TERJEBAK DALAM LUKA DAN HASRAT

TERJEBAK DALAM LUKA DAN HASRAT

Bab 1, Dua belas tahun tanpa kabar

Langit kota J sore itu tampak muram. Gerimis turun membawa hujan, menelusuri kaca jendela ruang dokter jaga di lantai tujuh klinik Castella Medika, klinik besar yang kini menjadi sati-satunya klinik saraf di kota J. Klinik yang dihadiahkan oleh Miko untuk putrinya. Meski masih terhitung muda dan belum memiliki banyak pengalaman, Miko menempatkan para dokter terbaik di sisi putrinya itu.

Di balik jas putih dan stetoskop yang menggantung di lehernya, Chesna Castella Abram, 28 tahun, tampak menatap kosong pada layar komputernya. Ia tidak sedang membaca hasil MRI pasien, meski di depan matanya terpampang gambar otak yang kompleks. Fokusnya entah di mana.

Sudah dua belas tahun sejak terakhir kali ia mendengar nama itu disebut.

Gideon Sanggana.

Nama yang dulu sempat begitu akrab di telinganya, kini seolah menjadi doa yang ia simpan rapat di dada, tak berani diucapkan, tapi juga tak bisa dilupakan.

Mereka terakhir kali bertemu saat Gideon hendak terbang bersama Heli kopter dari atap rumah sakit yang hendak membawanya pergi untuk pengobatan yang lebih intensif. Gideon yang dulu ceria, cerdas, dan selalu percaya diri, meninggalkan semuanya setelah kecelakaan itu. Ia pergi ke luar negeri untuk kesembuhannya, dan sejak hari itu, tak ada lagi kabar, surat, atau sekadar pesan singkat.

Hilang. Seolah ditelan bumi.

Chesna menutup layar monitornya, menunduk.

“Dua belas tahun…” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Apa kamu benar-benar sudah lupa aku, Deon?”

Pintu ruangannya terbuka pelan. Miko Abram, ayahnya masuk, pemandangan yang langka. Tidak biasanya sang ayah mengunjunginya di tempat kerja.

“Papa kebetulan lewat karna baru menjenguk rekan papa. Kamu Masih di sini? Sudah malam dan di kuar hujan, Nak.”

Chesna tersenyum samar, mencoba menutupi sorot matanya yang sendu.

“Masih ada laporan pasien, Pa.”

Miko menatap putrinya beberapa detik, tatapan seorang ayah yang tahu anaknya tidak baik-baik saja.

“Chesna…” suaranya lembut tapi tegas, “sudah berapa kali Papa bilang? Sudahi mencari kabar tentang dia. Orang yang sengaja menghilang, berarti tidak ingin ditemui.”

Chesna terdiam.

“Papa, aku cuma-”

“Tidak, Nak.” Miko memotongnya perlahan, “Gideon bukan lagi bagian dari hidupmu. Kalau dia ingin ditemukan, dari dulu dia akan memberi kabar. Kamu sudah berjuang keras, lihat dirimu sekarang. Kamu seorang dokter hebat di klinikmu sendiri, kebanggaan keluarga. Jangan sia-siakan hatimu untuk masa lalu yang bahkan tidak memberimu harapan.”

Kata-kata itu menancap dalam, tapi justru membuat dada Chesna semakin sesak.

Karena bagian dari dirinya tahu, ia tidak mencari kabar Gideon karena tidak bisa move on, tapi karena di dalam hatinya, ada sesuatu yang belum selesai.

Setelah Miko pergi, Chesna duduk kembali. Di sudut meja kerjanya, ada sebuah foto lama, tersimpan di bingkai kaca. Ia mengangkatnya pelan. Dalam foto itu, dua remaja tertawa lepas di bawah langit senja, Gideon dengan kemeja putih dan Chesna dengan rambut panjang terikat rapi. Senyum mereka tampak ringan. Seolah dunia tak pernah berniat menyakiti mereka.

Tapi itu dulu.

Sebelum segalanya berubah.

Chesna menatap wajah di foto itu lebih lama dari yang seharusnya, lalu berbisik lirih,

“Kalau pun kamu bersembunyi, suatu saat kamu pasti akan muncul, kan? Aku hanya ingin tahu, bagaimana keadaanmu.”

Di luar sana, hujan turun semakin deras.

Dan di tempat lain, ribuan kilometer dari sana, seorang pria membuka matanya perlahan di atas ranjang terapi, dengan pandangan kabur dan tangan gemetar.

Suara lembut perawat asing memanggilnya,

“Mr. Sanggana, can you hear me?”

Gideon menarik napas berat.

Dua belas tahun, dan bayangan wajah itu masih sama. Rambut hitam panjang, senyum teduh, dan suara lembut memanggil namanya.

Chesna…

Untuk sebagian orang, dua belas tahun mungkin terasa sebentar.

Tapi bagi Gideon Sanggana, dua belas tahun adalah neraka yang tak berujung, tempat di mana waktu seakan berhenti, dan satu-satunya yang suka ia dengar hanyalah detak jantungnya sendiri.

Kecelakaan itu merenggut segalanya. Penglihatannya, langkahnya, bahkan harga dirinya.

Ia masih ingat hari pertama terbangun di ruang ICU, saat dunia menjadi gelap total dan tubuhnya tak lagi mau menuruti perintah. Saat itu, Gideon bersumpah tak ingin siapa pun melihat dirinya yang lemah, terutama Chesna.

“Lebih baik aku menghilang,” katanya pada kedua orang tuanya waktu itu, dengan suara serak dan mata yang kosong.

“Aku tidak ingin orang lain tahu aku begini.”

Dan ia menepati kata-katanya.

Selama dua belas tahun, Gideon hidup berpindah dari satu rumah sakit ke rumah rehabilitasi di luar negeri. Operasi demi operasi dijalani. Fisioterapi yang menyakitkan dilakukan berulang kali. Dan setiap kali kegagalan datang, ia kembali teringat pada gadis itu  wajah yang dulu selalu kuat dalam hal apapun,, kini menjadi sumber rasa sakit yang tak bisa ia lawan. Sakit melawan hasrat yang tak terbendung untuk seorang gadis masa SMA-nya.

Namun hidup ternyata masih memberinya satu kesempatan.

Pada tahun ke dua belas, tim dokter menemukan donor mata yang cocok, setelah puluhan kali kegagalan sebelumnya. Operasi berjalan selama delapan jam.

Ketika perban itu akhirnya dibuka, dan cahaya menyentuh matanya untuk pertama kali sejak sekian lama, Gideon tak bisa menahan air mata.

Semua terlihat kabur, tapi ada cahaya. Ada bentuk. Ada kehidupan.

“Selamat datang kembali, Mr. Sanggana,” ucap dokter asing itu dengan senyum lelah.

“Anda bisa melihat dunia lagi.”

Kini, pada usia dua puluh sembilan tahun, Gideon telah menapaki separuh jalan menuju kesembuhan.

Kakinya masih belum sempurna, tapi berkat tongkat penyanggah dan latihan keras, ia bisa berjalan tanpa bantuan orang lain.

Penglihatannya belum pulih sepenuhnya, ia harus mengenakan kacamata khusus untuk membantu fokusnya. Tapi baginya, itu sudah lebih dari cukup.

Cukup untuk melihat dunia lagi.

Cukup untuk melihat wajah yang selama ini menghantui tidurnya.

Malam itu, di kamar rawat rumah sakit di Tokyo, Gideon berdiri di depan jendela besar, memandangi lampu kota yang berkilau.

Cahaya itu menyilaukan, tapi juga menghangatkan.

Tangannya menggenggam erat tongkat penyanggah di sisi kanan, sementara tangan satunya meraba bekas luka halus di pelipis, sisa operasi yang tak pernah bisa dihapuskan.

“Dua belas tahun…” bisiknya pelan. “Aku masih di sini, Chesna. Masih bernapas… dan masih mengingatmu.”

Ia menghela napas panjang, lalu menatap tiket pesawat di atas meja. Kota J, Indonesia.

Tanggal keberangkatan, dua minggu lagi.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Gideon akan pulang.

Bukan lagi sebagai remaja yang gagah dan sempurna, tapi sebagai pria dewasa yang meskipun terlihat begitu berwibawa dan tampan, wajah datarnya memiliki goresan di pelipis, memiliki banyak keterbatasan secara fisik dan mental.

“Gideon menatap sekeliling, tembok putih, cahaya sore yang menembus kaca, dan senyum kedua orangtuanya.

“Cahaya itu… ternyata hangat sekali,” bisiknya.

Ibunya tersenyum sambil mengusap pipinya. “Cahaya itu menunggu dua belas tahun, sayang. Sekarang, giliranmu hidup di bawahnya lagi.”

Gideon menunduk, menahan sesuatu yang bergetar di dada.

“Ma… Pah… gimana kabar Chesna?” tanyanya perlahan.

Suasana mendadak hening. Angin sore berhembus pelan, menggoyang ranting pohon sakura yang mulai merontokkan kelopaknya.

Tn. Sanggana menatap istrinya sejenak sebelum menjawab, suaranya tenang tapi dalam.

“Sudah lama sekali, Nak. Bertahun-tahun kau tidak mengirim kabar. Kami juga tidak ingin mengungkitnya lagi. Itu juga keinginanmu, kan. Mungkin… Chesna sudah punya kehidupan yang jauh lebih baik sekarang. Papa juga sudah lama tidak ada kerja sama bisnis dengan Om Miko.”

Ny. Sanggana menimpali dengan lembut, namun ada nada tegas di baliknya.

“Kamu seperti ini karna menolong Chesna, Nak. Tapi Kau sendiri yang memblokirnya dari hidupmu. Apa lagi neneknya dan nenekmu sampai saat ini saling bertentangan. Dua teman baik menjadi musuh dan saling menyalahkan setelah kecelakaan itu. Mungkin… ini waktunya kau menatap ke depan, bukan ke masa lalu. Biarlah Chesna menikmati hidupnya. Itu juga keinginanmu, Kan?”

Gideon hanya diam. Tangannya menggenggam tongkat di sisi kursinya lebih erat.

Ia menatap langit Tokyo yang perlahan berubah oranye keunguan, dan di sanalah, di antara kelopak sakura yang terbang tertiup angin, nama itu kembali terbisik di hatinya.

“Benar, dia pasti hidup dengan baik. Tapi aku hanya penasaran, bagaimana keadaannya.”

___

BERSAMBUNG…

Terpopuler

Comments

Ophy60

Ophy60

Chesna masih menunggumu Deon....

2025-10-13

0

Eva Karmita

Eva Karmita

mampir otor 🙏😊

2025-10-12

1

Fitri Aidila

Fitri Aidila

😍😍😍😍😍

2025-10-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!