Bagi Raka, menikah dengan Aluna itu bencana, seperti Gempa dengan kekuatan 10 SR. Dan sialnya, dia tidak bisa mengelak karena perjodohan konyol orang tuanya.
Dan, bagi Aluna, menikah dengan Raka adalah ajang balas dendam, karena Raka yang selalu menghukumnya di sekolah.
Tapi ternyata, ada satu hal yang mereka lupa, bahwa waktu bisa merubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Selatan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
^^^SUDUT PANDANG IVAN RAKA PRATAMA^^^
Luna demam
Kami sudah kembali ke kontrakan, rasanya cukup rindu juga.
Saya menatap Luna yang sedang tidur, wajahnya kacau, matanya bengkak bekas menangis, saya tidak tahu apa yang terjadi pada Luna, maksudku, saya tidak tahu jika gadis yang sering kena hukuman di sekolah itu se cengeng itu, se lucu itu dan se menggemaskan itu.
Akhir-akhir ini saya amat menyenanginya, mengaguminya dan entahlah mungkin saya menyukainya.
Ternyata minta bantuan kepada Indra ada baiknya juga. Setelah kejadian di atap sekolah dengan Bu Marina, saya mencari kontak Indra di grup kelas sebelas.
Saya meminta informasi tentang siapa dan apa yang sebenarnya terjadi dengan Luna.
Tapi ternyata bahkan Indra saja tidak tahu akan hal itu. Akhirnya dia membantuku untuk membajak ponselnya. Makanya waktu itu Indra dan Febi membantuku untuk meminjam ponsel Luna sehingga dia tidak sadar jika selama ini ponselnya sedang ku bajak.
Saya nggak ada maksud apa-apa selain ingin mengenal Luna lebih dekat. Dan lagi, Luna itu tanggung jawabku, saya harus tahu semuanya tentang Luna. Meski Indra mengancam jangan pernah membuka pesan Indra ataupun Febi.
Luna mengeratkan tubuhnya, memeluk tubuhnya sendiri dan seolah menciut dua kali lipat dari tubuhnya.
Saya berdecak, Luna ini kalau tidur suka sekali menyingkap bajunya. Mataku jadi ternodai karena perut rata nya Luna yang putih.
Saya membetulkan bajunya yang terlipat-lipat.
"Ka." Ucap Luna. Saya menatap wajahnya, dia terpejam. Dasar Luna selain tidurnya gegah, suka mendengkur dia juga suka mengigo nggak jelas.
Tiba-tiba saja saya teringat chat-chat yang masuk di ponsel Luna.
Luna ini ternyata wanita yang cuek untuk meladeni nomer tidak di kenal, padahal saya tahu itu nomer teman satu kelasnya. Bahkan dia hanya menyimpan enam puluh nomer saja di kontaknya. Ajaib kan, untuk wanita se cantik dan seimut Luna dia nggak pernah chatan sama orang yang nggak penting.
Dan lagi, ada satu hal yang buat saya menyukainya eh salah, mengaguminya akhir-akhir ini. Dia ini emang beneran pinter, terbukti dia yang sering ngajarin temen-temennya di kelas kalau ada yang nggak paham.bahkan Putri saja yang ranking satu di kelasnya suka nanya-nanya pelajaran ke Luna. Dan Luna mengajarinya sampai Putri bilang terimakasih berkali-kali di chat.
Dari dulu, saya selalu ingin punya wanita yang cerdas, dan Allah ngasih itu ke saya melalui Luna.
saya mendekati wajah Luna, hendak mencium keningnya, memanjatkan doa untuknya.
Saat saya mencium lembut keningnya, kulitnya panas sekali. Dia demam. Pantas tadi mengeratkan tubuhnya. Mungkin panas-dingin.
"Luna." Saya menepuk pipinya pelan.
Dan ajaibnya dia langsung bangun, padahal kalau pagi dia di bangunin susah banget.
"Dingin." Katanya pelan.
"Pusing juga." Ujar Luna lagi.
Saya membangunkan dan membiarkan nya bersandar di tumpukan bantal.
Dia memasukan termometer di dalam bajunya. Dan memperlihatkan hasilnya. Suhu tubuhnya tinggi, 39° Celcius.
"Dingin Raka." Katanya. Tiba-tiba saja dia memelukku erat.
"Kita ke dokter yah."
Luna ini tinggi di banding dengan teman-temannya, meski denganku dia hanya sebahuku saja. Tapi itu buat badanku sakit karena terus-terusan gendong Luna. Kayak sekarang. Saya menggendongnya menuju mobil, iya, saya memang kesini memakai mobil karena motorku masih ada di Ummi.
Dia meringkuk di mobil selama saya melajukannya menuju rumah sakit terdekat.
Untung saja tadi sebelum pulang ke kontrakan Papa Luna memberiku uang cash, katanya itu uang bulanan Luna. Orang tua Luna sudah tiga kali memberiku uang bulanan milik Luna, dan setiap bulannya selalu sama, sepuluh juta nilainya. Saya sering mikir kenapa Luna bisa kuat cuma di kasih dua puluh ribu perhari sedangkan sebelumnya sepuluh juta perbulan. Itu juga yang membuatku mengagumi Luna, ternyata dia termasuk gadis yang nggak mengejar materi, dan menerima apapun yang dia punya.
Saya menggendongnya sekali lagi memasuki rumah sakit. Karena hari sudah larut malam, saya jadi mudah mendaftarnya.
Luna sudah mendapatkan kamar inap, dan sekarang saya sedang berbincang dengan dokternya.
"Ini yang di kaki apa?" Tanya Dokter saat dia selesai mendengarkan detak jatung Luna dari stetoskop.
"Dia kemarin terkena paku, Dok." Jawabku.
Dokter tadi langsung membuka kain kasa yang menyelimuti telapak kaki Luna. Lalu memperlihatkan lukanya padaku.
Telapak kaki Luna membengkak, agak kebiruan dan keunguan.
"Kasa nya belum di ganti yah?" Tanya Dokternya.
Saya menggeleng, lupa.
"Kamu tahu Tetanus?"
"Hm, tahu Dok."
"Temen mu ini seperti nya kena gejala Tetanus, gejala Tetanus itu di awali dengan demam tinggi, dan masa inkubasinya sekitar dua sampai dua belas harian. " Tutur dokter.
"Harusnya temen kamu ini di bawa ke sini setelah terkena paku, agar langsung di suntik."
Dokter tadi menyuntikan vaksin ke Luna, untung saja Luna ini orangnya tukang tidur, pasti di mimpinya dia sedang di gigit semut. Haha.
"Kalau misal besok demamnya belum reda, saya akan melakukan penanganan khusus, Tetanus ini susah di sembuhkan asal kamu tahu. Bahkan Tetanus ini akan membuat si korban mati perlahan-lahan secara menderita."
"Dok, tolong jangan berkata seperti itu." Kataku, saya nggak mau Luna kenapa-kenapa.
"Keluarga nya mana? Harusnya disaat kayak gini gadis sebelia dia di temani keluarganya." Ucap Dokter.
Saya berdeham canggung. "Saya suaminya Dok."
Dokter tadi terperanjat kaget. Lalu menatapku dari bawah ke atas.
"Kalian nikah muda?" Tanyanya kaget.
Saya hanya mengangguk saja sebagai jawabannya.
"Baiklah, kalau begitu, jaga isteri kamu baik-baik." Ucapnya sambil tersenyum.
^^^*CUPLIKAN EPISODE SELANJUTNYA*^^^
"Hukum tetaplah hukum Raka." Kata Bobi yang sedang menghukumku karena masuk telat.
Sebenarnya saya tidak tega meninggalkan Luna sendiri di rumah sakit, meski kondisinya sudah membaik tapi kayaknya dia masih sakit terbukti dia hanya diam saja saat saya mencium nya untuk membangunkannya.
"Iya Bobi, Iya." Ujarku. Lalu lari keliling lapangan.
Ini kali pertama saya kena hukuman, memang bener yah. Karma itu pasti terjadi.
Beberapa yang lewat menatapku terkejut, mungkin mereka mikir gini.
'ih, ketua osis kok di hukum.' pasti gitu.
Di tatap banyak mata kayak gitu buat saya mikir, gimana perasaan Luna yang sering di hukum kayak gini? Maksudku, saya yang di tatap kayak gitu berasa harga diriku sudah hilang. Dan gimana dengan Luna? Apakah penting harga diri itu untuk seorang Luna? Entahlah, saya akan menanyakan ini nanti saat dia sudah sembuh.
"Udah kan, Bob." Ujarku, sambil mengatur nafas. Capek banget. Cuma lima putaran saja rasanya capek, gimana sama Luna yang biasa sepuluh putaran.