“Menikahlah denganku, Kang!”
“Apa untungnya untukku?”
“Kegadisanku, aku dengar Kang Saga suka 'perawan' kan? Akang bisa dapatkan itu, tapi syaratnya kita nikah dulu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak Hujan
"Kita pulang aja enggak sih? Buat apa ngikutin mereka yang lagi pacaran, Mas?"
Sagara masih menatap istrinya, menatap Naura yang sedang tertawa dan malah bercanda dengan pria itu.
"Apa istri kamu enggak diajarin gimana caranya jadi istri yang baik, Mas? Dia kok kayak malah nantangin sih? Dia bawa nama baik kamu lho, malah seenak jidatnya pacaran di tempat umum kayak gitu."
"Kita pulang aja." Sagara tidak banyak bicara. Ya memang sejak dulu dia seperti itu. Kata-kata mutiara akan keluar dari mulutnya jika dia anggap itu diperlukan.
"Yakin pulang, nih?" tanya Tiffany sekali lagi. "Enggak mau jalan-jalan dulu?"
Sagara menghela napasnya, dia menatap Tiffany dan perempuan itu menganggukkan kepalanya.
... ...
Angin dari arah perkebunan teh Rancabali berhembus lembut ketika motor Mantri Riki berhenti di depan sebuah rumah panggung kecil. Dindingnya dari bilik bambu, langit-langitnya tampak sudah tidak layak.
Desa Patenggang selalu tenang, tapi hari itu, mendung yang menggantung di atas bukit membuat suasana seperti menyimpan keluh yang tidak terlihat.
“Neng, hati-hati turun. Becek,” ujar Mantri Riki, memarkir motor sambil memastikan Naura tidak terpeleset. Ia mengenakan pakaian sederhana, bersih, wajahnya cukup manis.
“Iya, A.”
Pipi pucatnya tersapu angin dingin. Sejak menikah dengan Sagara, ekspresi Naura lebih banyak muramnya, tapi saat bertugas, matanya berubah.
“Assalamualaikum, Pak Rahmat?”
Pintu dibuka oleh seorang pria baya dengan tubuh kurus, bahunya menurun, dan kedua kakinya tampak kaku. Ada bau antiseptik bercampur pengap yang keluar dari dalam rumah.
“Waalaikumsalam, A Riki. Masuk, A. Masuk, Neng.”
Di sudut ruangan yang sempit, seorang gadis remaja duduk bersandar pada tumpukan bantal tipis. Perutnya besar, sepertinya sudah hamil tua. Wajahnya pucat, rambutnya kusut, dan ia tampak berusaha tersenyum saat melihat Naura masuk.
“Gimana lukanya hari ini, Pak? Masih baal?” Riki langsung jongkok di dekat si Bapak.
“Linu, A, kadang nyut-nyutan. Gula saya tinggi, saya mah udah pasrah.”
Riki tersenyum kecil. “Pasrah mah boleh, Pak, tapi pengobatan tetap harus jalan. Nanti saya bersihkan lukanya lagi, ya.”
Sementara itu, Naura melangkah pelan ke arah gadis itu dan duduk di depannya.
“Namanya siapa?” tanya Naura lembut.
“Ani, Teh,” jawabnya lirih.
“Ani kelas berapa?”
Ani menunduk, jemarinya menggenggam ujung baju kumalnya. “Harusnya kelas dua SMP, Teh… tapi saya udahan sekolah, gara-gara… itu.”
Matanya berkaca-kaca. Membuat Naura menahan napas. Ada ketukan kecil rasa pedih di dadanya.
“Ani udah mulai kontraksi?”
“Kadang, Teh, kalau malem suka mules.”
“Ani, kalau sudah sering mules, nanti bilang ke Kang Riki. Atau langsung ke Puskesmas, ya. Jangan nunggu-nunggu.” Ia mengatakan itu sambil memeriksa kondisi gadis kecil di depannya.
“Tapi saya malu, Teh, nanti orang-orang ngomongin saya. Saya enggak mau bapak sedih.”
Naura menghela napas panjang. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan.
“Yang penting keselamatan Ani dan bayinya. Omongan orang mah nanti hilang sendiri kalau Ani kuat. Lagian, ini bukan salah Ani kan? Saya tahu semuanya dari A Riki.”
“Dia, Teh, yang bikin saya gini, dia udah pergi. Katanya dia cuma numpang di desa buat nyari-nyari gambar. Saya diajak ngobrol… terus dia begitu. Saya yang salah, harusnya saya bisa jaga diri, harusnya saya dengerin omongan bapak.”
Tangan Naura secara refleks menggenggam tangan gadis itu, awalnya kemarin juga dia tidak mau diajak jalan oleh mantri Riki, tapi saat pria itu menceritakan tentang Ani, dia tidak bisa lagi menolak.
Kasihan anak ini, dia masih kecil dan menjadi korban grooming laki-laki tidak bertanggungjawab.
“Ani Teteh udah bilang Ani nggak salah. Yang salah itu laki-laki yang manfaatin kepolosan Ani.”
Ia merogoh tas canvas kecil yang ia bawa. Ditariknya sebuah plastik besar berisi biskuit ibu hamil, roti kering, bubur instan tambahan nutrisi, minyak telon, kapas, sabun bayi.
“Ini buat Ani. Ditambah sedikit uang belanja. Jangan ditolak, ya. Enggak banyak, tapi mudah-mudahan ini bisa bantu.”
“T-teh… nggak usah, saya malu.”
Namun, Naura menggeleng lembut. “Terima. Ini dari perempuan ke perempuan. Dari kakak ke adik. Nggak ada yang perlu malu. Mantri Riki juga ikutan ngasih kok, aman.”
Seketika Air mata Ani langsung jatuh. Dia menunduk sampai kedua bahunya gemetar. Lagi-lagi hal itu membuat Naura sedih, dia memeluk remaja di depannya dan menepuk-nepuk punggungnya lembut.
Di sudut lain, Riki yang sedang memeriksa kaki bapaknya hanya bisa menoleh dan tersenyum kecil. Sejak dulu ia tahu, Naura punya hati yang jarang dimiliki orang kebanyakan. Bisa keras, tapi tepat sasaran dan bisa sangat lembut pada mereka yang butuh.
“Ani, nanti kalau lahiran ke Puskesmas aja ya. Jangan di rumah.”
“Tapi saya, BPJS nggak punya, Teh.”
“Makanya nanti minta tolong saudara Pak RT atau tetangga buat bantu urus. Nggak lama kok bikinnya. Yang penting Ani aman. Bayinya aman. Enggak boleh lahiran cuma sama paraji, ya. Ani ngerti kan?”
Gadis itu mengangguk sambil terisak. “Makasih banyak, Teh.”
“Sama-sama, nanti Teteh juga udah kerja di Puskesmas, kok. Telpon aja kalau butuh bantuan.”
Selesai membantu, Riki berdiri. “Lukanya saya perban ulang. Besok saya cek lagi, Pak. Yang penting makannya dijaga. Jangan banyak manis-manis.”
“Terima kasih ya, A, Neng.”
“Sama-sama ya, Pak. Kami masih harus ke tempat lain.”
Hari itu, Naura sibuk mengikuti Riki. Padahal sepertinya dia lebih dulu datang ke desa tersebut, tapi entah kenapa Riki malah lebih tahu banyak daripada dirinya.
Namun, saat hendak pulang suara hujan tiba-tiba mengguyur deras, memukul atap seng rumah sampai terdengar keras sekali.
Riki memegang pinggir pintu salah satu warga lalu menatap langit. “Alhamdulillah, hujannya gede pisan, Neng. Kita kejebak ini mah.”
“Iya, A. Padahal Abah udah nelepon tadi. Nyuruh saya pulang cepet.”
“Kalau gini mah mesti nunggu agak reda. Motor nggak bisa nerjang banjir kecil di jalan bawah.”
“Saya takut dimarahi Abah, A.”
Riki tertawa kecil. “Nggak bakal dimarahi. Nanti saya yang jelasin. Lagian Abah Ali mah sayang sama Neng. Dari dulu, kan.”
“Iya, tapi kadang yang bikin repot itu bukan Abahnya.”
Pria itu menaikkan alis. “ Kang Sagara?”
Kapan sih Sagara berterus terang n terbuka ma Naura..kayak main petak umpet mulu ga kelar²
truus Nau jgn mrh dulu tu saga lgi jujur tu ma gundik nya lok dia GK cinta fany