Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Pagi menyapa dengan langit abu pucat dan sisa embun di kaca jendela.
Alan terbangun dengan kepala berat dan rasa asing di dadanya, seperti ada sesuatu yang hilang dari ruangan itu. Ia mengerjap, mencoba menata ingatan malam tadi.
Sofa di seberang kosong.
Cangkir teh di meja sudah dingin.
Dan yang tersisa hanyalah aroma samar dari parfum yang dulu begitu ia kenal.
“Shenia…” bisiknya pelan.
Ia berdiri tergesa, menatap ke sekeliling ruangan. Tak ada tanda-tanda kehadirannya. Semua rapi, seolah wanita itu tak pernah ada di sana.
Namun justru itulah yang membuat dadanya sesak.
Dia pergi lagi.
Amarahnya naik perlahan, seperti bara yang tersulut oleh udara.
Dengan rahang mengeras, Alan meraih ponselnya dan menekan nomor cepat.
“Cari seseorang untukku,” suaranya dingin dan tajam. “Namanya Shenia. Aku tidak peduli gimana caranya bawa dia ke hadapanku hari ini juga.”
Ia menutup panggilan itu dengan keras, napasnya memburu. Tapi sebelum sempat berjalan ke arah pintu, pandangannya menangkap sesuatu di lantai dekat meja kopi.
Sebuah benda kecil berwarna putih bulat, terguling tak jauh dari sofa. Alan menunduk dan mengambilnya, pil.
Alisnya mengerut. Ia menatapnya beberapa detik lalu, menemukan tulisan pada obat itu dan mencari informasinya. yang ternyata...
Obat penyubur kandungan.
Alan terpaku. Dadanya terasa seperti diremas dari dalam.
Ia memutar benda kecil itu di jemarinya, berusaha menolak segala kemungkinan yang mulai memenuhi pikirannya.
Tapi logika dan perasaan mulai berperang di dalam dirinya.
“Kenapa… Shenia bawa ini?” gumamnya pelan, suara nyaris serak.
Satu demi satu potongan ingatan semalam kembali, tatapan gugup, tangan yang gemetar, cara Shenia terus menunduk, kata-kata yang setengah terputus.
Alan mendengus keras, meninju meja hingga permukaannya bergetar.
“Jadi ini maksudmu datang lagi?” suaranya pecah oleh kemarahan dan kekecewaan. “Kamu pikir aku nggak akan sadar, Shen?”
Ia menatap pil itu sekali lagi, lalu menggenggamnya erat.
Kini bukan hanya marah. Ada rasa takut, penasaran, dan sakit yang bercampur menjadi satu.
Dan di matanya, satu hal kini pasti, Shenia menyembunyikan sesuatu yang besar.
__
Sementara di sisi lain...
Suara mesin pesawat bergemuruh lembut, menggetarkan lantai kabin di bawah kursi.
Di luar jendela, langit perlahan berubah warna dari abu-abu menuju biru pucat, tanda pesawat baru saja menembus lapisan awan tebal.
Shenia duduk di dekat jendela, diam, sementara Aaron, bocah kecil berusia lima tahun itu tertidur pulas di pangkuannya, kepalanya bersandar nyaman di dada ibunya.
Tangan Shenia membelai rambut lembut putranya pelan. Setiap helai yang disentuhnya membawa rasa bersalah dan kasih yang bercampur jadi satu.
“Sebentar lagi kita sampai, sayang…” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada anak itu.
Namun jauh di balik ketenangan wajahnya, pikirannya berputar cepat.
Bayangan Alan tadi malam masih menghantui. Sorot matanya yang tajam, nada suaranya yang penuh luka. Ia tahu Alan tidak akan tinggal diam. Pria itu terlalu cerdas untuk tidak curiga.
Dan ketika Alan mulai mencari, cepat atau lambat kebenaran bisa saja terbuka.
Shenia menatap keluar jendela lagi, ke arah hamparan langit yang tak berujung.
“Kalau dia tahu… aku akan bagaimana,” gumamnya, separuh doa, separuh ketakutan.
Tapi kemudian pandangannya turun ke paspor yang ia genggam. Sampul biru tua itu terbuka, menampilkan foto dirinya dengan nama yang bukan miliknya. Ya, setelah tinggal di Seoul, Shenia mengubah identitasnya.
Bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang nyaris pahit.
“Maaf, Alan,” ucapnya pelan, menatap nama itu. “Kamu mungkin bisa mencari Shenia, tapi kamu nggak akan pernah menemukan Yerin.”
Ia menutup paspor itu perlahan, menyimpannya ke dalam tas bersama dokumen perjalanan lain.
Pesawat bergetar ringan saat pilot mengumumkan penerbangan menuju Seoul akan berlangsung selama lima jam.
Shenia menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih tak beraturan.
Di luar sana, langit mulai cerah, tapi di dalam dirinya, badai belum benar-benar reda.
Ia tahu, setiap rahasia punya waktunya sendiri untuk ditemukan.
Dan ketika waktu itu tiba… mungkin, tak akan ada tempat lagi untuk bersembunyi. Kalau Aaron-ku benar-benar akan sembuh, semua hal akan jadi lebih mudah, Bisiknya.
___
Malam itu, ballroom megah di pusat kota dipenuhi cahaya kristal dan denting gelas sampanye. Musik orkestra mengalun lembut, mengiringi percakapan para pebisnis dan tamu undangan dari berbagai negara.
Gideon berdiri di sisi ruangan, mengenakan setelan hitam klasik yang mempertegas karisma tenangnya. Di sampingnya, Haruka tampak anggun dalam gaun berwarna gading, tersenyum ramah setiap kali seseorang menyapa mereka.
Namun, sekalipun tampak tenang dari luar, hati Gideon sedang bergejolak.
Tatapannya terpaku pada satu arah, ke meja di seberang ruangan, tempat Chesna duduk bersama pria itu lagi.
Cahaya lampu gantung jatuh lembut di wajah Chesna malam itu. Gaun biru lembut yang dikenakannya memberi kesan sederhana namun menawan, sementara senyum hangatnya, senyum yang tak bisa Deon lupakan, kini diberikan pada pria lain.
Pria itu tampak begitu percaya diri, memayungi Chesna dengan sikap sopan namun protektif, sesuatu yang entah kenapa membuat dada Gideon terasa sesak.
“Gideon-san,” suara lembut Haruka memecah lamunannya. “Kau tampak tak fokus malam ini. Apakah semuanya baik-baik saja?”
Gideon tersadar, lalu menarik napas pelan. “Ya. Aku hanya... melihat beberapa wajah yang tak kuduga akan hadir.”
Haruka menatap ke arah yang sama, menyadari sosok yang menjadi pusat perhatiannya.
“Oh,” ucapnya pelan, sedikit tersenyum. “Dia sangat cantik.”
Gideon tak menjawab. Hanya meneguk minumannya dalam diam, seolah ingin menenggelamkan sesuatu disana.
Chesna tertawa kecil di meja sana.
Satu detik saja, pandangan mereka sempat bertemu. Chesna sempat terdiam, tapi segera memalingkan wajahnya, kembali tersenyum pada Arion.
Gideon merasakan dadanya mengencang. Ia tahu, ia tak punya hak untuk merasa terluka.
Tapi melihat wanita yang pernah sangat ia rindukan selama dua belas tahun kini bersama pria lain… itu lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.
Ia menatap gelas di tangannya, bibirnya bergetar pelan.
“Lucu,” gumamnya lirih, “bahkan setelah berusaha sekuat ini melupakan, ternyata hatiku masih memilih jalan yang sama.”
Haruka menatapnya sekilas, menyadari sesuatu yang tak bisa ia sentuh. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menggandeng lengan Gideon dengan lembut.
“Ayo, kakak, aku bisa mengantarmu ke gadis itu. Jangan biarkan diambil orang.” katanya ramah, seolah mencoba menghibur Gideon yang kini sudah seperti kakaknya sendiri.
"Dia sudah milik orang, Ruka. Bukan lagi punyaku."
Dan di antara keramaian pesta itu, dua mata yang sama-sama menahan perasaan terlarang saling berpaling. Bukan karena tak peduli, tapi karena terlalu peduli.
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??