Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Restoran S tidak terlalu ramai siang itu. Miko dan Chesna duduk berhadapan. Di antara mereka, dua piring pasta favorit dan segelas jus jeruk terhidang, sederhana, tapi terasa istimewa karena ini momen yang jarang terjadi, hanya ayah dan anak perempuan, tanpa gangguan siapa pun.
Chesna menatap Miko dengan senyum lembut. “Papa ini aneh banget. Suka banget papa kencan sama aku,”
Miko tersenyum sambil mengaduk kopi hitamnya. “Karna setelah ini papa akan sulit ajak kamu berkencan, Ches. Kamu pasti akan banyak alasan karena sudah jadi istri.”
Chesna tertawa pelan. "Papa bener...”
“Ya dong. Sebelum kamu resmi jadi istri orang, Papa mau curi waktu dulu. Soalnya nanti kamu bakal sibuk, dan mungkin… jarang sempat duduk bareng Papa kayak gini.”
Nada suaranya ringan, tapi mata Miko menyimpan sesuatu yang dalam.
Chesna menatap ayahnya dengan lembut. “Papa jangan bilang gitu. Aku nggak akan berubah kok. Gideon juga pasti nggak akan keberatan kalau aku tetap sering main ke rumah.”
Miko tersenyum samar. “Papa tahu. Tapi nanti kamu akan punya dunia baru, tugas baru, tanggung jawab baru. Dan itu baik, Nak. Hidupmu akan lebih banyak warna.”
Suasana sempat hening sesaat. Hanya terdengar suara lembut musik latar dari pengeras restoran. Miko menatap putrinya lama, lalu mulai berbicara dengan nada tenang namun penuh makna.
“Chesna…” katanya pelan, “Papa tahu kamu sudah dewasa. Kamu sudah belajar menghadapi banyak hal, termasuk sakit dan kecewa. Tapi, pernikahan bukan cuma tentang cinta. Kadang cinta aja nggak cukup kalau nggak ada sabar dan pengertian.”
Chesna mendengarkan dengan penuh perhatian, kedua tangannya terlipat di meja, menatap wajah sang ayah yang kini tampak sedikit lebih serius.
“Papa cuma mau kamu tahu,” lanjut Miko, “kalau nanti di rumah tangga, kamu bakal nemuin hari-hari yang nggak seindah yang kamu bayangkan. Ada waktu di mana kamu bisa tertawa, tapi juga ada saat di mana kamu bisa capek, marah, bahkan merasa tidak dimengerti.”
Chesna mengangguk pelan. “Aku tahu, Pa…”
Miko tersenyum tipis, lalu menatap putrinya dengan mata yang mulai berembun. “Dan kalau suatu hari kamu ngerasa Gideon-”
Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan nada emosional dalam suaranya. “Kalau suatu hari Gideon berubah, kalau dia marah, kasar, atau nyakitin kamu… ingat ini, Nak. Kamu nggak sendirian. Papa akan selalu jadi tempat kamu pulang. Selalu.”
Kata-kata itu manis tapi begitu menghantam hati Chesna. Matanya memanas seketika. Ia menatap wajah Miko yang kini tampak sedikit menua, ada garis halus di sekitar matanya, tapi tatapan itu tetap sama, tatapan seorang ayah yang selalu siap melindunginya.
“Pa…” suara Chesna bergetar. “Jangan ngomong kayak gitu. Gideon nggak akan kayak gitu kok.”
Miko tersenyum lembut. “Papa nggak bilang Gideon buruk. Papa tahu dia orang baik. Tapi Papa juga tahu, kadang hidup bisa bikin orang berubah tanpa sadar. Jadi kalau pun hal itu terjadi… Papa nggak akan nuntut kamu kuat sendirian.”
Chesna menunduk, menahan tangis. Air matanya akhirnya jatuh juga, menetes di punggung tangan yang digenggam lembut oleh ayahnya.
“Papa cuma mau kamu bahagia, Nak,” lanjut Miko. “Nggak ada hal lain yang Papa minta dari Tuhan selain itu.”
Chesna tersenyum di antara air mata. “Aku bahagia kok, Pa. Karena aku punya Papa yang sebaik ini.”
Miko terkekeh kecil, lalu mengusap kepala putrinya seperti dulu. “Kamu masih anak remaja di mata Papa." Ya, karna momen pertama mereka bersama adalah ketika Chesna sudah remaja.
Suasana di meja itu menjadi begitu hangat. Waktu seakan berjalan lebih lambat, memberi ruang bagi kenangan, tawa, dan air mata yang berpadu jadi satu.
Sebelum makan siang berakhir, Miko menatap putrinya sekali lagi dan berkata, “Ingat, ya. Rumah kita, Papa dan juga Mama, selalu ada buat kamu. Kalau kamu senang, pulanglah untuk berbagi. Kalau kamu sedih, pulanglah untuk beristirahat.”
Chesna hanya bisa mengangguk, lalu bangkit dan memeluk ayahnya erat. "Makasih, Papa. Aku akan mengingat semua yang papa bilang barusan."
Pelukan yang sederhana, tapi penuh makna, pelukan antara seorang ayah yang sedang belajar merelakan, dan seorang putri yang diam-diam takut kehilangan sosok ayah yang begitu tulus menyayanginya.
Setelah kencan manis denganpapa Miko, waktu sudah menjelang sore ketoka Chesna hendak balik ke klinik.
Mobil yang dikemudikan Chesna meluncur pelan di jalanan sore kota J. Langit berwarna keemasan, seperti melukis lembut ujung hari dengan cahaya yang tenang. Pikiran Chesna masih tertinggal di meja makan tadi, di tatapan teduh Miko, di genggaman tangannya yang hangat, dan kata-kata lembut yang terus berputar di kepala.
“Papa akan selalu jadi tempat kamu pulang…”
Kalimat itu menempel di dadanya seperti selimut yang menenangkan sekaligus membuat matanya terasa panas. Ia tersenyum kecil, mengusap ujung matanya yang lembap.
“Papa emang selalu tahu cara bikin aku nangis dan bahagia di waktu yang sama,” gumamnya pelan.
Baru saja ia memarkirkan mobil di halaman kliniknya, ponselnya berdering. Nama di layar membuat sudut bibirnya langsung terangkat.
Gideon.
Chesna menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Halo, Tuan Sanggana. Lama-lama aku lupa suaramu kalau kamu terus sibuk.”
Suara di seberang terdengar berat tapi hangat, dengan nada menggoda khas Gideon.
“Lupa? Hmm… kalau gitu mungkin aku harus lebih sering nelpon. Tapi sebelum itu, boleh aku tanya sesuatu?”
Chesna terkekeh. “Tanya apa?”
“Kabar burung bilang calon istriku siang ini kencan di restoran sama pria lain. Katanya pria itu tampan, dewasa, penuh perhatian…”
Nada Gideon terdengar dibuat-buat cemburu, dan Chesna langsung tertawa lepas.
“Oh Tuhan, jadi Papa aku sekarang saingan kamu?”
“Papa?” suara Gideon menurun, “jadi benar? Kamu memang kencan sama calon mertuaku itu?”
Chesna menahan tawa. “Iya.”
Gideon ikut tertawa di seberang, tawa yang lembut tapi hangat, seperti hembusan napas yang menenangkan.
Suara itu membuat pipi Chesna merona. Ia bersandar di kursi mobil, memejamkan mata sejenak menikmati nada rendah itu yang entah kenapa terasa menenangkan.
“Tadi Papa kasih banyak nasihat,” katanya lembut. “Tentang pernikahan, tentang sabar, tentang belajar memahami satu sama lain…”
“Dan tentang aku?” sela Gideon cepat.
Chesna tertawa kecil. “Tentu saja. Papa cuma bilang satu hal tentang kamu.”
“Apa tuh?”
“Kalau suatu hari kamu berubah jadi monster, aku harus kabur pulang ke rumah.”
Gideon terdiam sejenak, lalu meledak dengan tawa berat yang terdengar sangat lepas.
“Papa kamu luar biasa. Tapi kalau aku berubah jadi monster pun, aku harap kamu tetap mau tinggal dan tampar aku pakai bantal, bukan kabur.”
Chesna terkekeh geli. “Jadi aku boleh tampar kamu pakai bantal kalau kamu menyebalkan?”
“Tentu. Tapi aku bakal balas peluk.”
Kata-kata itu membuat Chesna menggeleng kecil sambil tersenyum malu-malu.
“Duh, kamu ini bisa banget bikin orang lupa napas.”
“Makasih, berarti masih ampuh pesonaku,” jawab Gideon ringan. “Kamu lagi di klinik? Aku pengin lihat kamu.”
Chesna menatap jam di dasbor. “Sekarang?”
“Iya. Anggap aja aku jemput calon istriku untuk… kencan juga.”
Chesna tertawa renyah, tapi hatinya mendadak berdebar. “Kamu lagi di mana?”
“Coba menghadap balkon klinik,” jawab Gideon pelan.
Jantung Chesna langsung berdegup cepat. Ia turun dari mobil, menengadah ke atas. Chesna nyaris tak percaya.
Gideon berada di balkon paling atas kliniknya, “Kamu gila! Kamu ngapain disana?”
Gideon mengangkat sesuatu dari tangannya, sebuah kotak kue kecil.
“Gila karena kangen,” katanya lantang. “Dan aku cuma mau nganter dessert buat kesayanganku.”
Chesna bergegas masuk ke klinik, menahan tawa yang bercampur debar, rasa bahagia karena dicintai, dan dirindukan, oleh pria yang dengan segala cara tahu bagaimana membuatnya tertawa.
___
Bersambung... lagi yuk..
Aku malah penasaran sama kehidupan Lila thor.
up lagi dong yang banyak 😄😀
dr awal shenia udah salah jd terima aja hasil dr semua perbuatan km.
buat alan gak usah sadis2 amat,bagaimanapun juga Shenia ibu dr anak km.jgn km pisahin seorang ibu dr anaknya,ingat gmn menderitanya ibu km rania waktu jauh dr anak2nya