---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33- HANYA MEMILIKI RAGA
Sudah enam bulan berlalu sejak pernikahan Raka dan Rianty.
Waktu berjalan seperti biasa, tapi suasana rumah besar keluarga Wijaya terasa dingin. Tidak ada pertengkaran, tapi juga tidak ada kehangatan. Setiap pagi mereka sarapan bersama, berbicara seperlunya, lalu sibuk dengan urusan masing-masing.
Raka berangkat kerja lebih awal dan pulang tepat waktu. Ia selalu sopan, tidak pernah meninggikan suara, tapi juga tidak pernah menunjukkan keakraban lebih. Begitu masuk kamar, ia hanya berganti pakaian, membaca berkas sebentar, lalu tidur membelakangi istrinya.
Rianty tahu, posisi tidur itu bukan kebetulan. Itu jarak—jarak yang tidak terlihat tapi jelas terasa.
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Lampu kamar redup, udara sejuk dari pendingin ruangan mengalir lembut. Rianty duduk di sisi ranjang, memperhatikan punggung Raka yang diam menghadap dinding.
Ia mengulurkan tangan, ingin menyentuh bahu suaminya, tapi berhenti di tengah jalan.
Tangan itu perlahan turun kembali.
Ia takut. Takut Raka akan menepisnya. Takut kalau lelaki itu membuka mata dan menatapnya dengan tatapan kosong seperti yang sudah-sudah.
“Kenapa rasanya seperti ini terus…” gumamnya pelan, hampir tanpa suara.
Ia menatap langit-langit kamar, memikirkan bagaimana suaminya bisa begitu baik di depan orang lain, tapi begitu jauh di depan dirinya sendiri.
Keesokan paginya, di ruang makan yang luas dan rapi, aroma teh melati mengisi udara. Nyonya Cassandra, ibunda Rianty, menghampiri Ia memperhatikan putrinya yang duduk lesu di meja makan.
“Rianty,” panggilnya lembut.
Rianty menoleh cepat, sedikit gugup. “Mami iya mi ada apa?”
Nyonya Cassandra tersenyum tipis sambil mengaduk teh di cangkir porselen. “Mami cuma mau tahu… bagaimana hubungan kalian berdua selama enam bulan ini?”
Pertanyaan itu membuat dada Rianty sesak. Ia menunduk, memainkan sendok di piringnya. “Baik-baik aja, Mi…” katanya pelan.
Namun ibunya menatap tajam. “Baik-baik aja? Kau pikir Mama nggak tahu? Rumah ini terlalu sepi, Rianty. Suamimu sopan, iya. Tapi dari cara kamu bicara, Mama tahu, kamu nggak bahagia.”
Rianty terdiam. Ia berusaha menahan air mata, tapi matanya mulai berair juga.
“Selama enam bulan, Mi… dia nggak pernah menyentuhku. Nggak sekalipun,” suaranya lirih tapi jelas. “Dia selalu bilang ingin menjaga komitmen dan janji yang pernah dia buat sama… Widuri.”
Nama itu masih terdengar berat di telinganya.
Widuri. istri pertama yang ada di hati Raka, sampai sekarang masih menempel di pikiran nya.
"Bagaimana pun kami.menikah karena persetujuan dari nya"ucap rianty sambil menghela nafas panjang
Nyonya Cassandra menghela napas panjang. Ia memang sudah menduga ini. Pernikahan itu sejak awal bukan karena cinta yang tumbuh dari dua arah, tapi karena rasa tanggung jawab dan kompromi.
“Rianty, Mama tahu kamu wanita kuat. Tapi kalau kamu terus begini, kamu yang akan hancur pelan-pelan,” ucapnya tenang.
“Terus aku harus apa, Mi?” tanya Rianty dengan suara bergetar. “Aku udah coba segalanya. Aku masak, aku beresin rumah, aku temani dia kalau pulang kerja, tapi dia tetap dingin. Kadang aku ngerasa, dia cuma tinggal di rumah ini karena kasihan.”
Nyonya Cassandra diam sejenak, lalu mendekat. Ia menatap putrinya dalam-dalam.
“Dengarkan Mama baik-baik. Kalau kamu ingin Raka benar-benar jadi milikmu, kamu harus berani ambil langkah yang lebih tegas. Ada cara, tapi kamu harus siap dengan risikonya.”
Rianty menatap ibunya ragu. “Apa maksud Mama? Cara apa?”
Nyonya Cassandra meneguk tehnya pelan sebelum menjawab. “Kamu tahu sendiri, Raka orangnya terlalu patuh sama janji. Kadang laki-laki seperti itu butuh sedikit dorongan. Kalau kamu ingin dia melihatmu sebagai istrinya, bukan sekadar wanita yang tinggal satu rumah dengannya, kamu harus bisa buat dia… melupakan janji itu, walau hanya sekali.”
Rianty menelan ludah. “Maksud Mama… aku harus—”
“Ya,” potong Nyonya Cassandra pelan tapi tegas. “Kamu istri sahnya, Rianty. Kamu nggak salah kalau ingin memiliki suamimu sendiri. Tapi jangan tunggu dia sadar, karena bisa-bisa dia nggak akan pernah sadar.”
Rianty terdiam lama. Matanya kosong, pikirannya berputar. Ia tahu apa yang ibunya maksud. Ia tahu itu bukan hal yang ringan. Tapi semakin lama ia menunggu, semakin dalam kesepian itu menenggelamkannya.
Malamnya, Raka pulang seperti biasa. Waktu menunjukkan pukul sembilan. Ia langsung menaruh tas di meja dan mengganti baju tanpa bicara banyak.
“Capek?” tanya Rianty dari sofa, mencoba membuka obrolan.
“Lumayan,” jawab Raka singkat sambil duduk.
“Aku udah siapin makan malam. Mau aku hangatin lagi?”
“Nggak usah, aku udah makan di kantor.”
Hening.
Suara jam dinding terdengar jelas. Rianty menatap wajah Raka yang datar tanpa ekspresi. Ia berusaha tersenyum, tapi hatinya terasa semakin sesak.
Ia tahu, kalau malam ini lewat lagi tanpa perubahan, mungkin pernikahan mereka akan benar-benar beku.
Setelah Raka masuk kamar, Rianty berdiri lama di depan kaca. Ia menatap pantulan dirinya sendiri. Matanya sembab, tapi di balik itu ada tekad yang perlahan tumbuh. Kata-kata ibunya terngiang di kepala:
“Terkadang, untuk mempertahankan sesuatu yang kita cintai, kita harus berani mengambil risiko.”
Beberapa jam kemudian, Raka sudah berbaring di tempat tidur. Lampu kamar redup.
Rianty masuk pelan-pelan, membawa segelas air. Ia menaruhnya di meja kecil di samping ranjang, lalu duduk di sisi tempat tidur.
“Raka,” panggilnya pelan.
Raka membuka mata, menoleh singkat. “Kenapa belum tidur?”
“Aku cuma… pengen ngobrol sebentar.”
“Besok aja ya, aku capek banget,” jawab Raka sambil menarik selimut.
Rianty diam beberapa detik. “Raka, aku juga istrimu…” katanya lirih.
Raka berhenti sebentar, lalu menjawab tanpa menoleh, “Aku tahu.”
“Tapi kenapa rasanya kayak aku cuma orang asing di rumah ini?”
Raka menarik napas panjang, matanya menatap langit-langit. “Rianty, aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu. Aku cuma… menepati janji ku.”
Rianty menunduk. Suaranya hampir tak terdengar. “Enam bulan bukan waktu yang sebentar, Raka.”
Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara pendingin ruangan dan detak jam di dinding.
Rianty memejamkan mata sejenak. Ia tahu malam ini tidak akan berubah apa-apa. Tapi di dalam hatinya, sebuah keputusan mulai terbentuk.
Setelah Raka tertidur, Rianty berjalan ke balkon. Angin malam menyentuh wajahnya.
Ia memandang langit, tapi pikirannya kacau.
“Raka,” gumamnya pelan. “Aku tahu kamu nggak bisa melupakan Widuri, tapi aku juga manusia. Aku cuma pengen kamu lihat aku, walau cuma sedikit.”
Air matanya jatuh pelan.
Ia tahu apa yang akan ia lakukan nanti mungkin akan membuat Raka marah, mungkin juga menyesal. Tapi di titik itu, ia sudah lelah menunggu.
“Kalau dengan cara itu aku bisa bikin kamu lihat aku sebagai istrimu,” katanya pelan. “Maka aku akan melakukannya… meski mungkin kamu cuma akan memberiku ragamu, bukan hatimu.”
Rianty masuk kembali ke kamar. Ia memandang Raka yang sedang tidur. Wajah lelaki itu tenang, tapi di balik ketenangan itu, Rianty tahu hatinya sedang berada di tempat lain.
Ia menarik napas panjang, lalu menatap suaminya sekali lagi.
“Maaf, Raka…” bisiknya pelan. “Aku cuma ingin kamu jadi milikku sepenuhnya.”
Malam itu, suasana rumah tetap sama. Tapi di hati Rianty, sesuatu telah berubah. Ia tahu, setelah malam ini, hidup mereka tidak akan lagi sama.
#tbc
Morning readers!!
Jangan lupa like vote komen and kirsan nya