pergi, tatapan kami masih saling bertaut.