Setelah menumbangkan Tuan Tua, James mengira semuanya sudah selesai. Namun, di akhir hidupnya, pria itu justru mengungkapkan kebenaran yang tak pernah James duga.
Dalang di balik runtuhnya keluarga James bukanlah Tuan Tua, melainkan Keluarga Brook yang asli.
Pengakuan itu mengubah arah perjalanan James. Ia sadar ada musuh yang lebih besar—dan lebih dekat—yang harus ia hadapi.
Belum sempat ia menggali lebih jauh, kemunculan lelaki tua secara tiba-tiba:
Edwin Carter, penguasa Pulau Scarlett yang ternyata adalah ayah kandung Sophie.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
THE WEB??
Sore Hari — Crescent Bay
James mengarahkan mobilnya ke jalur depan hotel, bangunan itu menjulang tinggi. Dia memperlambat laju hingga berhenti, dan bahkan sebelum suara mesin mereda, pintu penumpang sudah terbuka.
Van masuk dan duduk dengan santai, lalu melirik James, senyum tipis menarik sudut bibirnya.
“Senang bertemu denganmu lagi setelah sekian lama, little bud,” kata Van.
James menoleh cepat, senyum kecil terlukis di bibirnya. “Ayolah, Komandan. Panggil aku James.”
“Baiklah. James,” Van mengoreksi, meski kehangatan di suaranya masih tersisa. “Jadi, kita mau ke mana?”
“Tentu saja makan siang.” Nada James santai, tapi matanya tetap tajam menatap jalan. “Ada hal serius yang perlu kita bicarakan.”
Ekspresi Van berubah, serius sejenak sebelum kembali melunak. “Ya... benar. Tapi pertama—aku sudah sangat lapar.”
James membiarkan dirinya tertawa ketika mobil berhenti di gerbang hotel. Para staf valet bergegas maju dengan cekatan, sedikit membungkuk. James turun, menyerahkan kunci mobil, dan disambut anggukan penuh hormat.
Kedua pria itu melangkah melewati pintu kaca menuju lobi megah, udara dipenuhi dengung lembut musik serta aroma kayu yang dipoles dan parfum mahal.
Dari seberang ruangan, Julian melihat mereka dan segera mendekat, wajahnya bersinar penuh rasa ingin tahu. “Hei, Nak. Apakah kita kedatangan tamu hari ini?”
James sedikit berbalik. “Ayah, kenalkan ini Van. Dia adalah mentorku sejak aku kecil.”
Tatapan Julian menajam penuh hormat saat ia mengulurkan tangan. “Selamat datang, Tuan Van. Senang bertemu dengan Anda. Terima kasih telah merawat James.”
Van menjabat tangannya erat, senyum langka terukir di wajahnya. “Tuan Julian. Senang bertemu dengan Anda juga. Dan tempat ini—” ia memberi isyarat ringan ke sekeliling yang elegan— “luar biasa sekali apa yang anda kelola di sini.”
Julian tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. “Ibunya yang mengelola. Aku hanya membantu sebisanya.”
Senyum Van melebar sedikit, seolah menyetujui.
James berdeham pelan. “Ayah, bisakah kau mengatur ruangan privat untuk makan siang?”
“Tentu saja,” jawab Julian tanpa ragu-ragu.
Dia memanggil seorang staf, yang segera membungkuk dan menuntun mereka menyusuri lorong. Suara lobi memudar di belakang saat mereka memasuki ruangan privat yang mewah.
James dan Van duduk. Van mengamati James dengan tatapan penuh perhitungan, seperti pria yang menilai setiap sudut.
“Jadi apa rahasianya?” tanyanya akhirnya.
James berkedip. “Apa?”
Van mengetuk meja, “Semua kekayaan ini. Saat aku memeriksa berkas-berkas, keluargamu dulu tidak pernah terlihat seperti ini. Tidak banyak kemewahan. Aku sempat berpikir—bagaimana caramu melakukan semua ini?”
James melipat tangannya, santai. “Aku menginvestasikan tabunganku saat masih menjadi tentara bayaran.”
Van tertawa datar, tak percaya. “Benarkah? Aku tidak percaya. Tapi itu urusanmu. Aku tidak akan ikut campur.”
James membiarkan senyumnya bertahan. “Kalau begitu kita pesan. Apa yang kau inginkan?”
Van mengangkat bahu. “Ini restoranmu. Kejutkan aku.”
James memanggil pelayan. “Bawakan kami beberapa menu. Yang terbaik dari tempat ini.”
Staf itu membungkuk dan menghilang.
Van mencondongkan tubuh, suaranya merendah. “Ngomong-ngomong ada hal lain yang ingin ku sampaikan... salah satu operasi kami di Growanie menemukan sesuatu. Kami menangkap beberapa orang dengan tato laba-laba itu.”
Udara terasa lebih dingin, bahkan di ruangan privat. James duduk lebih tegak tanpa banyak gerak.
“Di mana mereka sekarang?” tanyanya.
“Dalam tahanan. Kami memberi mereka keramahan The Veil.” Mulut Van mengeras. “Satu diantara mereka akhirnya berbicara.”
James tidak bergerak sedikit pun. Dia mendengarkan.
“Mereka menyebut diri mereka ‘The Web’,” kata Van perlahan. “Sebuah organisasi. Beroperasi di balik layar—pencucian uang, perdagangan manusia, teknologi, semuanya kacau.”
“The Web?” James mengulang. “Seperti jaring laba-laba.”
“Tepat.” Van mengangkat bahu. “Bukan sesuatu yang sering kita temui. Mereka beroperasi di wilayah yang jarang disentuh oleh orang-orang kita.”
James membiarkan itu mengendap. “Lalu kenapa aku tidak pernah mendengar tentang mereka sebelumnya?”
Rahang Van bergerak. “Pertanyaan pertama yang aku ajukan. Dugaanku—komando sebelumnya menyimpan banyak hal secara rahasia. Terlalu tertutup. Dia mungkin tahu lebih banyak daripada yang ia sampaikan kepada kami.”
Kesabaran James menipis, cukup untuk terasa berbahaya. “Jadi apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”
“Kita tidak bisa terburu-buru mengejar hantu,” kata Van. “The Veil perlu memetakan mereka dengan bersih. Biarkan kami menyiapkan dasar-dasarnya. Aku akan memberitahumu tentang operasi ini saat waktunya tiba.”
“Sudah bertahun-tahun,” kata James. “Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi.”
“Tenanglah,” kata Van. “Beberapa hari lagi saja. Biarkan kami mengunci mereka terlebih dulu.”
James menghela napas. “Baiklah. Lakukan satu hal untukku. Berikan aku salinan semua yang kau miliki tentang The Web.”
Mata Van menyipit. "Apa yang akan kau lakukan dengan itu semua?”
“Aku juga punya sumber daya. Aku membantumu dengan Dion, ingat?” Jelas James sambil tersenyum.
Van mempertimbangkan sejenak. Lalu dia mengangguk. “Aku akan memberimu akses. Tapi janjilah padaku—tidak ada tindakan sendiri. Tidak sampai aku bilang mulai.”
James mengembuskan napas. “Baiklah.”
Mereka membiarkan jeda itu berlalu. Pelayan pun kembali membawa hidangan. Aroma rempah-rempah, daging yang dimasak perlahan, dan sayuran menyebar di udara. James membuka penutup salah satu hidangan dan tangannya terhenti pada secarik catatan yang diselipkan di tepi piring.
“Terima kasih telah menjaga anak laki-lakiku yang tampan selama ini. Ini khusus untukmu. Aku berharap bisa bertemu denganmu setelah makan siangmu. Selamat menikmati. — Sophie.”
Sudut mulut James bergerak membentuk senyum kecil. “Ibuku,” katanya.
Van menatap piring itu dan menghirup aromanya. “Baunya menggoda.”
James menyikutnya dengan seringai. “Kau iri?”
Van tertawa kasar, “Mungkin sedikit.”
Mereka mulai makan.
Citadel City — Kantor Pusat ACE Group
Diane melangkah masuk ke kantor sambil membawa map tipis. “Ini, laporannya.”
Silvey bersandar di kursi di balik meja kerjanya yang mengilap, meregangkan kaki sebelum meraih map itu dengan malas. “Terima kasih.”
Dia membuka sampulnya, mata tajamnya menyapu halaman pertama. Di bagian atas tertulis: Keuangan Ace.
Keningnya berkerut. “Kenapa tingkat pertumbuhannya tidak naik? Lebih rendah dari bulan lalu.”
Diane menyatukan tangannya. “Beberapa faktor, Nona. Tuan Kyle tidak menyetujui dana pemasaran bulan lalu. Selain itu, dia juga mengalihkan persetujuan ke... kepentingan lain.”
Silvey mendongak keatas, tidak terkesan. “’Kepentingan yang lain, ya.”
“Dan,” Diane melanjutkan dengan hati-hati, “ada juga lonjakan persaingan yang tiba-tiba.”
“Persaingan?” Silvey mengangkat alisnya.
“Ya. Sebuah firma bernama Joker Finances. Mereka muncul entah dari mana dan merebut peluang-peluang baru. Strategi mereka—jujur saja—agresif.” Diane ragu-ragu, merendahkan suaranya. “Langkah-langkah Jasper di pasar lebih taktis, lebih presisi. Jika digabungkan, ini memberi tekanan nyata pada ACE.”
Bibir Silvey melengkung, setengah terhibur, setengah jengkel. “Benarkah? Kupikir itu hanya lelucon.”
“Awalnya memang begitu,” Diane mengakui. “Tapi kinerja mereka bulan lalu... luar biasa.”
Silvey menjatuhkan laporan itu ke meja dengan bunyi pelan. “Jadi dia memang bermain-main di luar sana dengan Paman Kyle. Mengalahkannya.” dia memiringkan kepala, mata menyipit. “Di mana Paman Kyle sekarang?”
Diane menggeleng. “Tidak ada yang melihatnya selama seminggu.”
Tawa tajam lolos dari tenggorokan Silvey. “Apakah dia sudah ingin kehilangan warisan?”
Wajah Diane menegang. “Jika keuangan ACE menunjukkan kerugian tahun ini, akan ada konsekuensi. Dewan direksi tidak akan memandangnya dengan baik.”
Silvey bersandar kebelakang, hampir puas, kilatan di matanya. “Biarkan saja. Itu yang kuinginkan.”
Di Suatu Sudut Dunia
Ruangan itu gelap, satu-satunya cahaya berasal dari sebuah lampu di atas meja kerja yang berantakan. Sosok itu duduk membungkuk, pensilnya menggores kertas dengan cepat. Garis-garis berbelit dan melengkung, membentuk sesuatu yang mengerikan.
Ketukan memecah keheningan.
“Masuk,” kata orang itu tanpa menoleh.
Pintu berderit terbuka. Seorang pria melangkah masuk, sedikit membungkuk. Suaranya terdengar gelisah. “Princess... beberapa agen kita di Growanie menghilang.”
Tangan yang memegang pensil membeku. Perlahan, sosok itu mengangkat kepala, bayangan wajahnya memanjang dalam cahaya redup.
“Menghilang?” Nadanya datar, penuh rasa ingin tahu. “Apakah mereka melarikan diri?”
“Sepertinya tidak,” kata pria itu hati-hati. “Keluarga mereka masih dalam pengawasan, dan mereka tahu artinya. Seperti seseorang telah menculik mereka.”
Keheningan menyelimuti. Lalu, perlahan, senyum merayap di wajah yang tertutup bayangan. Tawa kecil mengalir, naik menjadi tawa tajam dan gila.
“Menarik... HAHAHA... menarik.”
Tawa itu menggema di dinding, hingga tiba-tiba terhenti. Ia mencondongkan tubuh ke depan, mata berkilat dalam gelap.
“Cari tahu siapa yang melakukan itu semua,” perintahnya.
“Princess belum memainkan permainannya.”
Pria itu membungkuk cepat. “Ya, Princess.”
Sosok itu mendorong kursinya menjauh dari meja, melemparkan selembar kertas ke lantai. Kertas itu mendarat menghadap ke atas.
Gambar itu menatap balik pada mereka—monster yang menjijikkan dan mengerikan, penuh gigi dan bayangan, lahir dari garis-garis pikirannya.
Semangat buat Author..