Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balada Meisya, Mbak-Mbak Normal Di Dunia Paralel (Bagian 2)
Kantor Felix, Lantai 12 jam 18.30
Aku duduk di ruang beta testing. Di depan laptop. Awalnya pikiranku masih di penuhi oleh ucapan Pak Darwis buat berdamai dengan Natasha.
Tapi kemudian memilih fokus dengan apa yang ada di depanku. Iya fokus, walaupun sebenarnya lagi nge-scroll Shopee nyari sendok takar stainless.
Sumpah, bukan prioritas, tapi hatiku butuh pelarian.
Felix datang. Jalan pelan kayak di iklan perfume, kemeja coklat yang tidak dikancing dengan inner kaus putih dan celana beige. Ekspresi kayak AI yang lagi processing perasaan.
Dia naruh boba rasa taro dan satu kotak dimsum ayam. Di sampingnya ada buah potong dengan jenis yang berbeda.
“Lo kebanyakan makan manis. Jadi gue kasih buah buat rehabilitasi. Tapi biar nggak stress gue juga kasih lo boba.”
‘Hah?’
‘Si Felix aman?’
‘Kenapa rasanya hari ini dia perhatian banget?’
“Lo… punya permintaan sama gue?”
Dia bingung. Alisnya bersatu.
“Nggak”
“Atau lo merasa bersalah?”
Dia menghela nafas. Geleng-geleng kepala. Lalu kembali ke pojok ruangan di mana laptopnya berada. Nggak jawab pastinya.
Aku masih nggak ngerti. Saat tadi aku datang, dia diem kayak lagi banyak pikiran. Bahkan aku tidak berani buat bicara duluan. Sampai akhirnya kita sampai disini.
Bahkan setelah dia menjelaskan bagian yang hendak aku bantu, dia pergi menjauh ke pojok. Gak di samping atau depan aku. Tapi pojokan yang jaraknya hampir 50 meter.
Aku pikir dia lagi bad mood atau mungkin merasa kesal denganku karena kejadian di mobil kemaren. Tapi kenapa tiba-tiba ngasih boba? Dan rasa kesukaan aku pula?
‘Gue benar-benar nyerah buat nebak isi kepala pria aneh ini, tapi makanan gratis itu enaknya double.’
Aku ketawa sendiri. Fokus pada makanan yang ada di depanku. Bahkan peristiwa di kantor tadi terasa sudah lama berlalu.
“Lix… lo yakin ini semua buat gue?” ujarku dengan suara agak keras.
“….”
Aku menoleh ke arahnya. Dia terdiam tapi wajahnya tampak terkejut.
“Ka… kalau ini bukan buat gue semuanya, ha—harusnya lo nggak duduk jauh-jauh”
Aku terbata. Aku merasa bersalah. Kenapa? Gak tau.
Yang jelas saat dia menatap ku dengan mata seperti itu, alam bawah sadar ku langsung teriak.
‘MEISYA LO KALAU RAKUS JANGAN TERLALU KELIATAN.’
Dia mengangkat laptopnya. Bergerak pelan ke arahku. Lalu duduk di kursi yang menurutku terlalu dekat. Karena pundak kita hampir bersentuhan.
“Lo manggil gue apa barusan?”
Suaranya pelan. Tangannya menyangga tubuhnya di meja. Matanya menatapku tajam.
Seolah-olah aku adalah mangsa yang hendak kabur dari target hewan buas yang kelaparan. Aku menelan ludah.
‘Gue manggil apa barusan? Kenapa dia kayak… marah?’
“Ma—manggil apa? Fe… Felix?”
Dia menggeleng. Tapi matanya masih di wajahku.
“L—lo jangan natap gue gitu, apa gue melakukan kesalahan?”
“Lupakan!” ucapnya akhirnya dan kembali ke laptopnya.
‘TUHAN…. Apa yang sebenarnya terjadi? Dia sebentar baik, sebentar lagi marah kayak ada dendam kesumat.’
Beberapa menit kemudian—
Aku kembali ke laptop dan memainkan game yang sama kayak kemaren dan tentu saja kali ini karakter Zerof lebih mudah di dekati walau terkadang beberapa kali gamenya stuck saat aku hampir berhasil menjalankan misi.
Tapi fokusku masih terbagi pada pria yang duduk diam mengetik cepat di keyboard laptopnya.
Mukanya serius,kayak lagi meretas system keamanan NASA.
‘Astaga, masak cowok yang tampak sangat diandalkan ini masih 26 tahun? Apa karena dia terlalu serius? Tapi wajahnya nggak ada garis-garis halus tuh. Bahkan garis rahangnya juga terpahat jelas. Mungkin kalau gak jadi CTO, dia bakal sukses jadi model. Hmmm model?’
Aku terkikik membayangkan Felix melakukan Catwalk.
“Apa sih yang sebenarnya lo pikirkan, sampai lo nggak fokus ke gamenya?”
Aku menoleh kaget. Pria itu sudah menyipitkan matanya.
Aku terbatuk kecil.
“Nggak ada. Gue cuma mikir lo baru 26 tahun tapi udah jadi CTO. Sedangkan gue udah 30 tahun tapi masih mikir, beli rice cooker yang lucu warna mint atau yang ada tombol buat kukus jagung.”
“Apalagi yang di bilang Pedro? Bukankah lo bilang kalian cuma bahas tentang cinta buta lo yang gagal?”
Tajam. Dia pantas menjadi leader. Hanya dengan kalimat ‘CTO’ dia seperti sudah tau garis besar pembicaraanku dengan Pedro.
“Lo kok nggak sopan sih? Mas Pedro itu jauh lebih tua dari lo.”
Aku pura-pura mengalihkan topik.
Dia mendecakkan lidah. Aku terkesiap.
“Kalo lo mau tau lebih banyak soal gue, jangan tanya orang lain.”
“Hahaha---tentu” jawabku dengan tawa canggung.
Kemudian ruangan itu kembali hening. Hanya jarum dan suara AC yang terdengar.
Aku kembali ke mode testing. Mulai sibuk melawan kodok raksasa bersayap di tengah hutan digital yang berkabut. Music latar dramatis. Tapi atmosfernya malah makin absurd karena kami mulai debat.
“Gue yakin monster ini gabut,” celetukku sambil menghindar dari laser hijau monster.
Aku pikir Felix hanya akan diam terus, tapi dia menjawab dengan nada datar.
“Dia di bikin kesepian. Itu bagian dari lore-nya.”
“Jadi dia nembakin laser karena dia butuh pelukan?”
“Secara teknis—iya.”
Aku menoleh ke Felix. “Kita ini lagi testing game atau konseling psikologi karakter virtual?”
“Keduanya,” jawabnya pelan.
“Dan lo lulus wawancara HRD monster-nya.”
Setelah berkutat hampir satu setengah jam di depan laptop. Akhirnya testing selesai. Tapi rasa canggung masih full battery. Awalnya aku pikir aku nggak akan ngerasain itu mengingat betapa lancarnya obrolan kami saat melawan monster kodok, tapi ternyata situasinya tetap aja sama.
Aku berdiri, nyampirin tas selempangku. Felix berdiri pelan juga, kayak baru sadar kalau waktu sudah mulai larut.
“Ah…sudah larut aja,” katanya dengan nada khas Felix—dingin, datar dan jelas seperti notifikasi yang gak bisa di swipe.
Aku mengangguk, “Iya, tapi gue suka malam.”
Dia menoleh. “Kenapa?”
“Karena siang hari terlalu banyak drama dan malam itu kayak…waktu bonus buat membahagiakan diri.”
Felix tidak menjawab tapi senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
Kami keluar kantor. Jalan kaki ke parkiran basement. Sepi. Hening. Cuma ada suara langkah kaki dan…hatiku yang kayak ketemu mini boss baru: Canggung mode level dua.
Saat di dalam mobil aku sudah tidak tahan dengan suasananya.
“Bisa turunin gue di perempatan depan, gue mau beli sesuatu. Lo langsung pulang aja, gue bisa naik taksi online.”
“Lo mau beli apa? Gua gak mau ninggalin lo di jalanan begitu aja.”
“Tapi mungkin akan lama. Gue gak enak.”
Dia menoleh ke arahku.
“Lo masih segan sama gue? Setelah sejauh ini?”
“Hah?”
Aku bingung dengan kata-kata Felix. Tapi dia diam. Kemudian dengan suara yang hampir tidak terdengar dia menjawab.
“Lo bahkan sudah ngasih gue nama panggilan.”
“Ap—apa? Kapan gue…” aku berhenti sejenak. Mengingat semua percakapan ku dengan dia.
“LIX?!”
Dia tersenyum tapi tidak menoleh ke arahku. Tapi itu memang senyuman yang terlalu manis, kalau aku melihatnya terlalu lama sudah pasti aku akan diabetes.
“Lo harus manggil gue begitu untuk seterusnya dan jangan terlalu dekat dengan Pedro.”
Suaranya lunak. Bukan pelan. Tapi kayak bunyi air mengalir di sungai. Pelan tapi menyejukkan. Aku terpana. Senyum itu seperti iblis yang menawarkan godaan dengan imbalan jiwa.
‘Sadarlah Meisya, Lo jangan baper. Ingat!! Dia bocil. BOCIL!!’
“HAHAHA—tentu saja, kalau lo nggak keberatan.”
Aku tertawa. Bukan tawa senang. Tapi tawa di buat-buat agar semua yang dia katakana padaku hanya bentuk Felix menyampaikan bahwa level kita sudah naik jadi teman dengan nama panggilan.
Akhirnya aku bilang nggak jadi mampir. Felix mengangguk. Dan lanjut mengantarku sampai pagar rumah.
Aku tersenyum, lalu pamit turun.
Sambil masuk ke rumah, aku sempat menoleh.
Felix masih disitu. Masih duduk di belakang setir. Masih menatap. Masih mikir. Mungkin masih debug perasaan sendiri.
Aku?
Aku menutup pintu sambil senyum-senyum nggak jelas.
**