Romlah tak menyangka jika dia akan melihat suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, bahkan sahabatnya itu sudah melahirkan anak suaminya.
Di saat dia ingin bertanya kenapa keduanya berselingkuh, dia malah dianiaya oleh keduanya. Bahkan, di saat dia sedang sekarat, keduanya malah menyiramkan minyak tanah ke tubuh Romlah dan membakar tubuh wanita itu.
"Sampai mati pun aku tidak akan rela jika kalian bersatu, aku akan terus mengganggu hidup kalian," ujar Romlah ketika melihat kepergian keduanya.
Napas Romlah sudah tersenggal, dia hampir mati. Di saat wanita itu meregang nyawa, iblis datang dengan segala rayuannya.
"Jangan takut, aku akan membantu kamu membalas dendam. Cukup katakan iya, setelah kamu mati, kamu akan menjadi budakku dan aku akan membantu kamu untuk membalas dendam."
Balasan seperti apa yang dijanjikan oleh iblis?
Yuk baca ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BDN Bab 33
Matahari sudah pulang ke tempat peraduannya, gelap menyelimuti bumi di mana tempat Sugeng berpijak. Pria itu lagi-lagi merasa malas untuk pulang, karena saat ini dia sungguh menginginkannya.
Ingin minta kepada Inah tetapi tidak tega, karena wanita itu masih masa pemulihan. Jika dia memaksa, rasanya pasti tidak enak karena melihat Inah yang meringis kesakitan. Bukan merintih keenakan.
Kalau ia memintanya kepada Ajeng, dia takut akan dipermainkan kembali. Karena pelayan yang bekerja di rumahnya itu sangat pandai mempermainkan dirinya.
"Apa aku pergi ke rumah pecurran saja ya?"
Sugeng merasa tidak tahan sekali, kepalanya sakit, miliknya berkedut-kedut seperti ingin dimasukkan. Dia tak tahan.
"Aku nyari cewek yang bersihlah, nggak tahan kalau terus menahan keinginan."
Sugeng akhirnya pergi ke rumah pelaacuran, di sana ternyata banyak wanita yang begitu cantik. Ada yang harganya murah, sedang, sampai yang mahal. Tergantung dari pesanan yang dia inginkan.
"Aku mau yang bersih, cantik dan juga tahan lama."
Sugeng sedang berbicara dengan pemilik rumah pelaacuran itu, wanita yang usianya sudah hampir setengah baya, tetapi masih cantik dengan penampilannya yang begitu modis.
"Ada, dia belum lama kerja di sini. Paling baru tiga kali main, dijamin bersih."
"Ya udah buruan antar aku ke kamar wanita itu," ujar Sugeng.
"Ada duit, ada barang." Wanita itu menengadahkan tangannya.
Sugeng memberikan uang sesuai dengan permintaan dari wanita itu, setelah itu dia diantarkan ke dalam kamar wanita yang sudah menunggunya.
Wanita itu terlihat masih muda, masih terlihat usia belasan tahun. Tubuhnya ramping, dada dan bokongnya tak besar seperti milik Romlah ataupun Ajeng, tetapi dia menyukainya.
"Berapa lama kamu bisa melayani aku dengan uang yang aku berikan?"
"Satu malam penuh," jawab wanita cantik itu.
"Siapa nama kamu?" tanya Sugeng sambil mengecup pipi mulus wanita itu.
"Rahma, tuan."
"Namanya cantik, sesuai dengan orangnya."
Malam ini Sugeng begitu menggebuk dalam menggauli wanita itu, dia bahkan hanya sebentar saja sudah selesai dan mencapai puncaknya. Namun, malam harinya dia meminta ronde tambahan. Rugi bukan, sudah membayar mahal tapi hanya melakukannya satu kali dan tidak lama.
"Kamu sangat sempit, aku puas."
Sugeng menutup matanya karena nikmat dan juga lelah, tak lama kemudian dia masuk ke alam mimpinya. Pria itu mimpi begitu indah, sampai-sampai dia terbangun setelah matahari mulai meninggi.
"Panas," ujar Sugeng.
Sugeng menggerakkan tubuhnya perlahan, dia merasakan otot-ototnya yang kaku dan juga nyeri. Matanya yang berat sulit dibuka, tetapi saat kelopak matanya terangkat, pandangannya langsung buram karena sinar matahari yang menyilaukan.
Ia menggeliat, lalu menatap sekeliling dengan bingung. Tanah kering dan batu kecil menjadi alas tempat dia tidur, bahkan tanah dan juga batu kecil itu menggores kulitnya.
"Ini di mana, ya ampun?!"
Suaranya bergetar, antara panik dan tidak percaya. Ternyata, ia terbaring di tengah kebun Jamblang, bukan di atas kasur empuk yang tadi malam ia tiduri.
Tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun, yang membuat dia lebih kaget lagi karena banyak lalat yang asyik hinggap pada miliknya. Hal itu membuatnya semakin risih karena basah dengan cairan putih yang lengket.
Sugeng mengusap wajahnya dengan kasar, suaranya terdengar kesal. Emosinya meledak, antara marah dan juga bingung yang kini dia rasakan.
"Sialan! Bukannya tadi malam aku ke tempat pelaccuran? Kenapa aku jadi berada di tempat seperti ini?"
Ia segera memeriksa sekitarnya, matanya dengan cepat berkeliling mencari bajunya. Namun, ternyata di sana tidak ada bajunya. Hanya ada hamparan tanah yang tertutup daun kering dan juga buah yang berjatuhan.
"Mobilku mana ya?"
Sugeng mengedarkan pandangannya, dia mencari mobilnya, tapi nihil dia tak melihat mobil miliknya itu. Di saat dia sedang serius mencari mobilnya, Sugeng merasa mulai tidak betah.
Gatal dan geli merambat ke seluruh tubuhnya, terutama bagian yang paling sensitif. Sugeng mengerang, tangannya dengan gemetar berusaha menutupi dirinya.
"Di mana sih mobilku?!" gumamnya dengan napas tersengal.
Sugeng melangkah cepat, matanya mencari-cari mobil itu di sekitar pepohonan Jamblang yang tinggi menjulang. Tak lama kemudian tatapan matanya langsung tertuju pada mobil yang terparkir di dekat saung kecil tidak jauh dari tempat dia berdiri.
Napasnya tertahan sejenak ketika melihat mobilnya yang ternyata ada tidak jauh dari dirinya, setidaknya dia tidak khawatir untuk pulang.
"Aku harus cari baju dulu," gumamnya.
Dengan cepat dia melangkahkan kakinya agar bisa segera masuk ke dalam mobil, berharap ada cadangan baju di dalamnya. Namun, kesadarannya datang saat dia sadar belum berpakaian.
Tangannya menangkap sehelai daun pisang yang menjuntai dekat saung, lalu ia gunakan untuk menutupi miliknya. Dengan langkah tergesa, Sugeng berlari kecil ke mobil.
"Ini aneh banget,” katanya sambil mengelap sapu tangan ke tubuhnya, berusaha membersihkan kotoran yang menempel.
Jarinya gemetar saat mencari-cari baju di dalam mobil itu, Sugeng masih beruntung karena ternyata di dalam mobil itu masih ada baju yang tersimpan dengan rapi.
Dia mengambil baju itu dan dengan cepat memakainya. Setelah berganti pakaian, dia menghela napas panjang, sedikit lega tapi masih bingung dengan kejadian yang baru saja dia alami.
"Serius ini aneh banget,
Sugeng melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, karena dia ingin segera tiba di rumah dan ingin cepat mandi. Saat tiba di rumah, Inah sudah menunggu dengan wajah cemas dan mata tajam yang langsung menatapnya.
"Kamu dari mana saja, Mas? Kenapa jam segini baru pulang? Kenapa tadi malam kamu tidak pulang? Kamu pergi ke mana?” tanyanya, suara Inah bergetar antara marah dan khawatir, membuat dada Sugeng terasa sesak.
Ada rasa bersalah yang menyeruak ke dalam hati Sugeng, karena walaupun wanita itu kini sudah dirasa tidak berguna, tetapi dari dulu wanita itu selalu membuat dirinya bahagia.
"Anu, Yang. Aku ketiduran di resto, terlalu banyak hal yang harus diurus. Sampai lupa pulang," jawab Sugeng.
Inah memperhatikan penampilan Sugeng, wajah pria itu nampak kusut dan juga kotor. Kedua tangannya juga kotor, seperti anak kecil yang habis main tanah.
"Gitu ya?" tanya Inah tak yakin.
"Iya, aku mandi dulu ya. Cape banget," jawab Sugeng yang dengan cepat masuk ke dalam kamar mandi.
Selepas mandi Sugeng mengganti pakaiannya, saat dia membuka lemari, dia merasa heran karena kunci brangkas miliknya tidak berada di tempat biasa dia menyimpannya.
"Aneh, kenapa kunci brankasnya ada di laci nomor dua? Biasanya di laci paling bawah," ujar Sugeng.