Dibalik sikap ceroboh dan somplak di antara ketiga sahabatnya, Zahra menyimpan kisah hidup yang cukup memilukan. Masa kecil bersama Yudha di sebuah Panti Asuhan, membuat Zahra menganggap Yudha sebagai kakak bahkan Zahra sangat mengagumi lelaki itu dan berharap bisa menjadi pendamping hidup Yudha selamanya—kelak.
Di satu sisi, Zahra berusaha menghindar dari Arga karena tidak ingin 'sial' jika berada di dekat lelaki itu. Setelah sebuah penolakan terlontar dari mulut Zahra, Arga memilih untuk pergi.
Namun, bagaimana jika sebuah rahasia tentang Yudha terkuak dan hal itu membuat Zahra kecewa? Akankah Zahra bisa memaafkan Yudha, atau mengejar cinta Arga yang pernah dia tolak sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
"Mas ...."
"Ra ... aku mohon." Suara Yudha terdengar sangat meminta. Zahra pun dengan terpaksa mengiyakan dan mengurungkan kepergiannya ke kampung untuk menjenguk Rasya.
Ketika panggilan tersebut sudah dimatikan, Zahra hanya diam menatap layar ponsel yang masih menyala dan menunjukkan foto dirinya dan ketiga sahabat termasuk Rasya. Zahra mengusap foto tersebut dengan perlahan. Penyesalan makin dirasakan Zahra saat mengingat ucapannya kepada Rasya yang sudah sangat keterlaluan.
"Kenapa, Zae?" tanya Zety sembari mengusap bahu Zahra.
"Entahlah, Suk. Gue ngerasa ada sesuatu yang ngganjel banget di hati. Mas Yudha rasanya beda banget."
"Mungkin elu udah tahu dan kecewa sama Mas Yudha-mu, Zae. Jadi, elu ngerasa dia berbeda." Margaretha menimpali. Dia pun duduk di sisi sebelah kiri Zahra yang tidak menjawab dan hanya mengendikkan kedua bahunya.
"Terus gimana, kita jadi jenguk Rasya?" tanya Zety. Ketiga gadis itu menghela napas panjang.
"Gue udah janji mau nemenin Mas Yudha selama tiga hari sebelum dia pergi."
"Pergi ke mana?" sela Zety dan Margaretha bersamaan.
"Gue juga enggak tahu. Dia bilang mau nenangin diri. Dia cuma minta waktu tiga hari buat jalan bareng, dan ya ... walaupun gue kecewa, gue tetep enggak bisa nolak, Suk, Mar." Zahra mendes*h kasar.
"Ya udah, kalau gitu elu jalan dulu aja sama Mas Yudha-mu itu. Kita tungguin. Atau elu mau nyusul aja?" cetus Zety.
"Jangan pada gobl*k-gobl*k, sih! Kita telepon si Kurap dulu. Nanti baru kita bertiga ke sana bareng. Gue enggak tega ninggalin Zaenab sendirian." Margaretha mencibir.
"Mulut elu laknat banget, Mar!" timpal Zety kesal.
Margaretha tidak lagi menjawab, hanya menunjukkan rentetan gigi putih dan dua jari tanda damai saat melihat kekesalan di wajah kedua sahabatnya. Sementara Zety mengambil ponsel dan mencari kontak Rasya lalu menekan tombol panggil. Zahra dan Margaretha saling berebut untuk mendengar lebih dekat padahal Zety sudah men-loudspeaker panggilan tersebut.
Tiga kali panggilan tidak dijawab, ketiga gadis itu mendengkus kasar. Mungkinkah Rasya sakit parah sampai-sampai dia tidak mengangkat panggilan itu.
"Jangan-jangan si Kurap sakit parah lagi." Margaretha tampak cemas. Yang lain pun ikut menjadi cemas.
"Moga aja enggak. Eh ada pesan dari si Kurap." Zety heboh. Zahra dan Margaretha pun ikutan heboh sendiri. Tanpa menunggu lama, Zety segera membuka pesan tersebut.
Ada apa, Suk? Telepon elu enggak gue angkat, pengawal gue lagi pada di sini semua. Bapak, Mas Agus, sama Om Panu. Habis ini Bapak mau pulang, nanti gue telepon balik.
Begitulah pesan dari Rasya. Ketiga gadis itu hanya menghela napas panjang dan pasrah menunggu panggilan dari Rasya.
Setelah hampir dua puluh menit menunggu, terdengar ponsel Zety berdering. Dengan segera Zety melihat siapa yang memanggil. Wajahnya mendadak semringah saat melihat Rasya hendak melakukan panggilan video. Namun, baru saja Zety hendak mengangkat, Zahra justru bangkit dan hendak pergi.
"Mau ke mana elu, Zae?" tanya Zety, menahan jarinya yang hendak menekan icon hijau.
"Gue ke dalam dulu. Lagian, gue masih belum berani buat lihat Kurap." Suara Zahra terdengar berat. Margaretha dan Zety hanya mengiyakan lalu mengangkat panggilan tersebut.
"Kurap!! Kita kangen banget sama elu," pekik Zety dan Margaretha saat panggilan sudah terhubung dan tampak wajah Rasya memenuhi layar.
"Gue juga kangen sama kalian." Rasya membalas.
Sementara Zahra hanya berdiri di balik tembok. Dirinya juga sangat merindukan Rasya, tetapi dia belum memiliki keberanian untuk melihat wajah Rasya meski hanya melalui panggilan video. Zahra hanya berani menguping dan memegang dada saat merasakan desiran di sana.
"Kenapa cuma kalian berdua, di mana Zaenab? Gue juga kangen banget sama dia."
Ucapan Rasya yang terdengar samar mampu membuat hati Zahra bergejolak hebat. Bahkan, kedua mata Zahra tampak berkaca-kaca. Dia tidak menyangka kalau Rasya masih menanyakan bahkan mengatakan kalau rindu kepadanya.