Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 33.
Langit di luar meledak oleh gelegar petir yang menyambar. Hujan kini turun lebih deras, mengetuk ngetuk jendela loji dengan irama tak sabar, seolah alam pun ikut resah.
Asap cerutu di ruang tengah kian pekat, berputar putar liar lalu mengalir menuju langit langit, membentuk bayang-bayang tinggi besar seorang pria gagah tinggi besar mengenakan jas kolonial lengkap dengan medali kebanggaan nya tergantung di dadanya.
Tuan Menir.
Sosok yang dulu menguasai loji ini dengan tangan besi dan hati dingin, kini hadir kembali. Tak berwujud manusia, tapi dengan aura kemarahan yang jauh lebih menakutkan.
Nyi Kodasih menunduk, tubuhnya gemetar. Ia bisa merasakan hawa dingin menyusup dari balik kulitnya, menjalar ke tulang-tulangnya.
“Kowe arep mblenjani janji, Kodasih.”
(Kamu akan ingkar, Kodasih...)
"Kamu... perempuan tidak tahu diuntung..."
"Belum cukup aku beri loji, kebaya, perhiasan, kebun kopi dan nama baik? Kau mau menjual tubuh dan jiwamu pada lelaki lain?"
Lampu gantung tua berayun-ayun pelan, seolah terguncang oleh amarah yang tak kasat mata. Bayangan di dinding menari nari seperti kobaran api.
Nyi Kodasih merangkak mundur, tak sanggup berdiri. Air mata menetes deras di pipinya, tapi bukan hanya karena takut, ada rasa bersalah kini menyembul lagi keluar.
"Ampun, Tuan ... Saya akan mencoba untuk setia ... Saya kan hanya berandai andai.. karena saya perempuan biasa yang rindu peluk..." ucap lirih Nyi Kodasih dengan isakan tangisnya.
"Rindu peluk?" Suara keras Tuan Menir sambil menyeringai..
"Kamu milikku. Selamanya." Ucap Tuan Menir pelan, datar namun penuh penekanan.
Petir menyambar lagi, dan cermin besar di ruang tamu tiba-tiba pecah dengan suara nyaring.
Dari pantulan serpihan kaca, sesosok bayangan samar tampak berdiri di belakang Nyi Kodasih: tubuh tinggi besar, jas kolonial yang koyak di bagian dada tampak darah , dan mata... mata yang menyala merah membara.
TUAN MENIR TELAH MUNCUL.
Bukan lagi hanya asap atau aroma. Tapi arwah yang penuh kemarahan..
Kursi goyang itu mulai bergerak sendiri. Deritnya berubah jadi jerit yang memilukan. Lantai ubin kelabu bergetar pelan. Nyi Kodasih menjerit dan menutup wajahnya.
“Tuan saya sudah mohon ampun...”
Tuan Menir melangkah mendekat. Suara sepatunya menggema di atas lantai ubin kelabu, tok... tok... tok..., seperti palu hakim yang mengetuk akhir dari hidup seseorang.
"Ampun bukan untuk pengkhianat. Tapi... mungkin, aku bisa beri sesuatu yang lain." Suara Tuan Menir pelan namun menusuk kalbu Nyi Kodasih..
“Ampun Tuan... buktinya saya kan masih setia... hu.... hu....hu...” ucap Nyi Kodasih menangis tersedu sedu.
Tiba-tiba udara di dalam loji menjadi semakin padat, seperti ada ribuan tangan tak terlihat yang mencengkeram dinding dinding rumah. Api dari lampu minyak berkelip kelip, lalu padam satu per satu, meninggalkan bayangan yang semakin pekat.
Nyi Kodasih mengangkat wajahnya, mata membelalak, napas tersengal-sengal. Suara jeritnya tercekat di tenggorokan.
Tuan Menir, mendekatkan wajah berlumur darahnya ke telinga Nyi Kodasih..
"Kau ingin peluk? Biar kuberi peluk... yang kekal."
Tangan dingin, seolah terbuat dari kabut dan bangkai, melingkar ke tubuh Nyi Kodasih. Ia menjerit jerit panjang yang menggema di seluruh sudut loji.
Namun, alih-alih rasa sakit, datang rasa dingin menusuk... lalu hampa.
Wajah Tuan Menir kini berubah, tak lagi marah. Tatapannya sunyi, seperti seseorang yang telah kehabisan dendam, dan hanya menyisakan kehampaan.
"Ini ampun yang kuberikan terakhir kali Kodasih..." suara Tuan Menir lebih pelan, lirih
Hujan di luar mulai mereda. Petir menjauh, hanya tersisa rintik yang jatuh seperti isak tangis.
Nyi Kodasih tak sadarkan diri. Tubuhnya tergeletak di lantai loji yang dingin, rambutnya terurai, wajahnya pucat. Tapi di dadanya, tergantung sebuah medali tua... medali milik Tuan Menir.
☀️☀️☀️
Cahaya pagi menyusup malu-malu dari celah kisi-kisi jendela. Sisa hujan semalam masih menempel di dedaunan dan atap loji. Suara ayam jantan bersahutan dari kejauhan, namun keheningan yang ganjil masih menyelimuti bangunan loji megah itu, seolah malam belum sepenuhnya pergi.
Angin pagi membawa bau tanah basah, bercampur samar dengan aroma tak sedap... sesuatu yang tak seharusnya ada di pagi hari yang sejuk seperti ini.
Sanah, yang baru saja bangun dari tidur panjangnya, keluar dari kamar kecil di sisi timur loji. Ia hendak ke dapur untuk bekerja seperti biasanya. Namun, langkahnya terhenti di tengah lorong.
Matanya terpaku.
Kakinya membeku.
Ada sosok tubuh tergeletak di lantai ruang tengah, tepat di bawah lampu gantung yang kini hanya berayun pelan, tanpa angin.
Tubuh itu... Nyi Kodasih.
“Mbok!! Astaga... KANG!!”
Jerit Sanah memecah pagi, membuat burung burung beterbangan dari dahan. Ia mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar.
Pardi, yang baru terbangun dari kamar pengantin, sontak keluar dalam keadaan setengah sadar dan cemas.
“Ada apa, Nah?!”
“Nyi Kodasih, Kang… dia... dia...”
Tanpa menunggu jawaban lengkap, Pardi segera menghampiri tubuh Nyi Kodasih dan memeriksa napasnya. Wajahnya berubah pucat.
“Masih hidup... Tapi dingin sekali... seperti habis dicebur ke kali dini hari...”
Dari arah dapur, suara langkah tergesa terdengar. Mbok Piyah datang menyusul, wajahnya terkejut saat melihat pemandangan itu.
“Astagfirullahaladzim... Kenapa Nyi Kodasih? Kalian tidur di loji depan, kok tidak dengar apa-apa?!” serunya sambil berjongkok di samping tubuh Nyi Kodasih.
Sanah menunduk merasa bersalah. “Maaf, Mbok... kami tidur pulas setelah hujan turun ... kami... tidak dengar apa-apa...”
Mbok Piyah menatap medali tua yang kini ada di dada Nyi Kodasih. Tangannya gemetar saat menyentuh benda itu, seolah mengenali sesuatu yang tak asing... tapi juga tak masuk akal.
“Medali ini... Ini... milik Tuan Menir...”
Semua terdiam. Hanya suara tikus kecil di balik lemari yang terdengar, dan detak jantung mereka masing-masing yang terasa terlalu keras di dada.
Mbok Piyah perlahan berdiri, tatapannya kosong namun penuh firasat buruk.
“Pasti ini ada hubungannya dengan dia… dengan arwah Tuan Menir. Nyi Kodasih mungkin membuat kesalahan lagi...”
Pardi mengangguk pelan, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Lalu... sekarang bagaimana, Mbok? Siapa yang bisa bantu kita?”
“Mbah Jati sudah pergi dari dusun ini,” gumam Mbok Piyah, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Dukun terakhir yang bisa menghadapi makhluk begitu sudah tak ada.”
Ia terdiam sejenak, lalu matanya menyipit, seperti mengingat sesuatu.
“Arjo... Ya, Arjo. Anak itu murid Mbah Jati dan kemarin membantu ritual Nyi Kodasih. Mungkin... mungkin dia bisa bantu.”
Mbok Piyah menoleh cepat ke arah Pardi.
“Kamu panggil Arjo sekarang juga!”
Tanpa berkata apa-apa, Pardi langsung berlari keluar dari loji, menembus kabut pagi yang masih menggantung di halaman depan.
“Aku akan sekalian tanya Arjo tentang kendi itu.” Gumam Pardi di dalam hati dan dia berlari menuju ke rumah Arjo.
"Dalam setiap kendi air yg dibawa nyi Kodasih, selalu ada daun Bidara dan bunga kantil"
Dimulai dari kendi yg berisi air yg menyimbolkan kesederhanaan, kerendahan hati dan tidak sombong.Air didalam kendi ~ tetap tenang jaga keseimbangan.Air menyimbolkan kejernihan.Pembersihan diri dari aura negatif.Daun bidara sendiri sebagai simbol kesabaran, kemurnian, perlindungan dan kesederhanaan.Sering digunakan untuk acara keagamaan dan spiritual untuk memohon perlindungan, keselamatan dan keberkahan kepada sang pencipta.Bunga kantil sendiri menyimbolkan kesetiaan, kemesraan, kedekatan hati (kantilaning ati), hubungan erat walau berbeda alam, serta usaha dan ketundukan pada Tuhan (kanti laku).
Pangruwat - Pemelihara
Pangruwating - Seorang pemelihara/perawat/bisa juga diartikan penjaga kebaikan.
ora malh eling kro kang moho pengeran tp mlh yembah sing dadi musryik tp ben wae kui dalane wong kang apes ora entuk hidayah lan karomah
mulo yo lur tansah iling lan waspodo
kbeh mau wis di taker ora bakal kleru nrimo ing pandum
mugo seko tulisan e author mbk yu arias iki iso gae pelajaran supoyo iso mbedakne
iklan gantek bolak balik wae sepet tenan aku