NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Dark Romance / Mengubah Takdir
Popularitas:20.6k
Nilai: 5
Nama Author: Novia na1806

Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.

Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.

Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 29 -- kesialan aruna

Udara pagi itu masih terasa sejuk, tapi suasana hati Aruna jelas tidak bisa disebut tenang. Ia berdiri di depan jendela besar ruang kerja ayahnya, menatap ke bawah pada lalu lintas Jakarta yang mulai padat, sambil menahan rasa kantuk yang luar biasa.

Sejujurnya, ia belum benar-benar siap menghadapi hari ini.

Bagaimana mungkin siap, kalau pukul tujuh pagi sudah ditelepon oleh Tuan Arsen Surya dengan nada “Ini darurat, segera ke kantor!” tanpa penjelasan lebih lanjut.

Darurat apa, sih, pikir Aruna sambil menguap kecil. Darurat kehilangan selera tidur, mungkin.

Ia menoleh pada meja besar yang kini sudah menjadi “bantal” sementara miliknya. Pipi kirinya menempel di permukaan dingin kayu mahoni yang mengilap, sementara tangan kanannya menggenggam cangkir kopi yang mulai kehilangan panasnya.

“Katanya penting,” gumamnya setengah tidur. “Tapi yang penting malah belum datang…”

Pintu ruang kerja itu terbuka tiba-tiba.

Suara langkah terburu-buru terdengar, dan begitu Aruna menoleh, ia hampir tersedak kopinya sendiri.

Tuan Arsen Surya masuk dengan wajah tegang, dasi agak miring, dan map besar di tangan kanannya. Sekretaris pribadinya tampak kewalahan mengikuti dari belakang sambil membawa berkas lain.

Ayahnya jarang sekali terlihat seperti itu—panik tapi berusaha tetap tenang. Dan kalau sampai Tuan Arsen Surya panik… itu artinya benar-benar ada sesuatu yang besar terjadi.

“Aruna!” panggilnya, agak keras.

Aruna langsung duduk tegak, bahkan sempat menjatuhkan sendok ke lantai saking kagetnya.

“Y-Ya! Saya di sini! Jangan panggil sekeras itu, Ayah!”

Tuan Surya mendengus kecil, menepuk pelipisnya. “ayah sudah tua, jangan bikin ayah jantungan juga.”

“Kalau Ayah sudah tua, jangan bikin anak Ayah bangun pagi!” balas Aruna refleks, dengan suara setengah mengantuk tapi tetap bernada manja.

Seketika suasana yang tegang sedikit mencair. Tapi wajah Tuan Surya tetap serius. Ia meletakkan map besar di atas meja dan duduk berat di kursinya.

“Aruna, kita punya masalah.”

“Masalah? Masalah apa? Jangan bilang saham kita jatuh, atau supplier kita kabur bawa kontrak.”

Tuan Surya tidak langsung menjawab. Ia membuka mapnya, memperlihatkan laporan setebal beberapa halaman dengan cap URGENT berwarna merah di pojoknya.

“Cabang utama kita di Surabaya sedang bermasalah. Salah satu direktur baru—Tuan Rendra—mengambil keputusan tanpa persetujuan pusat. Akibatnya, klien besar dari Jepang menunda kontrak kerja sama.”

Aruna tertegun sejenak, kantuknya hilang seketika. “Menunda? Maksud Ayah... bisa batal?”

“Bisa. Kalau tidak segera diselesaikan dalam dua hari, kita akan kehilangan proyek itu dan... reputasi Surya Group bisa terguncang.”

Aruna menghela napas panjang.

“Dan Ayah memanggilku pagi-pagi untuk memberitahukan kabar buruk ini. Baiklah. Lalu siapa yang akan dikirim untuk mengurusnya? Pak Dimas? Tante Laila? Atau Ayah sendiri?”

Wajah Tuan Surya berubah canggung sesaat.

“Bukan mereka.”

“Lalu siapa?”

“...Kau.”

Ruangan mendadak hening.

Aruna menatap ayahnya seperti baru saja mendengar kalimat dari dunia paralel.

“Aku?” ulangnya dengan nada yang naik satu oktaf. “Aku? Aruna Surya? Putri satu-satunya Ayah yang baru bangun tidur setengah jam lalu? Aku yang bahkan belum minum kopi kedua hari ini?”

Tuan Surya memijat pelipis. “Ya, kau. Karena hanya kau yang paham betul laporan bagian keuangan Surabaya dan yang bisa membuat klien Jepang itu percaya lagi. Kau ikut rapat dengan mereka bulan lalu, kan?”

Aruna mengedipkan mata cepat. “Iya, tapi... itu waktu mereka masih tersenyum dan memuji catering kita! Ini beda, Ayah! Ini masalah bisnis besar, bukan soal kopi matcha yang keasinan!”

Tuan Surya menatapnya lama. “Aruna, ayah tahu kau bisa. Kau sudah belajar dari bawah selama ini. Kau bukan hanya anak CEO, kau bagian dari perusahaan ini. ayah percaya padamu.”

Kata-kata itu membuat Aruna terdiam.

Di satu sisi, ada rasa bangga yang menyelinap di dadanya. Tapi di sisi lain—kepalanya sudah penuh dengan pikiran: ‘Aku... ke Surabaya? Dalam dua hari? Mengurus direktur keras kepala dan klien Jepang yang tersinggung?’

Ia menatap ayahnya tajam. “Ayah tahu kan, percaya itu bagus, tapi... ini terlalu cepat!”

Tuan Surya menghela napas. “Kalau ayah bisa, ayah akan turun sendiri. Tapi—”

Ia berhenti sebentar, lalu menatap putrinya dengan ekspresi lembut tapi tegas.

“ayah harus ke luar negeri hari ini juga.”

Aruna terbelalak. “Ke luar negeri? Sekarang?!”

“Ya. Nenekmu jatuh sakit. ibu mu sudah berangkat lebih dulu semalam. ayah baru dapat kabar dari rumah sakit Tokyo—kondisinya agak kritis. ayah harus berangkat pagi ini.”

Aruna memutar bola mata. “Jadi... biar aku ngerti. Ayah mau ke Jepang menjenguk Nenek, sementara aku—putri kecil yang manis dan polos ini—disuruh menghadapi direktur keras kepala dan klien Jepang yang bisa membatalkan kontrak ratusan juta?”

Tuan Surya mengangguk mantap. “Tepat sekali.”

“Enak banget hidup Ayah!” seru Aruna spontan sambil menatap langit-langit. “Ayah pergi ke Jepang, makan ramen, lihat bunga sakura, ketemu Nenek... sementara aku disuruh kerja di Surabaya yang panasnya bisa memanggang ayam hidup-hidup!”

Tuan Surya hampir tertawa, tapi menahan diri. “ayah akan ganti liburanmu nanti, Aruna.”

“Ganti liburan tidak bisa mengganti penderitaan emosional yang akan aku alami di Surabaya, Yah!”

Ayahnya akhirnya tidak tahan lagi dan tertawa kecil. “Kau benar-benar mirip ibumu kalau sedang protes.”

“Karena aku warisan gen terbaik dari kalian berdua,” balas Aruna cepat, menyilangkan tangan di dada dengan gaya dramatis.

Namun meski berusaha bercanda, ekspresinya perlahan melunak. “Ayah... serius? Aku benar-benar harus pergi?”

Tuan Surya mengangguk.

“Iya. ayah tidak bisa mempercayakan hal ini pada siapa pun selain kau. Kau sudah tahu pola kerja mereka, dan mereka menghormatimu. ayah yakin kau bisa menyelesaikan ini dengan caramu sendiri.”

Aruna menunduk sejenak, jari-jarinya menggenggam cangkir kopi yang kini benar-benar dingin. Ada sesuatu yang hangat dalam nada ayahnya—bukan sekadar perintah, tapi kepercayaan tulus.

“Baiklah,” ujarnya akhirnya. “Tapi aku minta satu hal.”

“Apa?”

“Kalau aku berhasil menyelamatkan kontrak itu... aku mau liburan ke Jepang. Sekalian ketemu Nenek.”

Tuan Surya terkekeh. “Tentu saja. ayah janji.”

“Dan aku mau tiket business class!”

“Baik, business class.”

“Dan hotel bintang lima!”

“Baiklah, bintang lima.”

“Dan Ayah bayar belanjaanku di sana.”

Tuan Surya menatapnya tajam. “Jangan berlebihan, Nak.”

Aruna menahan tawa, pura-pura menghela napas panjang. “Baiklah, baiklah. Aku bercanda kok... separuhnya.”

Mereka berdua tertawa kecil, dan untuk sesaat, ruangan itu terasa lebih hangat. Tapi ketika suara panggilan penerbangan terdengar dari ponsel Tuan Surya, suasana kembali serius.

“ayah harus berangkat sekarang. Semua detail sudah ada di map ini. Aruna, ayah tahu ini tidak mudah, tapi... percayalah, setiap keputusan besar datang di waktu yang tidak pernah kita rencanakan.”

Aruna berdiri dan memeluk ayahnya dengan erat.

“Kalau Nenek sadar, bilang aku titip salam, ya. Dan jangan khawatir, Ayah... aku akan berusaha tidak membuat kantor terbakar.”

“Jangan sampai terbakar beneran ya,” balas Tuan Surya sambil menepuk kepala putrinya pelan.

Begitu sang ayah pergi, Aruna berdiri sendirian di ruang besar itu. Ia menatap map di meja, menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.

“Surabaya, ya? Baiklah, mari kita lihat siapa yang lebih keras kepala—direktur yang sok pintar itu, atau aku.”

Ia meneguk sisa kopi dinginnya, lalu meraih ponsel dan mulai mengatur jadwal penerbangan. Wajahnya yang tadi penuh keluhan kini berubah menjadi tenang dan fokus, namun tetap dengan gaya khas Aruna yang penuh ekspresi.

“Dasar Ayah... selalu tahu cara mempersulit hidupku,” gumamnya sambil tersenyum kecil. “Tapi... kali ini, aku akan buktikan kalau pilihan Ayah tidak salah.”

Dan begitu ia melangkah keluar dari ruang kerja itu, sinar matahari pagi menyinari wajahnya lembut — seolah memberi isyarat bahwa perjalanan barunya baru saja dimulai.

_____

Siang itu seharusnya berjalan normal.

Tapi tentu saja, bagi Aruna Surya, tidak ada yang namanya hari normal. Terutama kalau ia sedang dikejar waktu dan berurusan dengan hal-hal bernama “tanggung jawab pekerjaan.”

Dengan wajah setengah ngantuk dan rambut yang masih sedikit acak-acakan karena buru-buru, Aruna berlari kecil ke arah mobilnya sambil mengomel sendiri.

“Ayah tuh ya... bilang ‘nggak usah terburu-buru’ tapi lima menit kemudian kirim pesan: ‘Kamu udah di jalan, kan?’ Ya ampun, logika macam apa itu?” Ia melempar tas ke kursi penumpang dan langsung menyalakan mesin.

Sebelum pedal gas diinjak, ponselnya berdering.

Nama di layar: Ibu. Aruna menatapnya dengan tatapan waspada, seperti hendak menghadapi ujian.

“Ya, Bu?”

|“Kamu udah berangkat?”

“Baru mau, Bu.”

|“Jangan lupa bawa obat maag. Kamu itu suka telat makan. Sama jaket juga, di pesawat suka dingin.”

"Iya, Bu.”

|“Dan—”

“Iya, iya, aku juga udah sarapan!” potong Aruna cepat.

|“Hm. Jangan lupa laporan dari Ayah.”

“Udah, udah aku bawa.”

|“Dan—”

Tut.

Aruna menekan tombol end call sambil memukul setir pelan. “Kalau aku denger satu ‘dan’ lagi, aku bisa berangkat besok.”

Perjalanan menuju bandara seharusnya memakan waktu empat puluh menit.

Namun kenyataan berkata lain.

Baru lima belas menit keluar dari kompleks kantor, jalanan sudah macet total. Deretan mobil berkilau di bawah panas matahari, klakson bersahutan seperti orkestra neraka.

Aruna bersandar di kursi dengan wajah tertekuk.

“Kenapa siang ini kayak ajang cobaan iman?” gumamnya sambil melirik jam. “Penerbangan jam satu lewat tiga puluh… masih jam dua belas… harusnya cukup. Harusnya.”

Lima menit kemudian, ia menatap jam lagi. “Masih jam dua belas lewat lima. Lama banget sih jarum jamnya!”

Radio mobil memutar lagu ceria, tapi Aruna malah nyanyi asal-asalan, mengganti lirik seenaknya. “Ku berangkat kerjaaaa tapi duniaaa bersekongkol dengan macettttt~”

Seseorang di mobil sebelah menatapnya, Aruna malah menunjuknya. “Apa liat-liat? Mau duet, Pak?”

Tiba-tiba mobil di depannya bergerak maju sedikit. Aruna refleks ikut injak gas. Sayangnya, mobil depan itu berhenti mendadak.

“ASTAGA!” teriak Aruna sambil injak rem.

BRAK!

Bumpernya mencium mobil depan.

Ia menunduk di balik setir, menatap ke depan dengan panik. “Ya Tuhan… aku nyenggol mobil orang…”

Pemilik mobil—seorang pria berumur tiga puluhan dengan kemeja rapi—keluar dan menatap bagian belakang mobilnya.

Aruna buru-buru turun sambil mengangkat tangan. “Maaf banget, Pak! Saya bener-bener nggak sengaja! Tadi mobil Bapak kayaknya jalan, saya ikut—eh berhenti lagi!”

Pria itu memeriksa, lalu tersenyum tipis. “Cuma lecet sedikit. Nggak apa-apa, Mbak. Tapi hati-hati ya.”

Aruna langsung menghela napas lega. “Ya ampun, Bapak baik banget. Saya doain hidup Bapak lancar, rezekinya ngalir terus.”

“Eh, iya, makasih…”

“Beneran deh, orang sabar kayak Bapak tuh spesies langka!”

Setelah meminta maaf sepuluh kali lagi, Aruna buru-buru kembali ke mobil. “Oke, Aruna, fokus. Jangan nyenggol lagi, jangan bikin dosa tambahan.”

Setelah dua puluh menit terjebak di kemacetan dan hampir kehilangan kewarasannya, Aruna akhirnya sampai di area bandara.

Tapi tentu saja, masalah belum selesai.

Begitu mobilnya parkir, Aruna menyadari sesuatu yang membuat darahnya turun ke ujung kaki.

“OH TIDAK!”

Ia menatap kursi penumpang. “TAS LAPTOPKU!”

Ternyata… tertinggal di meja ruang kerjanya tadi.

Aruna menepuk jidat. “Ya Tuhan, gimana aku bisa jadi wakil perusahaan tanpa laptop?!”

Ia menghubungi asisten kantor lewat ponsel.

“Dinda! Tolong ambilin tas laptopku! Di meja pojok, di bawah bunga plastik warna ungu!”

“Baik, Nona! Tapi macet banget di depan kantor, paling cepat lima belas menit.”

“LIMA BELAS MENIT?! Aku bisa ketinggalan pesawat!”

Aruna hampir menjerit, tapi akhirnya memilih pasrah. “Oke. Aku tunggu di drop-off gate. Tolong buru-buru ya, sebelum jantungku bubar.”

Sambil menunggu, ia mondar-mandir di depan terminal dengan ekspresi campur aduk. Orang-orang menatapnya karena wajahnya yang terlalu ekspresif: kadang mengerang, kadang menatap langit, kadang bicara sendiri.

“Kalau aku ketinggalan pesawat, Ayah bakal bilang ‘tanggung jawab besar, Aruna’. Tapi gimana aku bisa tanggung jawab kalau semesta ngerjain aku begini?”

Sepuluh menit kemudian, Dinda muncul dengan napas ngos-ngosan. “Nona! Ini tasnya!”

“Dinda, kamu penyelamat bangsa!” Aruna meraih tas itu dan memeluknya seperti memeluk harta karun.

Check-in pun dimulai. Tapi antrian panjang seperti ular naga panjangnya tidak masuk akal. Aruna menghela napas panjang. “Oke, sabar, sabar, ini ujian kesabaran.”

Lima belas menit kemudian, giliran Aruna. Namun saat ia hendak menyerahkan tiket, petugas berkata pelan,

“Maaf, penerbangan ke Surabaya jam 13.30 sudah boarding, Mbak.”

Aruna membeku. “Apa?”

“Sudah lima menit lalu.”

“LIMA MENIT?! SAYA MACET, NYENGGOL MOBIL ORANG, KEHILANGAN TAS, LALU NGANTRI PANJANG, DAN SEKARANG DIBILANG BOARDING???”

Petugas tersenyum canggung. “Masih ada penerbangan berikutnya jam 15.00, Mbak.”

“Yaudah deh. Sekalian saya istirahat… sebelum jadi fosil di sini.”

Ia duduk di kursi tunggu bandara, menatap langit-langit dengan kopi di tangan.

“Kenapa hidupku selalu kayak sinetron tiga ratus episode?” gumamnya pelan.

Seorang anak kecil di sampingnya menatap penasaran. “Tante ngomong sendiri, ya?”

Aruna meliriknya. “Iya, Nak. Tante lagi latihan jadi orang sabar.” Ibunya si anak langsung tertawa kecil, sementara Aruna hanya menghela napas panjang.

 

Akhirnya, jam tiga lewat sepuluh, Aruna sudah duduk di dalam pesawat. Ia memilih kursi dekat jendela dan langsung menyandarkan kepala, berharap bisa tidur sejenak.

Tapi takdir punya rencana lain.

Penumpang di sebelahnya adalah seorang pria besar yang mendengkur keras bahkan sebelum pesawat lepas landas.

Setiap kali ia mendengkur, kursinya ikut bergetar.

Aruna membuka mata, menatap ke arahnya, lalu menatap jendela. “Kenapa hidupku kayak ujian bertingkat?”

Belum cukup, bayi dua baris di depan mulai menangis kencang. Pramugari lewat sambil tersenyum sopan, tapi Aruna sudah tampak kehilangan ekspresi.

“Ya, Tuhan, mungkin ini caramu bilang aku harus bersyukur karena masih hidup.”

Ketika akhirnya pesawat mendarat, Aruna berdiri dengan wajah lelah tapi tetap menegakkan kepala. “Surabaya, aku datang. Tolong sambut aku dengan AC, bukan panas neraka.”

 

Begitu keluar dari bandara, gelombang panas langsung menyambutnya. Ia menatap matahari dengan ekspresi getir. “Oke, matahari. Aku ngerti kamu eksis. Tapi tolong, jangan serang aku pribadi.”

Sopir perusahaan sudah menunggunya dengan papan nama bertuliskan “Aruna Surya.”

“Selamat datang, Nona Aruna,” sapa sang sopir ramah.

“Selamat siang, Pak… atau selamat ‘panggang bareng matahari’ lebih cocok ya?” Sopir itu terkekeh. “Mobil sudah siap, Nona.”

“Syukurlah. Aku takut kalau disuruh naik becak, aku meleleh di jalan.”

Di dalam mobil, Aruna bersandar sambil membuka ponsel.

Pesan dari Ayah muncul: “Hati-hati di jalan, Aruna. Kamu pasti bisa tangani masalahnya.”

Ia mengerucutkan bibir. “Ya, bisa sih, kalau nggak dikerjain semesta dulu.”

Namun di balik semua kesialan itu, ada sedikit senyum muncul di wajahnya. Karena meski harinya kacau, Aruna tetap Aruna — cerewet, penuh keluhan, tapi selalu berhasil bertahan hidup dengan caranya sendiri.

Dan entah kenapa, di antara rasa capek dan kesal itu, ia merasa… mungkin di Surabaya nanti, akan ada hal menarik menunggunya.

Entah pekerjaan besar, atau seseorang yang akan mengubah hidupnya.

1
Karo Karo
meninggalkan jejak sebelum ribuan 🤭
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Mama Mia
panggilan juga tidak konsisten kadang Bu, kadang Ma
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Mama Mia
tadi di depan gaun Naya merah menyala. ddi sini kok berubah jadi krem muda 🤣🤣🤣
✍️⃞⃟𝑹𝑨 Mama Mia: oh iya kemarin bab 20 retensi nya berapa
total 5 replies
Diana Lely
leo apa liam thor
Novia Na1806: leo,aduh terimasih ya banyak ya udah beri komentar,jadi saya bisa menyadari kesalahan saya dan bisa memperbaiki nya🥰
total 1 replies
sukensri hardiati
aruna kalah langkah sama naya...
sukensri hardiati
naya ni siapa sih.
..kok bisa menggerakkan orang2...
sukensri hardiati
siapa itu thor...?
sukensri hardiati
kata achmad albar...dunia memang panggung sandiwara
sukensri hardiati
permainan mulai berbalik arah....
ZodiacKiller
Wow! 😲
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
Novia Na1806: wah terima kasih sudah membaca,jadi senang banget nih ada yang suka karya ku🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!