Suamiku Pria Lumpuh

"Om, maaf baru dateng. Ngobrol sama Bagas dulu tadi." ucap Reza pada Papa Erland..

"Menurut kamu, bagaimana perkembangan Bagas? Adakah kemungkinan sembuh?"

"Belum tahu, Om. Tapi dengar dari keterangan dokter, hanya keajaiban yang bisa menyembuhkan dia. Kita usahakan saja yang terbaik." balas Reza.

"Kadang, Om berfikir begitu keras, apa bentuk keajaiban itu, Za. Andai bisa Om berikan, atau bahkan dengan nyawa Om sendiri... Om rela. Sangat sakit melihat dia seperti itu, tapi Om tidak dapat melakukan apapun."

Papa Erland tampak mengeluarkan air mata. Perih, pedih, dan sakit begitu Ia rasakan. Tapi Ia harus berusaha tampak baik-baik saja di hadapan semua orang, apalagi di kantor. Semuanya harus tampak stabil seolah baik-baik saja. Padahal, Ia sangat ingin lari dan memeluk Bagas untuk menguatkannya saat ini.

"Om, Bagas itu kuat. Dia kan telah di didik tahan banting selama ini oleh Kakek. Jadi, pasti Ia lebih kuat dari yang kita duga. Apalagi, ada Syifa yang merawatnya." ucap Reza, menepuk bahu Om nya untuk menguatkan.

"Syifa?"

"Ya, Reza lihat sesuatu yang berbeda antara mereka berdua. Tatapan yang di berikan Bagas, tampak penuh harap." balas Reza, yang duduk santai di kursinya.

"Ah, ngga mungkin. Kamu tahu Bagas bagaimana? Dia ngga mungkin jatuh cinta sama gadis yang baru dia kenal." sanggah Papa Erland.

"Tapi, cinta bisa datang karena terbiasa, Om. Mungkin begitu."

"Baru Satu bulan mereka bersama. Menikah saja, baru beberapa minggu. Tapi, doakan saja yang terbaik untuk mereka."

Papa Erland mengusap wajahnya, mengembalikan semburat wajah tegasnya. Jadwal yang padat, tapi lelah tak boleh terlihat. Padahal, impian nya dengan Mama Ayu adalah tenang berdua setelah Bagas masuk ke kantor dan memimpin perusahaan itu.

" Semoga hanya tertunda, demi Bagas dan demi semuanya. Kita harus kuat." ucap Papa pada Mama kala itu.

Pada Dasar nya, Bagas adalah pria yang bekerja keras. Ia pria yang selalu memegang teguh apa yang Ia cita-citakan. Ia tegas, bahkan kadang keras. Semua orang faham itu, dan tak ada seorang pun yang berani membantah apa yang dikatakan Bagas. Maka dari itu, selama kepemimpinannya, tak ada yang berani macam-macam atau pun bertindak menyeleweng.

Begitu juga dengan cinta. Meski di bilang Bucin, tapi Bagas selalu tegas. Ia setia, dan Luna selalu disampingnya dalam suka mau pun duka. Sayangnya, cintanya goyah ketika melihat Bagas tak mampu lagi seperti dulu.

"Fa... Fa...." panggil Bagas dengan bisikan. Sulit di dengar, karena hanya seperti hembusan angin yang meniup wajah Syifa yang terlelap.

"Ish, apa ini? Kok kayak......... Loh, Mas manggil? Ya ampun, sampai muncrat."

Syifa bangun, lalu menggenggam tangan Bagas, "Coba, panggil lagi. Aku pengen denger."

Bagas pun mengulanginya meski begitu sulit mengeluarkan suara. Hanya bibirnya yang bergerak, untung saja nama Syifa begitu mudah untuk dipanggil.

"Yeeey, udah bisa ngomong..." sorak syifa.

"Ngga papa, baru sedikit. Setidaknya ada kemajuan, tinggal mancing suara aja. Begini, mau?" tanya Syifa, dengan meggelitik tubuh Bagas.

Bagas pun terkekeh, meski tanpa suara. Semua orang yang melihat, terpancing haru dan bahkan menangis.

"Tuan jarang ketawa. Sekalinya ketawa, kenapa ngga ada suaranya?" ucap Minah, dengan mengusap air matanya.

"Bibik rindu, dengan suaranya yang tegas ketika memerintah kita. Lihat ketawa begitu, adem hati Bibik." balas Bik darmi.

Mereka terus melakukan itu, tanpa Bagas bisa melawan dan membalas.

"Udah ya, mau makan?"

Bagas mengangguk, dan mengucapkan kata Iya tanpa suara. Syifa pun segera mengambilkan Ia makanan, sembari menelpon Mama Ayu untuk perkembangan Bagas.

"Seriously? Bagas gerakin bibirnya, dan berusaha ngomong?"

"Iya, Ma.... Tapi belum keluar suaranya. Doakan secepatnya, harus sering kita latih."jawab Syifa.

Mama Ayu pun tak kalah terharu dan bahagia dengan kabar itu. Ingin rasanya segera pulang dan memeluk Bagas, tapi Ia tunda karena urusan yang begitu banyak.

" Dan jangan sampai, berita ini diketahui banyak orang. Mereka belum boleh tahu, mengenai perkembangan Bagas." pesannya pada sang menantu.