Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ALIANSI KEBENARAN BERBAHAYA
Kantor Majalah Mahasiswa ‘Kritis’ adalah antitesis sempurna dari segala kemewahan yang dulu dikejar Amara. Terletak di ruang bawah tanah yang lembap, dipenuhi tumpukan kertas, bau tinta cetak, dan aroma kopi dingin yang telah berminggu-minggu mengendap. Di sinilah Dimas, Target 3, bertahta seorang idealis yang hidup dalam realitas yang sangat materialistis.
Aku menemukan Dimas tengah membungkuk di depan layar monitor CRT yang berkedip-kedip, dikelilingi kabel kusut dan kaleng minuman energi kosong. Ia mengenakan kemeja flanel lusuh dan kacamata tebal yang selalu melorot, memancarkan aura kelelahan yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh uang atau kekuasaan. Dia adalah kebenaran yang tidak difilter, dan itu membuatku gugup.
“Dimas,” sapaku, berdiri di ambang pintu. Suara Kinara, melalui tenggorokan Amara, terdengar terlalu lantang di ruangan sunyi itu.
Dia tidak terkejut. Dia mendongak perlahan, matanya yang tajam di balik lensa tebal menilaiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapan itu terasa lebih menghakimi daripada tatapan Pak Arka di kelas Sosiologi, atau bahkan tatapan Serena yang penuh kebencian. Dimas melihatku sebagai data yang mencurigakan.
“Amara. Mahasiswi yang mendefinisikan hedonisme kampus. Sebuah kehormatan, saya kira,” katanya tanpa senyum, nadanya datar seperti laporan berita.
Aku melangkah masuk, mengabaikan naluri Amara untuk mundur karena merasa kotor di hadapan Dimas. Aku harus menggunakan bahasa Pak Arka sekarang.
“Aku datang bukan untuk mencari kehormatan, Dimas. Aku datang untuk membicarakan artikelmu,” ujarku, langsung ke intinya.
“Artikel? Saya menulis banyak hal. Apakah Anda keberatan dengan kritik saya tentang pendanaan BEM? Atau mungkin ulasan saya tentang kebijakan kampus yang terlalu korporatif?”
“Aku membicarakan blog akademikmu yang tersembunyi. Judulnya: ‘Variabel Tak Terkendali: Ketika Kritik Membutakan Sistem’,” kataku, mengutipnya verbatim.
Wajah Dimas, yang tadinya tenang, menegang sedikit. Itu adalah reaksi yang kucari. Blog itu adalah rahasia, jalur komunikasi independennya.
“Saya tidak tahu Anda bisa mengakses blog itu, Amara. Itu bukan untuk konsumsi publik. Apalagi untuk mahasiswa yang dulu hanya peduli pada diskon klub malam.”
“Aku tahu. Itu sebabnya aku datang. Siapa yang mengirimiku pesan ‘Selamat Datang’ dengan tautan itu? Apakah itu cara Anda untuk memanggil saya?”
Dimas mematikan monitornya, suasana menjadi gelap. “Saya mengirim tautan itu kepada Anda. Sebagai jurnalis, saya tertarik pada fenomena. Anda adalah sebuah fenomena, Amara. Dari IPK 0.9, utang miliaran, hingga memenangkan kuis Pak Arka dan mengalahkan Rendra. Anda adalah anomali yang berjalan.”
“Dan apa kesimpulan anomali itu?” tantangku.
“Bahwa Anda adalah proyek. Apakah Anda diutus oleh Konglomerat Bapak Surya untuk membersihkan nama kampus agar dana CSR mereka tetap mengalir? Atau apakah Anda boneka baru dari administrasi untuk mengalihkan perhatian dari masalah struktural?”
Aku duduk di kursi kayu di depannya, kursi yang berderit karena keberatanku, yang terasa pas dengan situasi ini.
“Anda berasumsi bahwa setiap perubahan harus memiliki dalang korporat atau politis. Itu adalah kegagalan sosiologis Anda, Dimas.”
Dimas mengangkat alis, terkejut dengan penggunaan terminologiku. “Kegagalan sosiologis? Itu kata-kata Pak Arka. Anda sekarang mengutip mentor Anda.”
“Pak Arka memberiku kerangka, Dimas. Jiwa yang menggerakkan kerangka itu adalah jiwaku. Jiwa yang lelah karena dihancurkan oleh sistem ini,” aku berbisik, membiarkan sedikit kejujuran Kinara keluar.
“Amara yang lama adalah hasil tempaan. Serena memastikan Amara dihancurkan, agar dia bisa menjadi representasi sempurna dari kepatuhan.”
Dimas mengambil napas dalam-dalam. “Mari kita bicara jujur. Saya meliput Anda karena Anda menjual. Anda adalah drama kampus yang paling laris. Tapi saya tidak percaya pada retorika perubahan Anda. Perubahan nyata butuh idealisme murni, bukan strategi bertahan hidup.”
“Idealismeku adalah bertahan hidup. Bukankah idealisme Anda adalah mencari kebenaran, terlepas dari siapa yang menyajikannya?” aku membalas.
“Anda menyebut saya ‘Variabel Tak Terkendali’ di blog Anda. Mengapa? Karena saya tidak bisa diprediksi. Dan tahukah Anda mengapa saya tidak bisa diprediksi? Karena saya tidak lagi mengikuti naskah yang ditulis oleh Mastermind.”
Aku mencondongkan tubuh ke depan, merendahkan suaraku hingga Dimas harus mendekat untuk mendengarkan.
“Saya tahu Anda melihat bagaimana BEM, administrasi, dan Konglomerat Bapak Surya saling terkait. Saya tahu Anda sudah memiliki data tentang pendanaan gelap di balik Sistem Ranking ini. Tapi Anda tidak punya koneksi yang jelas.”
Dimas menatapku curiga. “Apa yang Anda miliki, Amara, yang tidak saya miliki?”
“Saya memiliki trauma pribadi. Dan saya memiliki bukti bahwa trauma itu direkayasa secara sistematis,” kataku.
Aku mengeluarkan tablet yang diberikan Pak Arka, hanya menampilkan satu grafik sebuah grafik yang menunjukkan korelasi antara skor 'Pemberontakan dan Empati' Amara dengan skor 'Potensi Utang' yang memicu kehancurannya.
“Lihat ini, Dimas. Ini bukan hanya skor psikologis. Ini adalah skor yang menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh lulus dari filter mereka. Sistem Ranking ini bukan tentang akademis, ini tentang pembersihan sosial.
Mereka membersihkan mereka yang berpotensi menjadi kritis. Amara yang lama, yang liar dan tidak teratur, adalah target yang mudah. Mereka menanam benih utang dan skandal, dan Serena menyiramnya,” jelasku.
Dimas menyentuh layar tablet itu, jarinya gemetar sedikit saat melihat data mentah. “Ini… ini terdengar seperti fiksi ilmiah dystopia.”
“Ini adalah Sosiologi Kritis yang berdarah, Dimas. Ini bukan hanya soal siapa yang dapat A atau B. Ini tentang siapa yang akan menjadi pekerja patuh dan siapa yang akan dibuang ke kategori ‘Antagonis Terbuang’,” kataku, menggunakan istilah yang kini menjadi beban jiwaku.
“Lalu, mengapa Anda datang ke saya? Kenapa tidak ke media besar? Bapak Surya punya musuh di media lain,” tanyanya, kembali skeptis.
“Karena Anda tidak bisa dibeli. Dan karena Anda memiliki idealisme yang membuat Anda berani untuk tidak hanya melaporkan fakta, tetapi melaporkan struktur di balik fakta itu,” aku mengakui.
“Media besar hanya akan meliput skandal. Saya ingin Anda meliput reformasi.”
Aku menarik tablet itu kembali. “Saya akan bertarung di Debat Nasional. Ini adalah panggung terbesar. Serena, Mastermind, dan Bapak Surya akan menonton. Mereka akan mencoba menjebak saya, baik dengan data lama atau dengan jebakan emosional baru.”
“Dan apa peran saya?”
“Peran Anda adalah menjadi pengawas narasi. Serena akan menggunakan media sosial dan jaringan internal SPU untuk menyebarkan rumor, mengklaim bahwa saya plagiat, atau bahwa saya hanya dibiayai oleh musuh Bapak Surya. Anda harus berada di sana, siap untuk memverifikasi. Saya akan memberi Anda potongan-potongan kecil dari puzzle itu, seperti tautan blog itu. Anda harus mengumpulkan dan memverifikasinya, Dimas. Bukan untuk saya, tapi untuk idealisme Anda.”
Dimas menyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin, memproses informasi ini. Keheningan di antara kami begitu pekat, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang berjuang melawan kelembapan.
“Jika ini benar, Amara, ini adalah cerita terbesar di dunia pendidikan negara ini,” katanya pelan.
“Ini akan menghancurkan karir banyak orang, termasuk karir saya sendiri jika saya salah melangkah.”
“Tentu saja. Kebenaran berbahaya selalu berisiko. Tapi apakah Anda akan membiarkan risiko mengalahkan idealisme Anda? Anda tahu, Dimas, ketika Pak Arka berbicara tentang ‘Pendidikan Gaya Bank’, ia berbicara tentang bagaimana sistem hanya ingin menimbun pengetahuan tanpa memicu kesadaran kritis. Jika Anda menolak informasi ini karena masa lalu saya yang kotor, Anda sama saja menolak kesadaran kritis Anda sendiri,” aku memprovokasinya.
Itu berhasil. Matanya menyala. Dimas mungkin skeptis terhadap Amara, si antagonis, tetapi ia tidak bisa membiarkan Dimas, si jurnalis, gagal dalam integritas.
“Baik. Saya akan mengamati. Dan saya akan menyelidiki potongan puzzle yang Anda berikan. Tapi jangan anggap ini aliansi. Anggap ini adalah pengawasan ketat. Jika Anda terbukti berbohong, Amara, saya yang pertama akan membongkar Anda,” ancamnya.
“Saya menerima syarat itu. Tapi ada satu hal lagi yang harus Anda pahami. 'Selamat Datang' itu. Anda bilang Anda mengirimkannya sebagai pengamatan. Tapi saya merasa pesan itu memiliki makna ganda. Itu bisa jadi ucapan dari Anda, atau ucapan dari Mastermind yang menyadari bahwa saya telah melanggar batas.”
Dimas terdiam. “Mastermind? Maksud Anda, ada orang di balik sistem itu?”
“Tentu saja. Sistem tidak berjalan sendiri. Ia dijalankan oleh manusia yang sangat paranoid dan sangat terluka. Manusia yang percaya bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk generasi ini, bahkan jika itu berarti menghancurkan kami satu per satu. Serena adalah pion terbaiknya. Tapi dia bukan dalangnya.”
Aku berdiri. Misi untuk mendapatkan perhatian Dimas (Target 3) telah berhasil, meski dengan tingkat kepercayaan yang masih rendah dan penuh skeptisisme. Namun, ia kini terikat oleh idealisme jurnalistiknya sendiri.
“Apa langkah Anda selanjutnya?” tanya Dimas.
“Langkahku selanjutnya adalah mempersiapkan diri untuk diserang di panggung nasional. Serena tahu bahwa kelemahan terbesarku sekarang adalah kredibilitas. Dia akan mencoba mengaitkan kemenangan debatku dengan manipulasi atau bantuan eksternal. Dia akan menyerang Pak Arka juga,” jelasku.
“Saya akan mengawasi pergerakan media sosial dan SPU. Jika ada pergerakan data mencurigakan, saya akan tahu,” janji Dimas. Dia kini bukan lagi hanya jurnalis, dia adalah detektif yang terpaksa.
Saat aku hendak meninggalkan kantor yang pengap itu, Dimas memanggilku lagi.
“Amara. Jika semua yang Anda katakan benar, tentang sistem yang merekayasa kejatuhan Anda... Bagaimana Anda bisa tetap waras? Bagaimana Anda bisa kembali dan bertarung?”
Aku berhenti di ambang pintu, merasakan bobot Kinara dan Amara beradu di dalam diriku.
“Karena aku menyadari satu hal, Dimas. Rasa lelah yang kurasakan di tubuh Kinara yang lama, rasa jijik yang kurasakan di tubuh Amara yang sekarang itu semua berasal dari sumber yang sama. Mereka ingin kami menyerah. Dan satu-satunya cara untuk menang adalah dengan menolak menyerah, bahkan ketika kami tahu kami adalah variabel yang harus dibuang.”
Aku meninggalkannya dengan keheningan dan kebenaran berbahaya itu. Sistem memberikan notifikasi.
[Misi Selesai: Dapatkan Perhatian Intelektual dari Jurnalis Mahasiswa Dimas (Target 3). Tingkat Kepercayaan Dimas: 35% (Target 30% tercapai). Reward Point 500.]
Sistem itu puas. Kinara juga puas. Namun, saat aku berjalan menaiki tangga keluar dari ruang bawah tanah, ponsel Amara bergetar lagi. Kali ini, itu adalah email resmi dari pihak universitas.
Surat tersebut bukan tentang Debat Nasional. Surat itu adalah undangan formal dari Konglomerat Penyandang Dana Kampus, Bapak Surya (Target 4), untuk sebuah jamuan makan malam eksklusif.
Judul emailnya: 'Kesempatan Emas untuk Generasi Penerus'.
Bapak Surya, Target 4, telah menaruh perhatian padaku. Apakah ini tawaran untuk "membeli" Kinara, atau jebakan yang Serena persiapkan untuk menghancurkanku secara emosional dan fisik, seperti yang diperingatkan Pak Arka?
Aku harus menerima undangan ini. Aku harus tahu apa yang ada di balik senyum Konglomerat itu.
Namun, saat aku membalas email tersebut, sistem memberikan peringatan yang sangat keras.
[Peringatan Kritis: Interaksi Langsung dengan Target 4 (Bapak Surya) telah memicu Misi Romansa Tersembunyi yang tidak terduga. Amara harus menahan diri dari godaan kekuasaan dan romansa. Kegagalan akan mengakibatkan Kinara kehilangan kontrol atas tubuh Amara. Risiko: 60%.]
Misi Romansa? Aku datang untuk reformasi, bukan untuk romansa dengan Konglomerat.
Tubuh Amara, di bawah kontrol Kinara, mengirim balasan: "Saya akan datang. Tapi mari kita bicara tentang etika pendanaan, bukan kesempatan."
Aku merasakan adrenalin membanjiri sistemku. Aku telah berhasil mendapatkan sekutu media yang skeptis, tetapi kini aku harus menghadapi godaan yang paling berbahaya: kekayaan dan kekuasaan, yang dibungkus dalam bentuk pria yang sangat berpengaruh.
Aku harus segera mempersiapkan diri untuk pertemuan itu, sebelum naluri Amara yang lama terhadap kemewahan, atau naluri Kinara yang lelah terhadap ketenangan, mengambil alih kendali.