Nama gue Arin.Umur dua puluh tahun. Gue hanya gadis miskin .Keinginan gue hanya satu yaitu menaikkan derajat hidup keluarga gue agar tidak dihina dan direndahkan.Gue bekerja sebagai buruh pabrik di siang hari ,sore harinya gue kuliah. Jalan hidup gue penuh dengan liku-liku dan jalan terjal. Banyak cobaan cacian dan makian . Tapi gue tidak akan patah semangat walaupun gue terjatuh berkali-kali gue akan terus bangkit. Ini hidup gue ,dan gue akan terus bangkit dan berjalan menuju cita-cita dan cinta gue. Yuk ikuti dan lihat perjalanan hidup gue untuk memperjuangkan cita-cita dan cinta gue. Karena disitu akan penuh dengan canda tawa dan air mata juga tentang persahabatan yang abadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 🌹Ossy😘, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Kepergok
"Bang Andra, Fian mau balik ke rumah sakit saja. Perasaan gue kok ga enak ya. Bilang sama mama ya. Ingat cari alasan yang masuk akal ya bang. Tau sendiri kan mama seperti apa." Entah mengapa Fian terlihat gelisah. Perasaannya berdebar tanpa sebab.
" Kenapa Fian? Lo terlihat tegang." Toni yang di sebelah Fian merasa curiga dengan sikap Fian.
"Ga tau juga Bang, perasaan gue kok jadi ga enak. Tadi melihat dokter yang menangani Arin seperti siap siaga, jadi merasa khawatir. Takut ada apa-apa dengan Arin."
"Ya udah sono balik. Nanti gue bilang sama mama. Jagain Arin ya buat gue. Dia adik kesayangan gue. " Ucap Andra . Dia juga merasa sangat khawatir tapi ga tau harus berbuat apa. Mungkin hanya bisa membantu dengan doa.
"Iya bang, Makasih udah mau membantu gue."
"Gue bukan bantuin lo. Tapi semua demi Arin. Ingat demi Arin!!" Ucap Andra tegas. Sebenarnya dia cuma becanda.
"Lhaa... Yang adiknya siapa si. Lo ga diakui sebagai adik Fian. Dasar kakak durhakim. Hahaha.." Toni malah semakin memanasi Fian .Tapi memang maksudnya bercanda.
Akhirnya Fian balik ke rumah sakit. Dia benar-benar merasa khawatir. Bahkan sampai tidak perduli kalau nanti akan dimarahin mamanya. Sedangkan Toni, Irwan dan Andra pulang. Karena hari sudah larut malam.
Fian berjalan sendirian ke ruangan Arin. Suasana rumah sakit yang lengang menambah aura mistis. Bulu kuduk merinding seperti ada yang mengikuti . Fian sebenarnya sedikit takut. Tapi dia kan laki-laki, masa takut sama setan. Dia berjalan cepat, agar segera sampai. Perasaannya semakin terasa tidak nyaman. Ada debar aneh yang dia rasakan. Tapi tidak tau apa sebabnya. Yang ada diotak nya cuma Arin dan Arin.
Sampai di koridor Fian melihat Bram dan Bima berlari menuju ruangan Arin. Hati Fian semakin gelisah. Dia semakin merasa takut. Ada apa dengan Arin. Apa yang terjadi? Semoga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dengan Arin. Fian berjalan semakin cepat. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Arin.
Sampai di depan ruangan Fian melihat bunda yang berjalan mondar-mandir. Dan terlihat gelisah.
"Kenapa bund, Apa yang terjadi dengan Arin. Bunda duduk aja yuk." Fian mendekati Bunda dan memeluknya. Fian tahu bunda pasti sangat khawatir dengan keadaan Arin. Sama seperti dia. Untung tadi dia kembali ke rumah sakit. Jadi bisa menemani bunda dalam keadaan seperti ini. Kasian bunda harus sendirian menanggung semua rasa.
"Arin... Arin..Fian .. tadi Arin berteriak- teriak lagi. Dia pasti teringat kejadian itu lagi. Fian tolong Arin. Temani dia Fian. Dia butuh kamu." Bunda menangis dalam pelukan Fian. Perasaan bunda sangat kacau dan sedih melihat keadaan Arin.
"Iya pasti bund, apa pun keadaan Arin, Fian akan selalu ada buat dia. Bunda jangan khawatir ya. Ada Fian yang akan membantu Arin."
Fian terus menerus mengucapkan kata-kata yang bisa menguatkan bunda. Walaupun perasannya sendiri sangat hancur melihat keadaan Arin yang seperti itu.
"Terima kasih Fian selama ini selalu ada buat Arin."
"Sama-sama bunda. Kita kan memang teman dari kecil. Bunda jangan bersedih lagi. Mari kita berdoa saja buat kesembuhan Arin."
Bunda sudah sedikit tenang dengan datangnya Fian. Tadi bunda benar- benar merasa sendiri. Karena memang tidak ada yang menemani. Untung Fian datang tepat waktu. Fian bangun dari duduknya. Dia mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit. Dia melihat Bara dan Bram sedang berbincang sepertinya sedang membicarakan keadaan Arin. Sedangkan Bima hanya melihat mereka dari kejauhan. Tiba- tiba terdengar Arin berteriak lagi. Dan Bara langsung mendekati seperti ingin mencium Arin. Fian langsung membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Dokter, apa yang anda lakukan."
Semua yang di dalam kaget dengan kedatangan Fian. Bara yang sedang ingin mencium Arin di tarik oleh Fian.
"Fian ,apa yang kamu lakuin di sini. Jangan salah paham dulu."
Bram mencoba menenangkan Fian yang sudah emosi menarik Bara tadi. Bara diperlakukan begitu dia diam saja. Dia juga kaget tiba-tiba ditarik paksa. Bibirnya sedikit lagi menyentuh bibir Arin. Namun sudah ditarik oleh Fian.
"Jangan..jangan Adit jangan.. hiks... hiks.. jangan." Terdengar suara Arin lagi.
" Bara cepat lakukan, siapa tau kali ini berhasil. Kasian dia, dia pasti teringat kejadian itu." Bram meneriaki Bara. Tapi Fian masih memegang tangan Bara.
"Fian tolong lepaskan saya. Saya harus menolong Arin." Bara memohon pada Fian.
"Menolong tapi tidak dengan menciumnya. Apa itu yang di sebut menolong Dok." Fian masih memegangi Bara. Dia tidak rela melihat itu semua.
"Fian siapa tahu cara ini bisa membuat Arin bangun." Bram ikut menerangkan.
"Tidak Dok, gue tidak rela. Gue tidak rela Arin dicium orang lain." Fian masih memegang Bara.
"Maaf Fian, kamu menghalangi tugas seorang dokter. Kamu bisa dimasalahkan " Bima ikut berbicara.
"Tidak Fian. Saya hanya akan memberi obat penenang buat Arin. Semoga kali ini dia bisa tenang." Akhirnya Bara mengalah. Dia merasa kasian melihat Arin yang masih aja mengigau.
"Janji ya Dok," Fian melepaskan Bara.
"Iya saya janji."
Bara mengambil suntikan dan menyuntik Arin dengan obat penenang.
Bram dan Bima kecewa. Padahal sudah tinggi sedikit lagi drama putri tidur akan dimainkan. Arin sudah tenang. Sudah tidak berteriak lagi. Mereka berdua duduk di sofa. Fian berdiri sambil terus mengawasi Bara. Entah mengapa perasaannya jadi tidak menentu melihat apa yang akan dilakukan Bara tadi.
"Fian sini duduk.Kita bicarakan yang tadi Dokter Bara akan lakukan. Kita buka saja semua biar jelas dan tak ada prasangka." Bima merasa semua harus dibicarakan dengan baik-baik supaya Fian tidak mencurigai Bara. Takutnya Fian berpikir bahwa Bara memanfaatkan situasi.
"Sebaiknya kita panggil bunda juga biar tidak salah sangka." Tambah Bram.
Bram berjalan keluar untuk memanggil bunda. Bunda terlihat duduk terkantuk- kantuk. Bram sangat kasian sama bunda yang dengan setia menunggui Arin.
Bram masuk bersama bunda. Bunda sebenarnya merasa khawatir dipanggil Bram, karena pasti ada yang akan disampaikan oleh sang dokter.
"Bunda, sini duduk sama kita. Bunda jangan tegang. Keadaan Arin sudah stabil. Dia sudah tenang. Bunda yang sabar ya. Banyak-banyaklah berdoa, biarlah kami yang berusaha dan Tuhan yang akan mengabulkan semua permintaan kita. Amin." Ucap Bima penuh dengan penekanan.
Fian hanya diam. Dia berdiri bersandar pada tembok. Hatinya masih merasa tidak nyaman mengingat kejadian tadi.
"Begini bunda, Bunda ingat yang pernah bunda ceritakan waktu itu. Bahwa ada dua orang yang menolong Arin pas di belakang ruko?"
"Iya, saya ingat Dok."
"Nah, dua orang itu adalah saya dan Dokter Bara."
"Jangan mengaku kalau tidak ada bukti nya?" Fian terlihat tidak senang dengan ucapan Bram.
"Kami punya bukti. Kami punya dokumentasinya yang di simpan oleh pihak rumah sakit. Dulu kami memang tidak ingin mempublikasikan hal itu. Tapi karena sekarang kami berhubungan langsung dengan korban. Dan ternyata korbannya menjadi trauma seperti ini, makanya kami putuskan untuk membuka identitas kami. Siapa tahu ini bisa membantu kesadaran buat korban." Bram menjelaskan situasi yang sebenarnya.
Bunda diam saja . Dia memandang Bram ,Fian dan Bram bergantian. Bima mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri kemudian ditunjukkan kepada bunda dan Fian.
"Ini buktinya bunda dan Fian. Kami tidak akan berbohong . Ini memang benar adanya."
Bunda hanya mengangguk-angguk. Fian hanya melihat sekilas. Tapi memang benar itu semua adalah foto-foto pada saat Arin di lecehkan Adit.
"Saya percaya Dokter, Lalu bagaimana langkah selanjutnya?" Tanya bunda.
"Begini, maaf sebelumnya bunda dan Fian. Pada saat kami berdua menolong Arin. Arin telah..."
"Bram sudah jangan diteruskan." Bara memotong ucapan Bram. Bara merasa malu dan sekaligus kasian mengingat keadaan Arin waktu itu.
"Kenapa Bara? Biar jelas semuanya. Dan lo bisa segera mengambil tindakan." Bima yang gemas pada Bara ikut berbicara. Bima tau pasti Bara merasa malu.
"Begini selanjutnya. Sebelum Arin pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Arin sempat mencium bibir Bara. Mungkin tujuan Arin saat itu untuk menghapus bekas ciuman Adit." Bram terdiam. Menunggu reaksi bunda. Fian hanya diam menunduk. Hatinya terasa tidak karuan.
"Dan rencana kami , Bara mau mencium Arin. Siapa tau momen itu bisa membuat Arin terbangun. Seperti kisah putri salju atau putri tidur. Begitu maksud kami bunda. Apa bunda keberatan?" Bram memandang bunda. Bunda tampak termenung. Mungkin sedang memikirkan ucapan Bram.
"Apa Dok? Jadi Dokter Bara mau mencium Arin supaya Arin bangun , gitu Dok. Gue tidak setuju. Gue ga mau Arin semakin merasa ternoda." Fian menolak mentah-mentah usul Bram.
"Menurut bunda bagaimana? Setuju apa tidak? Kalau keluarga tidak setuju, kami tidak akan menjalankan rencana kami ini." Lanjut Bram.
Bara cuma diam saja. Dia tidak berani berkata-kata. Dia merasa malu sekali.
"Bunda jangan khawatir. Dokter Bara ini masih perawan tingting. Dia juga baru berciuman dengan Arin saja. Belum pernah dengan yang lain." Tambah Bima sambil tersenyum.
"Apaan si Bim. Tidak lucu semuanya harus dibongkar di sini." Bara terlihat semakin malu.
"Semua keputusan ada di tangan bunda. Jika bunda mengijinkan, Maka akan segera dilaksanakan saat Arin mengigau lagi." Bram meyakinkan bunda akan rencananya.
Bunda masih saja terus berpikir. Fian juga hanya diam saja. Dia setuju cara tersebut tapi kenapa harus Bara yang mencium Arin. Dia juga bisa pikirnya. Tapi Fian tidak berani mengatakan keberatannya. Semuanya tergantung bunda yang akan memutuskan.
"Ya udah sekarang bunda istirahat dulu. Sudah jam dua malam. Tidur saja bund, Biar kami menunggu di luar. Fian juga, kalau mau istirahat silahkan. Mau tidur di bangku depan atau di mushola rumah sakit diperbolehkan. Pasti mengantuk dari pada pulang pasti bahaya." Hanya itu yang bisa diucapkan Bara. Hatinya masih diliputi kebimbangan atas semuanya yang telah diungkapkan tadi. Dia merasa malu rahasia yang dia simpan sudah terbongkar.
Ruangan sudah sepi. Semua orang sudah keluar tinggal bunda yang tertidur di sofa.
🌸🌸🌸
Semuanya sudah diungkapkan. Semua rahasia yang dia pendam selama lima tahun ini sudah diungkapkan. Sebenarnya ada rasa lega dalam diri Bara. Tapi semuanya menjadi tau kejadian itu. Dia merasa malu tentunya. Dia yang menanti dan berharap bertemu sang gadis yang telah mencuri ciuman pertamanya. Dan akhirnya bisa bertemu. Walaupun pertemuan mereka dalam keadaan yang tidak baik. Jika boleh Bara berharap, dia ingin bertemu Arin dalam keadaan sehat. Dalam keadaan baik-baik saja. Entah mengapa sejak pertemuan pertama nya dulu. Bara tidak bisa melupakan Arin. Dia sudah mencari kemana-mana namun tidak ketemu juga. Sebenarnya dia bekerja di rumah sakit ini bukan tanpa tujuan karena memang sengaja ingin mencari jejak gadis itu. Dan akhirnya memang mereka dipertemukan juga. Namun Bara belum menyadari itu. Dia merasa beruntung juga karena dulu, tiga tahun lalu dia punya rencana yang tidak disangka malah bisa mempertemukan dia dengan gadis itu. Yang Maha Kuasa merestui perasaan Bara terhadap gadis itu.
Bara tidak bisa istirahat. Pikirannya masih tentang yang terjadi tadi. Tinggal sedikit lagi bibirnya menyentuh bibir Arin. Sayangnya Fian keburu datang. Bara tersenyum sendirian. Ternyata semesta belum merestuinya untuk merasakan lagi bibir mungil milik Arin. Bara meraba bibirnya. Dadanya berdebar kencang. Tapi apa tidak berdosa kalau dia berciuman dengan Arin. Mereka bukan muhrim. Otak dan hatinya tidak singkron. Hatinya menginginkan tapi otak menolak. Bukan dia munafik, jujur sebagai seorang pria dia menginginkan nya walaupun modusnya pengobatan.
"Astaghfirullah al adzim..mikir apa gue. kenapa pikiran gue jadi kotor begini."
Bara menepuk-nepuk kepalanya sendiri.
"Kenapa lo Bar, hayo pasti mikir bibir Arin ya. Hahaha.." Bima memperhatikan tingkah Bara dari tadi. Mereka sudah tidak bisa tidur lagi. Besok hari sabtu juga tidak ada pekerjaan yang menunggu. Kecuali Bara yang mempunyai jadwal mengecek pasien nya. Bram tidak ada praktek di hari Sabtu dan Minggu. Sudah ada dokter lain yang bertugas di hari itu.
"Kita tidak usah tidur lagi. Pasti tidak bisa juga kan Dokter Bara . Hahaha." Bram juga menggoda Bara.
"Sedikit lagi ya Bar. Tinggal seujung jari lagi bibir bertemu bibir. Hahaha.." Bima pun ikut menggoda Bara.
"Tidak lucu lo berdua. Sialan, gue dijadikan percobaan. Awas ya lo berdua." Bara terlihat begitu malu dan marah.
"Hahaha...tapi senang kan? Lihat muka lo merah begitu."
Senang sekali Bram dan Bima menganiaya Bara. Mereka berdua terus saja tertawa menertawakan tingkah Bara. Bahagianya melihat wajah teraniaya Bara.
🌸🌸🌸
Fian menuju mushola. Dia akan beristirahat di sana. Fian mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat tahajud. Selesai sholat dia berdoa sangat khusuk untuk kesembuhan Arin. Karena hanya itu yang bisa dia lakukan. Dia bukan dokter seperti Bara ataupun Bram. Dia hanya seorang teman yang ingin selalu ada buat sang teman sejatinya. Hatinya begitu teriris melihat keadaan Arin. Bangunlah Arin jangan patah semangat. Gue akan selalu ada buat lo dalam keadaan apapun. Gue siap berkorban apapun asal lo bangun. Apapun akan gue lakukan untukmu wahai sahabat sejatiku. Tiba-tiba dadanya terasa ngilu. Dia merasa terjadi sesuatu dengan Arin. Fian menyudahi doanya dan segera berlari ke ruangan Arin. Dia merasa tidak nyaman. Dia terus berlari. Kenapa perjalanan ke ruangan Arin terasa begitu jauh. Padahal hanya terpaut tiga koridor.Ada apa ini Tuhan. Fian terus berlari. Air matanya sudah mengalir. Dadanya terasa sangat sesak. Jangan kau ambil dia Tuhan. Fian terus saja berdoa dalam hati. Isi pikirannya sudah macam-macam. Tidak..tidak akan terjadi apa-apa dengan Arin gue. Arin gue adalah wanita hebat.
Sesampainya di depan ruangan Arin. Dilihat nya bunda menangis. Fian langsung mengintip di celah pintu dan dia melihat sesuatu. Tidak... tidak... tidak boleh..
Apa ya yang dilihat Fian..
Bersambung..
Jangan lupa tinggalkan like dan komen.
Terima kasih ❤️❤️❤️❤️
aku menanti mu....
kenapa seperti ini....
🤔🤔🤔🤔
semua masalah ada penyelesaiannya
jangan berbuat konyol ..dan merugikan diri sendiri
karna kau siram dengan kasih sayang mu 😘😘😘😘😘
ngak ngaca apa yg menimpa diri nya 😡😡😡 masih untung selamat dari maut kecelakaan kok gak Sada mulut masih lemes aja
dasar Mak Mak komplek 😡😡😡😡
pada akhirnya penderitaan Arin berakhir seiring dengan hembusan nafas nya juga ikut berakhir....
tega banget kamu thor,,,,
gak kasih kesempatan Arin buat ngerasain kebahagiaan.... 😭😭
kenapa harus meninggalkan
kisah Airin sangat nyenyak didada. rasa rasa nya. jarang ke bahagian menghampiri nya
takdir Airin memilukan.
terus kapan pertemuan di ujung jalan nya 🤗🙏🥰 apa bertemu dokter bara di jembatan siritolmustakim 😭😭😭😭