NovelToon NovelToon
Kodasih, Nyi Ratu Kelam

Kodasih, Nyi Ratu Kelam

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Hantu
Popularitas:10.5k
Nilai: 5
Nama Author: Arias Binerkah

Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.

Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.

Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik


Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 29.

Desir angin pagi menyapu lembut pucuk pucuk bambu, menciptakan irama lirih yang menyatu dengan detak cemas jantung para penghuni rumah gubuk itu. Suara derap langkah kaki, bukan satu, tapi dua pasang. Suara yang tak diharapkan, apalagi di waktu segenting ini.

“Yem... cepat, sembunyi di kolong balai-balai. Bisa jadi itu mata mata Jepang... atau pegawai loji.”

Suara lirih Si Mbok menembus sunyi, sarat kecemasan.

Tanpa membantah, Tiyem beringsut keluar dari dapur gelap dan berjingkat ke bilik, lalu membaringkan diri di bawah balai-balai kayu tua. Bau tanah dan jerami menusuk hidungnya, namun lebih menenangkan daripada ketakutan yang menyelinap.

Langkah-langkah itu makin dekat. Jantungnya berpacu.

Lalu terdengar ketukan pelan di pintu bambu, disusul suara dua lelaki bersamaan, “Mbok...”

Tiyem menahan napas. Tapi senyumnya mekar. Ia kenal suara itu.

“Ya Allah... Kang Pono dan Arjo. Tiwas aku sembunyi-sembunyi...” bisiknya pelan, lalu merangkak keluar dari persembunyian dengan hati yang hangat.

Si Mbok yang mengenali suara mereka, segera membukakan pintu.

“Halah, bikin jantung ini deg-degan saja, Le. Kukira tentara Jepang. Aku takut mereka tahu Tiyem sudah keluar dari loji.”

“Maaf, Mbok. Tapi... jadi benar, Yu Tiyem sudah pulang?” tanya Arjo dengan nada rendah penuh hormat.

“Iya, ayo masuk. Baru saja anakku itu kusembunyikan.” jawab Mbok sambil mempersilakan mereka duduk.

Arjo menoleh pada Pono dan tersenyum tipis. “Benar, Kang. Firasatku tak keliru. Yu Tiyem sudah kembali.”

Tiyem berdiri di sisi pintu bilik, senyumnya malu-malu. Pipinya merona kala matanya bertemu tatap dengan Kang Pono yang kini duduk di kursi kayu reot, peninggalan almarhum Bapak.

“Kenapa kamu pulang, Yem? Hanya menjenguk Si Mbok... atau ada alasan lain?” tanya Kang Pono, suaranya pelan namun dalam.

Sebelum Tiyem sempat menjawab, Mbok menyela cepat.

“Sudah, keluar saja, Le. Aku tak mau Tiyem dan kamu celaka...” katanya sambil melangkah ke dapur, menyisakan ketiganya dalam ruang kecil yang kini dipenuhi rasa tak terucap.

Arjo membuka suara lagi, nadanya mendesak.

“Bener, Yu. Firasatku, Nyi Kodasih suatu saat akan ke rumah Mbah Ranti . Kalau benar itu terjadi...”

“...Kang Pono yang jadi tumbal?” potong Tiyem, suaranya pelan namun mengandung kepedihan.

Pono tak langsung menjawab. Arjo menatap lantai, lalu berkata pelan,

“Bisa jadi, Yu. Kalau cinta Kang Pono pada Nyi Kodasih mulai bergeser dan pudar... maka yang jadi tumbal bisa beralih. Kita tak tahu, bisa jadi kamu... bisa jadi aku...”

Keheningan menggantung. Di luar, sinar perlahan semakin panas , membawa rasa gerah dan gelisah di hati...

Langkah-langkah pelan terdengar dari arah dapur. Sesaat kemudian, Si Mbok muncul sambil membawa nampan anyaman bambu. Di atasnya, tiga cangkir teh hangat mengepul, dan sepiring singkong rebus yang baru diangkat dari kukusan. Harum daun pandan samar-samar menguar, seperti ingin menenangkan suasana yang masih diliputi kekhawatiran.

“Mangan dhisik, Le... perut kosong tidak bisa diajak mikir jernih.”

Suara Si Mbok pelan, tapi mantap, seperti embun yang turun di pagi hari. Ia meletakkan nampan di atas meja usang tanpa taplak, lalu duduk di balai balai bambu yang ada di ruang itu.

Tiyem mengambil sepotong singkong dan menyerahkannya kepada Kang Pono, tangan mereka sempat bersentuhan. Sekilas, pandangannya bertemu dengan mata laki-laki itu, hangat, namun ada luka yang dalam.

Mbok menatap satu-satu anak muda di depannya, lalu berdehem pelan sebelum berkata,

“Le, aku ini orang tua. Tidak ngerti soal tumbal, soal loji, soal cinta yang bikin nyawa orang bisa jadi taruhan. Tapi satu yang aku percaya... semua yang terjadi di bumi, langit, dan di antara keduanya, ada dalam kuasa Gusti Allah.”

Arjo dan Pono sama-sama menunduk, mendengarkan dengan khidmat.

“Kadang, manusia terlalu sibuk nyalahke takdir, padahal belum sempat ndongak. Ndang ndedonga, Le... mohon tulung marang Sing Gawe Urip. Jangan semua ditarungke dengan nyali. Sebab nyali tanpa iman itu nekat, dan nekat bisa mematikan.”

Suasana hening. Bahkan suara daun bambu yang tadi terus berdesir, kini seperti ikut diam mendengarkan.

Tiyem menggenggam teh hangat di tangannya, uapnya menyentuh wajahnya yang masih tampak cemas. “Mbok... kalau semua ini kehendak Gusti, kenapa rasanya tetap berat?” tanyanya pelan, hampir seperti kepada dirinya sendiri.

Mbok tersenyum, tapi sorot matanya menguat.

“Karena beban orang-orang yang berani mencintai dan menjaga, memang tidak pernah ringan. Tapi kalau kamu ikhlas, Gusti Allah sing bakal ngangkat.”

Arjo menatap Pono diam-diam, lalu bergumam lirih,

“Mungkin ini saatnya kita bicara terus terang, Kang...”

Pono menarik napas panjang. Jemarinya menggenggam cangkir teh, tapi wajahnya tak berpaling dari tatapan Tiyem.

“Iya... sudah waktunya.” katanya akhirnya. “Tiyem, ada hal yang harus kamu tahu... tentang kenapa kamu harus keluar dari loji, dan kenapa aku.. kamu.. Arjo.. mungkin jiwa kita semua sedang dipertaruhkan.”

Tiyem membeku. Uap teh perlahan lenyap di udara, menyisakan bayangan tentang rahasia yang sebentar lagi akan mencuat ke permukaan...

Namun belum sempat Pono melanjutkan kata-katanya, Mbok menyela, suara lirihnya kini terdengar tegas, nyaris bergetar.

“Pono… Arjo… Apa maksud kalian sebenarnya, Le? Kenapa kalian ngomong soal tumbal, loji, dan jiwa yang dipertaruhkan seperti itu hal biasa?”

Tatapan Si Mbok mengeras. Tak lagi hanya seorang ibu tua yang menyuguhkan teh dan singkong, tapi seorang penjaga, pelindung, dan satu-satunya tembok rapuh antara dunia luar dan anak gadisnya.

Tiyem menggenggam tangan ibunya, lirih, “Mbok… sudah, jangan khawatir. Aku di sini sekarang, sudah tidak di dalam loji lagi. Bukan milik mereka lagi.”

Tapi kata-kata itu justru makin menajamkan keresahan di hati Si Mbok.

“Justru itu yang bikin aku tidak bisa tenang, Yem. Kamu bilang sudah bukan milik mereka… tapi apa mereka sudah benar-benar melepaskanmu?”

Arjo dan Pono saling pandang, lalu Arjo menunduk, suaranya berat.

“Belum, Mbok.”

Gubuk tua itu kembali sunyi. Hanya bunyi detak waktu dan napas tertahan yang bersisa.

Uap teh di dalam cangkir telah menyusut. Hawa panas berganti gerah, membuat langit seperti menggantung rendah di atas atap rumah bambu itu. Di luar, ayam-ayam jantan saling sahut, dan suara kentongan dari kejauhan terdengar dua kali, tanda siang telah dekat.

Arjo duduk tenang di kursi reot. Tubuhnya masih muda belia, namun sorot matanya sering membuat orang lupa akan usianya. Ia menatap tanah, lalu pelan-pelan berkata:

“Mbok, Yu.. ... aku memang yang paling muda di sini, tapi aku bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa.”

Si Mbok menoleh, terkejut. Kang Pono menunduk, seolah tahu ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.

“Apa maksudmu, Jo?” suara Si Mbok nyaris berbisik.

Arjo menarik napas panjang. Di wajah mudanya, tergambar beban yang tak pantas ditanggung oleh anak seumuran itu.

“Aku bisa melihat cahaya dan bayangan... terutama yang muncul dari orang yang hatinya tidak bersih. Dan aku sudah lama tahu... aku sangat senang saat bertemu Mbah Jati, aku bisa belajar lebih banyak dari dia...”

Ia berhenti sejenak, menatap Kang Pono yang diam membeku. Lalu suaranya kembali terdengar, pelan, tapi menghantam seperti palu.

“Dan saat aku berada di rumah Mbah Jati, aku mendengar percakapan Nyi Kodasih dan Mbah Jati. Kutukan untuk kita itu bermula dari cinta yang tulus... cinta Kang Pono pada Nyi Kodasih.”

Si Mbok dan Tiyem membelalak menatap Kang Pono yang tertunduk diam. Jemarinya mengepal di atas lututnya. Hening menebal.

1
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
aduh ruwet.. 😥 ini baru nayu kudasi kolab sama menil ya blom ketemu sama gusti junjungan nya yg suka pelil 🙄
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ: hhmmm... kemungkinan besar iya 😌😥
total 2 replies
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
kasian tiyem kalau jadi korban 😥
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
wiiih... 😱😱
Arias Binerkah: 😍😍😍😍😍😍
total 3 replies
☠ᵏᵋᶜᶟ Қiᷠnꙷaͣŋͥ❁︎⃞⃟ʂ⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔
serem banget tapi penasaran 🤭
Cindy
lanjut
Cindy
lanjut kak
YuniSetyowati 1999
Masih ada manusia yg tinggal saja aura rumah dan kamar2nya sehoror itu apalagi jika di kosongkan.Seandainya Loji itu nyata,pasti serem banget auranya.
YuniSetyowati 1999: Iyo 😅
total 2 replies
YuniSetyowati 1999
Kodasih masih jadi manusia biasa saja sudah serem.Apalagi saat sudah jadi dukun mumpuni.Tumnal orang yang mencintai dengan tulus mungkin tumbal pertama Kodasih jadi agak berat di pikiran tp setelah itu pasti tumbal2 berikutnya akan berjatuhan dengan entengnya.
Ai Emy Ningrum: kopi nya kak 😚☕
total 3 replies
YuniSetyowati 1999
Benar mbok.Ikatan tuan menir dan nyi Kodasih tak kan terputus.Ikatan yang terikat tanpa tali pengikat takkan pernah bisa terputus.Ikatan yg telah mengikat hati tanpa ada hati.Ikatan yang telah mengikat cinta tanpa cinta.Dan ikatan yang telah mengikat jiwa dengan sesuatu yang tak bisa diterima dengan akal sehat.
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
kek nama ratu Belanda istrinya menir
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ: generasi penerus jurig 👻🏃🏻‍♀️🏃🏻‍♀️🏃🏻‍♀️
total 12 replies
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ
kek mana bayangan tersenyum..🤔
⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ⍣⃝🦉andiniandana☆⃝𝗧ꋬꋊ: /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 4 replies
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
hayoo siapa yg memamgil mu tiyem

nahh dag dig duga lah kau tiyemm
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒: lha jelas kan dia lagi cinta sm kang pono wkwkwkk
total 2 replies
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
waduhh mau ngapain yaa
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒: bajar bebek enakp tuh mbk ning
total 2 replies
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
lhoo aneh kenapa
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
tp 7 hari 7 malem kok udh ada ygbke situ pula apa g gagal yaa
Its just a lunch
ganti cover ya thor...😄💪
Arias Binerkah: diganti Ntoon Kak, cover yang aku buat tak menarik 🙈🙈
total 1 replies
☠ᵏᵋᶜᶟ Қiᷠnꙷaͣŋͥ❁︎⃞⃟ʂ⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔
serem ya udah meninggal aja masih aja gentayangan 🤭
YuniSetyowati 1999
Tuan Menir pasti tidak mengijinkan.Karena jiwanya sudah terikat di Loji tersebut.
YuniSetyowati 1999
Kidung Asmorodono kidung cinta yang membara.Penafsiran arti kidung Asmorodono tergantung dari yang melantunkan/menyanyikan & yang mendengar.Ada yg menafsirkan perasaan cinta yang membara kepada sang pencipta,ada yang menafsirkan perasaan cintanya yg menyala2 pd lawan jenis.
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒: yoo wis ok lah kyo ne sak ono wae
total 3 replies
💜⃞⃟𝓛 ☕Y✨☘𝓡𝓳✨❤️⃟Wᵃf✨•§͜¢•🍒
jangan menatap klo ditatap watu batuke yo jebol too gessss🤣🤣🤣

jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!