Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Mencari Kebenaran
Qing Qing menggeleng. "Aku tidak akan kembali. Hidup ini... bukan hidupku."
Damar membelalak, "Qing Qing, jangan memutuskan dengan emosi. Kamu pintar, Tuan akan menyekolahkan kamu di Cina, bukan? Masa depan kamu cemerlang. Jangan merusak itu semua..."
Qing Qing menoleh padanya. "Sudahlah, Mar. Aku sudah kenyang diberi nasihat oleh Pak Wira. Jangan ditambah kamu juga. Kamu gak tahu rasanya. Pertanyaan 'mengapa' terus menggelayuti benakku. Aku tidak bisa melangkah maju sebelum mengetahui jawabannya."
Qing Qing menjeda. Dan Damar terdiam.
"Kamu bilang, kita teman, dan teman saling mendukung. Bisakah kamu mendukung aku saja dan jangan sok bijak?" Sunyi di sekitar persawahan itu, hanya ada angin yang sesekali bertiup, menerbangkan rambut ekor kuda Qing Qing.
"Sudah kukatakan, aku merasa ini bukan hidupku. Ini hanya pinjaman. Aku bahkan merasa tidak berhak hidup. Ketika ditinggalkan di panti asuhan itu, seharusnya aku mati."
Seketika, Damar meletakkan telunjuknya di bibir Qing Qing. Persetan dengan sopan santun! "Sst... itu kata-kata yang tabu diucapkan. Ya, aku akan mendukungmu. Aku tidak akan mempertanyakan kata hatimu. Aku akan menemani kamu ke panti asuhan itu. Tapi kamu harus siap, jika tidak mendapat jawaban yang kamu cari, kamu ikut aku kembali ke Bekasi. Bagaimana?"
Qing Qing masih terpana dengan mata membelalak karena Damar tiba-tiba saja menyentuh bibirnya. Ini adalah sentuhan fisik pertama, dan itu terlalu intim.
Ketika melihat Qing Qing tampak ingin bicara, Damar segera tersadar dan melepaskan jarinya dari bibir Qing Qing. Merasakan jejak bibir itu di ujung jarinya, ada sebuah rasa aneh yang menjalar di hatinya.
"Kamu mau menemani aku?" Suara Qing Qing antara antusias dan tidak percaya.
"Ke mana pun. Aku akan bersamamu." Suara Damar tegas dan tanpa ragu. Meskipun diam-diam, ia menggesek jari telunjuknya di belakang punggung, merasakan kelembutan bibir Qing Qing yang masih tersisa di sana, sambil meredakan debar-debar di jantungnya.
Mereka menyusun rencana saat itu juga.
Dua hari lagi, Qing Qing akan sekolah seperti biasa, tetapi ia tidak akan masuk kelas, melainkan menyelinap diam-diam lewat pagar belakang, dimana Damar akan menunggunya.
Mereka akan langsung pergi ke Bandung, ke panti asuhan tempat ia ditinggalkan ketika bayi, untuk mencari petunjuk, sekecil apa pun, tentang siapa orang tua kandungnya.
Besok, Qing Qing akan mengambil uang tabungannya untuk ongkos perjalanan dan bekal, untuk makan serta penginapan. Meskipun Damar mengatakan mereka harus kembali, sebenarnya gadis itu telah bertekad untuk pergi selamanya dari rumah itu. Ia menyayangi ayah adopsinya, tetapi tidak tahan memikirkan harus lebih sering bersama Miranti.
Di hari yang telah ditentukan, Qing Qing menatap kamar tidurnya dengan beragam emosi. Hatinya terasa berat, merasa bersalah pada Papa, tetapi perasaan itu kalah oleh rasa ingin tahu yang menggedor-gedor pikirannya setelah mengetahui separuh kebenaran.
Ya, itu hanya separuh. Seperti puncak gunung es yang mencuat di permukaan lautan. Di bawahnya, mungkin masih ada bongkahan besar, atau bongkahan kecil. Qing Qing perlu mengetahui semuanya.
Ia meninggalkan surat dalam amplop tertutup untuk Bernard. Meletakkannya di sebelah bantal di atas tempat tidurnya, agar tidak ada kemungkinan tidak terlihat.
'Terima kasih, atas kasih sayang Papa selama hampir empat belas tahun ini. Ini adalah terakhir kali Qing Qing memanggil Papa, karena aku harus pergi. Jangan mencariku, aku tidak akan kembali. Aku menyayangimu, maafkan aku.' Tulisnya dalam surat itu.
Lalu ia menutup pintu kamar, berjalan perlahan tanpa suara karena tidak ingin membangunkan Miranti yang masih tertidur, seperti biasanya ketika ia berangkat sekolah.
Ia naik ke mobil, sepanjang perjalanan ia menatap mata Pak Ari di kaca spion. Perasaannya campur aduk. Pak Ari juga telah setia menemaninya, mengantar jemputnya ke mana-mana, sejak TK hingga SMP ini. Tapi Qing Qing tidak mengatakan apa-apa padanya.
Ingatannya melayang pada Pak Wira, yang telah merawat dan mengasuhnya sejak bayi. Dia bahkan seperti ayah pertama baginya, dan Bernard, karena jarang berada di Indonesia, lebih seperti ayah kedua. Qing Qing menghela napas, ia menyayangi Pak Wira juga, tetapi memutuskan untuk tidak pamit padanya. Sebab jika Pak Wira tahu, pasti ia tidak akan bisa pergi.
Tekadnya sudah bulat. Dan ia senang karena Damar akan menemaninya. Ke mana pun, kata pemuda itu. Qing Qing merasa aman, ia percaya padanya.
Setibanya di sekolah, Qing Qing mengucapkan terima kasih dan turun dari mobil.
"Hari ini jam pulangnya normal, Non?" Tanya Pak Ari.
Qing Qing mengangguk. "Iya, Pak. Jam setengah dua. Hati-hati nyetirnya, jangan ngebut."
Qing Qing melambaikan tangan pada Pak Ari yang terheran-heran, bingung karena tidak biasanya nonanya mewanti-wanti agar dia tidak ngebut. Kapan dia pernah ngebut?
Qing Qing bersembunyi di toilet sekolah, menunggu sampai bunyi bel tanda para siswa harus masuk kelas berbunyi. Setelah para siswa masuk kelas, sekolah seketika lengang, tidak tampak satu orang pun di luar kelas.
Qing Qing mengendap-endap, segera berlari ke pagar belakang, dan melihat Damar di berdiri di balik pohon, menunggunya. Dengan jantung berdebar-debar, ia menghampirinya.
Begitu mereka berhadapan, Damar menarik tangannya, dan langsung bergegas pergi. Tujuan mereka adalah terminal bis. Sekitar tiga jam kemudian, mereka sudah berdiri di sebuah panti asuhan, yang alamatnya diperoleh dari Wiratama setelah menanyakannya pada Miranti.
Damar menoleh dan bertanya padanya, "Siap?"
Ia mengeratkan genggaman ketika merasakan tangan Qing Qing mendingin dan agak gemetar. "Jangan takut, aku di sini," ujarnya, seraya mengangguk memberi dukungan dan menyunggingkan senyum.
Qing Qing menghidup udara penuh-penuh, mengembuskannya beberapa kali, lalu mengangguk. "Siap."
Tangan Damar mengetuk pintu panti.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Seraut wajah belia tampak dari balik pintu yang terkuak. "Ya?"
"Kami... dari Bekasi, ingin bertemu dengan kepala panti. Apakah beliau ada di tempat?" Ini Damar yang bicara. Sebab lidah Qing Qing mendadak kelu, dan bibirnya hanya bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara.
"Ada keperluan apa ya?" Anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun dengan rambut dikepang dua itu menatap kedua manusia di hadapannya. Mungkin karena mereka masih remaja, dan anak itu berpendapat, tidak mungkin mereka suami istri yang berniat mengadopsi salah satu anak di sana.
"Hm... ada sesuatu yang ingin kami tanyakan, Dek. Boleh kami bertemu beliau?" Damar tersenyum, agak membungkuk untuk menyamakan tinggi mereka.
"Sinta... ayo tamunya dipersilakan masuk. Tidak sopan membiarkan mereka di luar." Suara lembut seorang wanita terdengar mendekat. Tak lama sesudahnya, dia muncul dari balik dinding ruang tamu. Wajahnya sangat teduh, langkahnya anggun. Usianya mungkin enam puluh. Dia sangat cocok menjadi kepala panti karena sangat keibuan.
"Silakan masuk," Wanita itu membuka pintu lebih lebar, mempersilakan keduanya masuk. "Saya Widuri, kepala panti asuhan ini. Sinta, boleh tolong Bunda sajikan teh untuk tamu kita?"
Sinta berlalu dan menghilang di balik dinding.
"Selamat sore, Bu. Saya Damar, dan ini Qing Qing. Kami ingin bertanya tentang seorang bayi yang ditinggalkan di depan pintu panti ini, kurang lebih empat belas tahun yang lalu." Damar memperkenalkan diri.
Ibu WIduri agak mengernyitkan kening, seolah mengingat-ingat. Kemudian, perlahan, kepalanya mengangguk.
"Mari, kita duduk di sana." Dia menunjuk sofa yang terletak di situ.
Damar dan Qing Qing mengikutinya, lalu mereka duduk berhadapan.
This is the moment of truth. Ini adalah saat-saat kebenaran.
byk yg qu skip krn byk yg g penting
karyawan baru emg hrs byk belajar g salah jg mirna menyuruh bangun dini hari
Kejutannya di karya ini adalah ternyata Qing Qing dan Dara Sepupuan.
ahh terpaksa komentar di bagi bbrpa kna kepanjangan wkwkwkwk
semangatt ka Dela👍👍👍
spt cinta Damar dan Qing Qing, tak ada yg salah sama Cinta mereka, wlpn Qing Qing 14 thn dan Damar 19 thn, mereka iya salah kna terpancing gelora muda hingga MBA... tapi jika spt ungkapan ada hukum sebab akibat bkn kah Damar dan Qing Qing sudah mendapatkan nya?