Menanti Janji

***

"Adu Bella, kok lama-lama kerjaan mu tidak becus? Kenapa tidak di teliti dulu saat di serahkan sama saya? Argh, bikin pusing aja! " gerutu Juna mulai pusing saat sekretaris Bella tidak teliti dalam pekerjaannya, jika begini ceritanya lebih baik sang bos saja yang menyelesaikan.

"Maaf tuan, aku salah nya dimana yah?" tanya Bella kikuk sambil menggaruk kepalanya bingung.

"Hufft, " Sang bos mendengus, kesal juga membuatnya sakit kepala. Bella benar-benar bego atau hanya pura-pura bodoh saja supaya tidak dimarahi?

"Hais kamu ini ! Ya udah, hari apa sekarang?"

"Ehm, hari rabu tuan, "

"Tanggal? "

"Empat belas, "

"Bulan?"

"Februari, "

Hah, tanggal empat belas februari ? Kok kedengaran nya tidak asing?

Juna menatap Bella dengan wajah ditekuk lalu dia berpikir sejenak. Tapi saat melihat sikapnya yang tiba-tiba aneh, Bella tercengang sendiri. Kenapa pula pria itu, kok tiba-tiba kayak kaget ?

"Tuan kenapa yah? "

Sebenarnya Bella tak kuasa bertanya, namun dengan jiwa kepo nya yang tengah meronta-ronta sehingga bibirnya menggatal tak tahan untuk memberi pertayaan itu.

"Oh tidak, tidak apa-apa! Sekarang kamu keluar aja, biarkan aku memeriksanya lagi! " jawab sang bos yang tersentak kaget saat Bella bertanya. Huh, pikirannya jadi tidak fokus lagi dalam pekerjaan!

Ternyata hari itu tepat sekali satu tahun berlalu saat dia dan Nara melangsungkan acara tunangan, dan pada saat itu pun dia mengungkap janji bahwa pada tanggal demikian di tahun depan Juna akan kembali untuk menepati janji menikahi Nara.

Dan akhirnya Bella yang mengingatkan Juna saat ini. Lantas, akan kah dia menepati atau mengakhiri saja? Semua pilihan ada ditangan Juna, sebaiknya harus memikirkan lebih matang langkah mana yang akan dia ambil. Keputusan ini memang berat untuk dipilih, mengingat Juna selama ini telah menjalani hubungan bersama dengan Sri dan lebih parahnya wanita itu tengah mengandung benihnya dalam beberapa bulan lalu. Astaga, sangat keterlaluan! Inilah akibat dari pergaulan bebas, lalu bagaimana saat ini? Apa mungkin menikahi Nara, atau tetap mempertahankan Sri? Argh, memikirkan semua itu Juna hampir gila, kesurupan, pingsan, pusing dan mual-mual! Ya Tuhan lengkap sudah penderitaan nya sekarang! 😂

"Astaga, yang benar saja lah klo hari ini aku dan Nara udah satu tahun tunangan?" Juna bergumam seraya mengusap wajahnya kasar, dia sampai tidak sadar, padahal seingatnya bertunangan dengan Nara baru beberapa bulan berlalu tapi kenyataan sudah satu tahun saja.

Entah lah pikirannya jadi kacau memikirkan ini semua, Keberadaan nya sekarang sangat sulit untuk melangkah. Disatu sisi Nara orang yang pertama hadir dalam kehidupan nya bahkan gadis itu telah terikat dengannya, tapi disisi lain Sri juga berperan dalam hidupnya. Lalu bagaimana mengambil keputusan ini?

Sama halnya dengan Nara saat itu, dia sendiri pun mengingat bahwa saat Juna lingkarkan cincin pengikat di jari manisnya sudah tepat satu tahun hari itu. Dia juga mengingat janji pria itu, bahwa tepat satu tahun nanti dia akan kembali menemui Nara. Sehingga hampir tiap menit dia memantau pergerakan ponselnya, Tetapi apalah daya Juna masih tidak menghubungi. Hati kecil Nara sampai berucap, ya sudah lah mungkin Juna telah melupakannya!

"Hufft aku gak menyangka Juna secepat ini melupakan cinta kami, jadi membuat ku sangat yakin klo disana dia pasti udah mendapat perempuan lain. Buktinya aja beberapa bulan ini dia tidak pernah menghubungi ku! Argh dasar keterlaluan!"

Nara mengoceh sendiri sambil menahan perih didalam hati, bibirnya memang sanggup berbohong untuk mengatakan dia masih bisa menahan perih tapi tidak dengan mata. Lihatlah, matanya mulai berkaca-kaca menunjukkan bahwa air mata yang selama ini ia simpan akan tumpah membasahi pipinya. Huh sedih sekali kisah cinta si Nara, sampai tidak sanggup untuk menceritakan semuanya! btw, aku sendiri pernah berada di posisi seperti ini loh sumpah nyesek banget! ☹️ tapi maaf aku jadi curhat, wkwkwk!😁

***

Sore telah menjelang malam, kini Nara masih berharap jika Juna menghubunginya. Setelah makan malam berakhir dia bersantai di teras rumah sejenak sambil menunggu telepon dari Juna, mana tau aja kan pria itu menghubungi dan itu salah satu keberuntungan baginya!

"Nara, kamu lagi apa nak? " tanya ibu Dini menghampiri Nara yang tengah bersantai diteras rumah. "Eh ibu, gak nih Nara lagi nyantai aja kok! " jawabnya sedikit tersentak karena pikirannya tengah fokus pada Juna. Dia menunjukkan senyum selebar mungkin supaya ibu Dini tak menyadari apa yang tengah terpikirkan olehnya.

"Ibu boleh gabung?" ibu Dini membalas senyumnya lalu duduk disamping anak gadis nya. "Boleh dong bu, lagi sepi juga nih sebenarnya! " Sahut Nara kembali. Dia masih berusaha untuk tetap ceria seperti biasa agar sang ibu semakin tidak mencurigai nya.

"Makasih yah sayang, tapi klo boleh tau kok sepi emang Juna gak menghubungi mu pas malam-malam kayak gini? "

Deg!

Pertanyaan ibu Dini sukses membuat jantung Nara berdetak kencang, bibirnya terbungkam bahkan terlihat jelas wajahnya gelisah saat sang ibu mempertanyakan soal Juna. Dia bingung harus jawab apa, padahal sudah lama sekali pun mereka lost contact

Ibu Dini sampai mengerutkan dahi karena menyadari kegelisahan anak gadisnya. Hingga wanita paruh baya itu berpikir, apakah dia telah salah ngomong?

"Kenapa sayang, apakah kamu sakit? " tanya ibu Dini sembari meletakan telapak tangannya di dahi Nara. "Aduh, ti-tidak lah bu! Nara gak sakit kok! " Nara semakin gelisah, menjawab ibu Dini saja sudah segagap itu.

"Lalu kenapa Na? "

"Gak apa-apa bu, Nara cuman tersendat ludah aja tadi, "

Bingung mau beri jawaban yang masuk akal karena pertanyaan itu memang sangat sulit untuknya, ya sudah lah berbohong saja dulu! Mudah-mudahan ibu Dini mempercayainya.

Sementara ibu Dini mengangguk pelan sambil mengusap punggung sang anak, seakan-akan dia masih tidak tau apa-apa tentang ini semua. Dan syukurlah, Nara menghela nafas lega melihat ekspresi ibunya.

"Hem menelan ludah aja tersendat, gimana sih? " ucap Dini mengoceh tapi masih tidak berhenti mengusap punggung Nara.

Memang gadis itu pun sangat butuh sekali sentuhan tangan yang seperti itu, mengingat hatinya yang sedang rapuh saat ini merasa sedikit lega dengan usaha usapan sang ibu di punggung.

"Huh, setidaknya ada tangan yang masih memberiku kelegaan saat terpuruk seperti ini" batin Nara tersenyum lalu menyandarkan kepala di dada ibu Dini.

"Kamu kenapa nak, cerita lah pada ibu. Ingat, masalah tidak pernah selesai jika kamu memendam nya sendirian,"

Dan lagi-lagi ibu Dini menyelidikinya sekali, dia sangat yakin jika Nara pasti sedang tidak baik-baik saja. Dia menyadari itu, sebagai seorang ibu batinnya begitu kuat terhubung dengan anaknya sehingga dia bisa merasakan jika Nara berada dalam kesedihan. Apa lagi gadis itu adalah anak satu-satunya dalam keluarga mereka, tentunya perhatian besar selalu tertuju padanya setiap saat.

***

BERSAMBUNG...