Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Aib Digital dan Runtuhnya Topeng Moral
Jam dinding digital di sudut layar monitor menunjukkan pukul 02.45 pagi.
Di luar, Jakarta mungkin lagi tidur lelap di bawah selimut polusi dan mimpi-mimpi yang belum kesampaian. Tapi di dalam bunker ruko ini, suasananya jauh dari kata istirahat. Udara di ruangan itu dingin menusuk, efek AC yang disetel di suhu 18 derajat biar server rakitan Rendra nggak overheat.
Rendra ngusap wajahnya yang terasa kebas. Matanya perih, kayak ada pasir yang nempel di kelopak mata gara-gara kelamaan natap sinar biru monitor. Di atas meja, kaleng minuman energi yang udah kosong tergeletak miring, sisa cairan lengketnya nempel di permukaan meja kayu. Bau kopi basi bercampur aroma ozon dari peralatan elektronik ngisi rongga hidungnya.
Di sofa pojok ruangan, Bagas tidur sambil duduk dengan posisi tangan terlipat di dada. Dengkuran halusnya jadi satu-satunya irama yang nemenin Rendra malam ini. Mantan bodyguard itu capek banget abis seharian muter-muter ngawasin rute pulang Clara.
Rendra kembali fokus ke layar. Jari-jarinya nggak berhenti nari di atas keyboard mekanikal yang suaranya clicky banget.
"Oke, mari kita lihat seberapa suci kalian," gumam Rendra pelan, suaranya serak.
Targetnya malam ini bukan sembarang orang. Berdasarkan data dari HP mata-mata yang ditangkep Bagas tadi sore, perintah penguntitan Clara dateng dari seseorang bernama Darmawan.
Darmawan ini bukan kacung. Dia adalah Kepala Strategi Kampanye untuk Partai Keadilan, partai lawan yang selama ini nyerang Pak Seno, dengan isu-isu moral dan agama. Di TV, Darmawan selalu tampil pake baju koko putih bersih, ngomongin soal integritas, kejujuran, dan bahaya pergaulan bebas.
Tapi Rendra tahu satu hal: "Semakin terang cahaya yang dipancarkan seseorang di depan publik, biasanya semakin gelap bayangan yang dia sembunyikan di belakang."
Rendra nggak butuh waktu lama buat nembus firewall keamanan pribadi Darmawan. Orang-orang tua kayak dia biasanya ngeremehin keamanan siber. Password email pribadinya? Kombinasi nama anak bungsu dan tanggal lahir istri. Terlalu klasik.
Begitu Rendra berhasil masuk ke akun cloud pribadi Darmawan, dia kayak nemu harta karun. Atau lebih tepatnya, tempat sampah.
Rendra ngebuka satu per satu folder yang ada di sana. Ada banyak foto kegiatan partai, draft pidato, hal-hal ngebosenin. Tapi Rendra nyari kejanggalan. Dia nyari folder yang dikasih nama aneh atau disembunyiin di sub-folder yang dalem banget.
Dan dia nemu.
Sebuah folder bernama "Proyek Amal".
Isinya? Bukan foto bagi-bagi sembako. Isinya adalah scan bukti transfer bank ke beberapa rekening luar negeri dan yang bikin Rendra nyengir lebar koleksi foto dan video Darmawan lagi bersenang-senang di sebuah kasino privat di Macau, ditemenin wanita-wanita yang jelas bukan istrinya.
Ironis. Orang yang teriak-teriak anti-maksiat di podium, ternyata langganan meja judi VIP di luar negeri.
"Kena lo," desis Rendra.
Tapi Rendra nggak gegabah. Dia nggak mau ngerilis ini langsung. Dia butuh momen yang pas. Dia menggunakan Visi nya buat ngelihat probabilitas.
Rendra memejamkan mata sebentar, ngebayangin skenario kalau dia ngerilis foto ini sekarang lewat akun anonim di X
Visi aktif.
Di kepalanya, dia ngelihat linimasa besok pagi. Foto itu viral. Tapi... tim cyber army Partai Keadilan langsung gerak cepet. Mereka bikin narasi kalau itu foto editan AI, rekayasa deepfake yang dibuat musuh politik. Dalam 24 jam, isu itu tenggelam karena debat soal asli atau palsu. Serangan Rendra gagal total.
Rendra buka mata. "Sial. Mereka punya tim penangkal hoax yang kuat."
Dia butuh strategi lain. Dia nggak bisa cuma lempar bom. Dia harus nanam bom itu di tempat yang nggak bisa dibantah.
Rendra balik ngelihat layar. Dia nemu file lain. Bukti chat WhatsApp yang di-backup. Di situ ada percakapan Darmawan sama bandar judi online lokal. Dia minta setoran dari bandar itu sebagai uang keamanan biar situs judinya nggak diblokir pemerintah lewat koneksi orang dalem partai.
Nah, ini dia. Ini bukan masalah moral pribadi, ini pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Jejak digital transfer uangnya ada.
Rendra nyusun rencana baru. Dia nggak bakal ngerilis di sosmed. Dia bakal ngirim data ini ke Kejaksaan Agung lewat jalur whistleblower anonim, dan... salinannya dia kirim ke jurnalis investigasi senior yang paling dibenci sama Partai Keadilan. Jurnalis yang kalau nulis berita, datanya valid 100%.
"Selamat pagi, Pak Darmawan. Nikmati kopi terakhir Bapak sebelum rompi oranye dateng," Rendra nekan tombol Enter.
Data terkirim. Terenkripsi. Tak terlacak.
Rendra nyandar di kursinya, ngeregangin otot punggung yang bunyi krak. Rasanya puas banget. Jauh lebih puas daripada nonjok muka preman. Ini adalah kekuatan sesungguhnya. Menghancurkan reputasi seseorang tanpa perlu nyentuh fisiknya sedikit pun.
Matahari pagi masuk malu-malu lewat celah ventilasi kantin SMA Bhakti Kencana. Bau nasi goreng dan soto ayam mulai ngisi udara, bikin perut Rendra yang cuma diisi kopi semalem langsung demo minta jatah.
Rendra duduk di bangku pojok favoritnya, nyendok bubur ayam (diaduk, karena dia penganut aliran sesat yang mementingkan rasa daripada estetika). Di sekelilingnya, suasana kantin bener-bener riuh. Bukan riuh biasa, tapi riuh orang-orang yang lagi heboh liat HP.
"Gila! Lo liat nggak trending topic nomor satu?" seru salah satu siswa di meja sebelah.
"Sumpah, Pak Darmawan? Yang alim itu? Anjir, transferan judi online coy! Milyaran!"
"Bukan cuma itu, liat nih videonya di Macau. Mukanya jelas banget, nggak mungkin AI. Gila ya, munafik banget orang-orang atas."
Rendra senyum tipis sambil makan kerupuk. Rencananya berhasil lebih cepet dari dugaan. Jurnalis itu gerak cepet, dan beritanya meledak kayak bom nuklir di siang bolong.
Tiba-tiba, ada bayangan yang nutupin meja Rendra.
Clara berdiri di sana. Mukanya campur aduk antara kaget dan lega. Dia bawa nampan berisi roti bakar.
"Rendra..." bisik Clara sambil duduk di depannya. "Lo udah baca berita?"
"Berita apa? Soal Pak Darmawan itu?" Rendra pura-pura bego, masang tampang polos anak SMA yang kurang update. "Iya, rame banget ya di grup kelas."
Clara menghela napas panjang, pundaknya turun, kelihatan beban berat banget baru aja diangkat. "Lo tau nggak... orang itu, Pak Darmawan, dia yang selama ini paling kenceng nyerang Ayah gue. Dia yang bikin isu macem-macem soal keluarga gue."
Clara natap layar HP nya yang nampilin foto Darmawan lagi digiring ke mobil kejaksaan. "Dan sekarang... dia ancur dalam semalam. Karma itu beneran ada ya, Ren? Cepet banget datengnya."
Rendra natap mata Clara yang berbinar lega. Ada rasa aneh di hati Rendra. Dia seneng liat Clara lega, tapi di sisi lain, dia sadar kalau dia lah tangan karma itu. Dia yang mutusin kapan karma dateng dan ke siapa.
"Mungkin bukan cuma karma, Ra," kata Rendra pelan. "Mungkin ada orang baik yang muak liat orang jahat menang terus."
Clara senyum manis banget. "Siapapun orang itu, gue mau ngucapin makasih banget sama dia. Gara-gara berita ini, serangan ke Ayah berhenti total. Mata-mata yang ngikutin gue kemaren juga pasti ditarik mundur karena bosnya sibuk nyelamatin diri."
"Baguslah kalau gitu. Lo jadi bisa fokus belajar buat ulangan Fisika besok," canda Rendra, nyoba mencairkan suasana.
"Ih, Rendra! Jangan ngerusak mood dong!" Clara ketawa sambil ngelempar tisu ke arah Rendra.
Di tengah tawa mereka, HP Rendra di saku celana bergetar.
Ada pesan masuk. Dari Elena.
Isinya singkat:
"Aku tahu ini kerjaanmu. Caranya terlalu rapi. Terima kasih. Tapi hati-hati, Rendra. Menjatuhkan gajah akan bikin tanah bergetar. Hati-hati sama reruntuhannya."
Rendra cuma baca sekilas, terus masukin HP-nya lagi. Elena makin pinter nebak.
Sorenya, Rendra duduk di atap rukonya, ngeliatin langit Jakarta yang mulai jingga. Angin sore menerpa wajahnya, bawa debu jalanan yang khas. Bagas lagi sibuk ngopi di bawah sambil ngawasin CCTV.
Rendra merenung. Hidupnya berubah drastis dalam waktu singkat. Dari anak yatim piatu yang dihina karena miskin, jadi operator bayangan yang bisa menjatuhkan karir politikus nasional cuma modal laptop dan kopi.
Dia inget kata-kata Pak Bima dulu waktu pelajaran Sejarah.
"Manusia itu kayak bawang merah, Rendra. Berlapis-lapis. Kalau kau kupas satu lapis, kau bakal nemu lapis lain di bawahnya. Dan proses mengupas itu seringkali bikin mata perih dan menangis."
Dulu Rendra nggak paham. Sekarang dia ngerti banget.
Setiap orang punya lapisan.
Pak Darmawan punya lapisan orang suci yang nutupin lapisan penjudi.
Tuan Wirawan punya lapisan pengusaha sukses yang nutupin lapisan monster limbah.
Dan Rendra sendiri... dia punya lapisan siswa miskin beasiswa yang nutupin lapisan Raja Bayangan.
Pertanyaannya sekarang: Berapa lapis lagi yang harus dia kupas sampai dia nemu inti dari semua kekacauan ini? Dan apakah dia siap kalau proses itu bakal bikin dia dan orang-orang yang dia sayang nangis darah?
Rendra meneguk sisa kopinya. Pahit.
"Lapis demi lapis, Pak Bima," gumam Rendra pada angin. "Akan gue kupas semuanya. Biar busuknya ke cium satu dunia."
Di bawah sana, kota Jakarta mulai nyalahin lampu-lampunya. Lampu-lampu yang menyembunyikan seribu dosa di balik kilaunya. Dan Rendra, dengan matanya yang bisa ngeliat masa depan, siap jadi satu-satunya orang yang nggak silau sama cahaya palsu itu.
Semangat Thor