Di dunia di mana kekuatan spiritual menentukan segalanya, Yu Chen, seorang pelayan muda dengan akar spiritual abu-abu, berjuang di dasar hierarki Sekte Awan Hening. Di balik kelemahannya tersembunyi rahasia kuno yang akan mengubah takdirnya. Dari langkah kecil menuju jalan kultivasi, ia memulai perjalanan yang perlahan menantang langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Morning Sunn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 30: Batu Roh Tertinggi, Bayangan Naga Hitam, dan Puncak Jiwa
Kabut dingin bergulung di atas dataran es yang tak berujung. Langit di sana berwarna kelabu keperakan, seolah waktu sendiri membeku. Kapal spiritual yang dinaiki Yu Chen meluncur perlahan, memantulkan cahaya bintang yang tersembunyi di balik kabut. Di bawah lambungnya mengalir arus energi biru pucat—sisa jalur ruang yang baru ditembus.
Ning Rou duduk bersila di sisi anjungan, jari-jarinya bergerak cepat di atas permukaan giok formasi. Simbol-simbol emas muncul dan lenyap, menambal retakan yang masih memancarkan percikan Chaos. “Kapal ini tak akan bertahan lama,” katanya lirih. “Energi Kehampaan di tempat ini menelan inti daya kita.”
Yu Chen memejamkan mata, merasakan getaran halus yang merambat melalui tubuh jiwanya. Di bawah kulit spiritualnya, Tubuh Jiwa yang telah ditempa dengan Jiwu Emas bergetar ringan, menahan tekanan luar. Udara di Dataran Beku ini bukan udara biasa—ia berisi serpih ruang yang retak, setiap helai kabut membawa pisau tak kasatmata.
“Aku akan turun sendiri,” katanya akhirnya. “Tambang Batu Roh Tertinggi ada di bawah lapisan es ketujuh. Jika aku tak kembali sebelum matahari kedua terbit, nyalakan formasi pelarian.”
Ning Rou menatapnya lama. “Jika mereka datang—baik Paviliun maupun Sekte Naga Hijau—kau takkan sempat melawan di atas kapal ini.”
Yu Chen tersenyum tipis. “Maka aku harus selesai sebelum mereka tiba.”
Ia melangkah turun, menembus kabut. Setiap langkah menimbulkan riak cahaya, seolah ia berjalan di atas cermin air beku. Di bawahnya, Dataran Beku terbuka seperti jurang putih tanpa dasar. Zona Hening, tempat di mana hukum ruang saling meniadakan dan suara teredam oleh bekuan waktu.
Reruntuhan di bawah Es
Di kedalaman ketujuh, Yu Chen menemukan kota yang terkubur. Pilar-pilar raksasa menjulang di bawah lapisan es transparan, memancarkan kilau kehijauan dari Batu Roh Tertinggi yang tertanam di dinding. Namun setiap cahaya itu diselimuti kabut hitam—nafas asing yang berdenyut, seperti makhluk yang tidur di bawah bumi.
Ia menurunkan diri, membuka segel ruang dengan satu gerakan jari. Lapisan es retak, menyambut hawa dingin yang menusuk hingga menembus Tubuh Jiwa.
Saat kakinya menyentuh lantai kota kuno, dunia bergetar pelan. Dari retakan formasi purba itu keluar suara rendah, berat, seperti geraman naga yang terkubur ribuan tahun.
Klan Naga Hitam Beku.
Dari kegelapan, sosok-sosok besar bermunculan. Tubuh mereka bersisik hitam kebiruan, mata mereka menyala bagai bara di bawah salju. Udara di sekitar mereka bergetar oleh kekuatan darah naga purba yang terdistorsi oleh es dan kebencian.
Pemimpinnya melangkah ke depan—seorang Iblis Naga bermantel es, dua tanduknya melengkung seperti sabit. “Manusia,” desisnya, “darahmu membawa bau warisan yang telah kami hilangkan. Kau datang untuk mencuri jantung bumi kami?”
Yu Chen mengangkat kepalanya, mata emasnya menatap tanpa takut. “Aku datang bukan untuk mencuri. Aku datang untuk bertahan hidup.”
Iblis itu tertawa, suaranya mengguncang dinding. “Bertahan hidup? Di tanah para naga yang membeku? Maka bertarunglah, warisan yang terlupakan!”
Pertempuran di Zona Hening
Ratusan naga iblis menyerbu. Es pecah, kabut ruang berputar liar. Yu Chen menarik napas panjang—udara dingin mengalir ke Dantian, bergetar di sekitar Inti Emas yang kini bersinar lembut di balik tubuh jiwanya.
Ia menghunus pedangnya. Bilahnya tak memancarkan cahaya, hanya bayangan tipis yang memecah kabut. Jurus Pedang Abadi Kesembilan, Nada Ketiga – Pedang Tanpa Bentuk, terurai dari kehendaknya.
Udara meledak tanpa suara.
Bilah tak terlihat itu menembus ruang, membelah kabut dan kulit naga. Seekor Iblis Naga raksasa tersentak, tubuhnya membeku di tempat lalu hancur menjadi pecahan es yang berkilau. Namun untuk setiap satu yang jatuh, tiga lainnya muncul.
Yu Chen bergerak cepat, memanfaatkan celah ruang yang ia rasakan dengan insting. Hukum Ruang di tubuhnya menipis lalu menebal, menciptakan riak waktu semu. Serangan naga-naga itu menembus tubuhnya, tapi hanya menghantam bayangan jiwa yang tertinggal sepersekian detik sebelumnya.
“Bayangan…” desis sang pemimpin Iblis. “Kau telah menembus tabir jiwa. Maka aku akan menghancurkan jiwamu!”
Ia menegakkan tubuhnya, dan dari dalam dadanya keluar aura hitam pekat. Langit di atas reruntuhan berubah menjadi pusaran malam, menggambar siluet Naga Hitam Beku purba yang membentang sejauh cakrawala. Suara gemuruhnya membuat ruang di sekitar mereka retak.
Yu Chen melangkah maju. “Kau naga tanpa cahaya. Aku naga yang belajar dari hening.”
Ia menutup matanya.
Inti Emas di dalam Dantian-nya bergetar, dan dari dalamnya memancar tiga warna: ungu—warisan naga; hitam—energi Chaos; dan emas—jiwa yang dimurnikan. Warna-warna itu berputar seperti pusaran bintang, menyatu menjadi cahaya baru yang membungkus seluruh tubuhnya.
Kabut membelah. Pedang di tangannya mulai bernyanyi.
Strategi Jiwa dan Tubuh
Pertempuran berlanjut tak terukur. Yu Chen tidak lagi mengandalkan kekuatan kasar. Setiap tebasan adalah hasil perhitungan ruang—satu langkah maju, tiga bidang dimensi hancur; satu tarikan napas, sepuluh bayangan naga lenyap.
Ia menari di antara garis realitas, memecah formasi alam yang melindungi Klan Naga Hitam Beku. Tapi darahnya sendiri mulai mendidih; Tubuh Jiwanya retak oleh tekanan energi yang berlawanan.
Belum cukup, pikirnya. Hukum ruang belum tunduk sepenuhnya. Aku butuh inti yang lebih murni.
Ia menggenggam kantong di dadanya—di sana tersimpan Jiwu Emas. Kristal kecil itu bersinar lembut, memancarkan resonansi dengan jiwa naga di dalam tubuhnya.
Tanpa ragu ia menelannya.
Ledakan cahaya menyelimuti dunia. Setiap partikel udara membeku, setiap detik berhenti.
Rasa sakit itu datang seperti ribuan jarum menembus jantung jiwanya. Bayangan Jiwa di dalam tubuhnya bergetar, berubah bentuk. Hitam—Chaos—bercampur dengan Emas—Kemurnian. Untuk sesaat ia melihat dirinya sendiri di lautan emas, terbelah antara dua dunia: naga dan manusia, pemburu dan korban, hening dan raungan.
“Apakah aku masih manusia?” bisiknya.
Suara Roh Naga menjawab dari dalam dirinya, lembut namun bergemuruh: “Kau adalah yang menyeimbangkan. Naga yang tak berakar dan manusia yang menolak surga.”
Tubuh Yu Chen bersinar semakin terang. Retakan di kulit jiwanya menutup, berubah menjadi pola bersisik halus. Cap Naga Hitam-Emas terbentuk di punggungnya, berdenyut pelan seiring detak jiwanya.
Energi Jiwu Emas meledak ke luar, membentuk lingkaran emas di sekeliling kota beku.
Puncak Jiwa
Iblis Naga Beku terakhir meraung, mencoba menelan cahaya itu. Tapi bilah pedang Yu Chen sudah bergerak.
Bukan serangan cepat, bukan kekuatan besar—melainkan satu tebasan yang menembus waktu. Pedang itu mengiris udara, melewati tubuh naga tanpa meninggalkan luka, hanya keheningan. Sesaat kemudian, naga itu berhenti bergerak. Retakan cahaya menyebar di tubuhnya, lalu pecah menjadi serpihan es hitam yang melayang tenang di udara.
Di tengah hujan serpihan itu, Yu Chen berdiri tegak. Napasnya berat, tapi matanya jernih.
Tahap 14 – Puncak Jiwa.
Jiwa dan tubuhnya bersatu. Suara naga purba terdengar di seluruh dataran, lalu perlahan memudar menjadi keheningan sempurna. Di dunia itu tak ada lagi suara—hanya detak jiwanya sendiri, seperti lonceng abadi yang menggema dalam sunyi.
Ia mengangkat tangannya. Batu Roh Tertinggi di dinding mulai bergetar, satu per satu keluar dari sarangnya dan melayang ke udara, membentuk orbit di sekelilingnya. Cahaya biru keperakan menyelimuti reruntuhan, menerangi bekas formasi kuno yang selama ribuan tahun tertutup es.
“Beristirahatlah,” ucapnya kepada roh-roh naga yang tersisa. “Aku bukan musuhmu.”
Serpihan es yang tersisa mencair, meninggalkan sinar emas tipis yang naik ke langit dan lenyap dalam kabut.
Pertemuan di Gua Es
Ketika cahaya mereda, Yu Chen berjalan menuju bagian terdalam kota beku. Di sana terdapat celah berbentuk lingkaran yang berputar perlahan—gerbang ruang alami yang terbentuk dari benturan Hukum Ruang dan Hukum Waktu.
Ia melangkah masuk.
Udara di dalam terasa berat, dipenuhi aroma logam dan waktu yang menua. Di ujung gua es itu, duduk seorang lelaki berjubah abu-abu, rambutnya seputih salju, matanya memantulkan langit yang berputar.
He Feng.
Pria itu membuka mata tanpa terkejut. Garis di wajahnya seperti ukiran waktu sendiri—tenang, dalam, tak berujung. Di hadapannya mengapung sebilah pedang yang tidak bersinar, melainkan menelan seluruh cahaya di sekitarnya. Pedang itu melayang tanpa suara, tanpa Qi, hanya ada kehendak.
Yu Chen menunduk sedikit, merasakan tekanan spiritual yang tak bisa diukur. “Senior…”
He Feng tersenyum samar. “Kau terlambat… tapi akhirnya datang juga.”
Suara itu menggema di seluruh gua, bergema dalam hati Yu Chen seperti gema masa lalu yang menyeberang ruang.
Refleksi
Untuk pertama kalinya sejak memasuki Wilayah Suci, Yu Chen merasakan ketenangan sejati. Tidak ada lagi getaran perang, tidak ada lagi raungan naga—hanya keheningan yang menyelimuti.
Ia menatap tangannya sendiri, melihat sisik emas-hitam di permukaannya perlahan menghilang, menyatu kembali dengan tubuh jiwanya. “Jadi ini maknanya,” gumamnya. “Semakin tinggi jiwa mendaki, semakin sunyi dunia yang tersisa.”
He Feng memejamkan mata lagi, membiarkan keheningan berbicara.
Yu Chen berdiri di sana cukup lama. Di luar gua, kabut es bergerak perlahan, membawa suara raungan naga yang berubah menjadi angin lembut. Ia tahu, dari titik ini ke depan, perjalanan bukan lagi tentang menaklukkan dunia, tetapi memahami waktu yang melingkupinya.
Langkahnya ringan ketika ia duduk bersila di hadapan He Feng. Cahaya emas samar menyelimuti keduanya, dan di kejauhan langit Dataran Beku perlahan berubah warna—dari abu-abu beku menjadi merah keemasan pagi.
( lanjutan tingkatan Kultivasi)
Ranah V: Ranah Raja
21 | Raja Semu
22 | Raja Surgawi
23 | Alam Raja
24 | Penguasa Tertinggi
25 | Kaisar Sejati
Ranah VI: Ranah Abadi Semu
26 | Mengubah Qi menjadi Abadi
27 | Jasad Abadi
28 | Jantung Dao Abadi
29 | Puncak Abadi Semu
30 | Menarik Kesengsaraan Abadi
( udah ah capekkk untuk 5 tingkatan lagi di tunggu saja ya )