NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32

Yash terdiam cukup lama setelah mendengar cerita itu. Matanya menatap kosong ke tanah, lalu perlahan ia menggeleng dengan tatapan getir.

“Pak Merta… kisah itu indah, tapi keadaanku berbeda,” ucapnya dengan suara berat. “Lepah itu bisa memilih menyerahkan segalanya karena ia tak dikejar siapa pun. Sedangkan aku… aku masih punya Lysander. Selama dia ada, aku tak bisa menjadi manusia. Jika aku melepaskan kekuatanku sekarang, siapa yang akan melindungi Lira darinya?”

Jemari Yash mengepal erat, suaranya bergetar menahan emosi.

“Di sisi lain… kalau aku tidak menjadi manusia, maka saat gerbang itu ditutup aku akan kehilangan Lira untuk selamanya. Dia akan tetap di dunia ini, sementara aku—” suaranya tercekat, “aku akan terhimpit di antara kegelapan dan cahaya yang tak bisa kudekati lagi.”

Pak Merta menghela napas panjang, sorot matanya penuh iba. “Aku tahu, Yash. Tak ada pilihan yang mudah. Jadi bukan masalah benar atau salah, tapi seberapa besar tekadmu untuk menanggung harga dari pilihanmu.”

Yash menoleh ke arah jendela kamar tempat Lira beristirahat. Dari celah tipis tirai, ia bisa melihat wajah pucat gadis itu yang tertidur tenang. Dadanya terasa sesak.

“Aku tak bisa kehilangan dia lagi,” bisiknya, hampir tak terdengar. “Bahkan jika harus melawan takdir itu sendiri.”

Langit berbintang di atas terasa begitu jauh, sementara beban di pundak Yash semakin berat.

Yash menunduk, jemarinya mengepal di atas lutut. Pandangan matanya kosong menembus kegelapan hutan, namun di dalam dirinya badai tak berhenti mengamuk. Kata-kata Pak Merta masih terngiang jelas, seakan menorehkan luka yang tak bisa sembuh.

Ia menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dadanya. “Pasti ada jalan tengah untuk ini…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Namun suaranya mengandung tekad yang tak bisa digoyahkan.

Bintang-bintang di langit seakan menjadi saksi, sementara Pak Merta hanya menatap Yash dengan mata yang berat, sadar bahwa jalan tengah yang dimaksud pemuda itu mungkin akan membawa mereka semua ke pertaruhan yang jauh lebih berbahaya.

...

Fajar menyingkap langit Lematang dengan semburat oranye pucat. Embun masih menempel di dedaunan, dan udara hutan pagi itu terasa segar sekaligus menusuk tulang. Burung-burung liar mulai bersahut-sahutan, namun suasana rumah panggung Pak Merta justru hening, seolah menunggu sesuatu.

Di halaman, Lira sudah berdiri dengan kebaya putihnya yang kini mulai ternodai tanah di ujung kain batik akibat latihan sebelumnya. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya lebih tegas dari kemarin.

Di sampingnya, Yash berdiri tegak dengan tatapan waspada, sementara Pak Merta duduk di kursi bambu, memperhatikan keduanya dengan serius.

“Latihan hari ini tidak akan lebih mudah,” ujar Pak Merta pelan, suaranya berat. “Semakin dekat kita dengan waktu penutupan gerbang, semakin kuat pula cahayamu akan memberontak, Lira.”

Lira mengangguk, jemari halusnya menggenggam kain di sisi tubuhnya agar tak gemetar. “Aku siap, Pak. Aku tidak mau hanya menjadi beban.”

Yash meliriknya cepat, seakan ingin membantah, tapi ia menahan diri. Ia hanya menghela napas lalu berdiri lebih dekat, siap menangkap jika tubuh Lira kembali goyah.

Pak Merta lalu melemparkan segenggam daun kering ke udara. Daun-daun itu berputar pelan terbawa angin pagi. “Gunakan gerakan tubuhmu. Rasakan aliran cahaya dalam dadamu, lalu kendalikan. Jangan biarkan ia meledak, tapi alirkan perlahan, arahkan…”

Lira menutup mata. Nafasnya ditata, tangannya perlahan diangkat. Sekejap kemudian, cahaya samar muncul di dada, merambat ke jemarinya. Daun-daun yang melayang itu tiba-tiba terhenti di udara, seakan ada yang menahannya.

Keringat dingin membasahi pelipis Lira, bibirnya sedikit bergetar menahan rasa sakit. Namun kali ini ia berhasil membuat dedaunan itu berputar melingkar di sekeliling tubuhnya, berkilau samar diterpa cahaya pagi.

Yash menahan napas. Sorot matanya penuh kebanggaan sekaligus cemas.

Dedaunan kering yang berputar di udara makin lama makin terangkat lebih tinggi, berkilauan bagai serpihan kaca ketika cahaya pagi memantul di permukaannya.

Lira menahan napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Kedua lengannya terulur lembut, jemari bergerak seirama dengan pusaran cahaya. Untuk sesaat, ia tampak bagaikan penari yang sedang menuntun alam agar tunduk padanya.

“Bagus, Lira…” suara Pak Merta rendah, penuh pengawasan. “Jangan terburu-buru. Biarkan cahaya itu mengikuti gerakanmu, bukan melawanmu.”

Yash berdiri sedikit lebih dekat, wajahnya tegang. Ia tahu tubuh Lira masih rapuh, tapi tak bisa mengalihkan pandangan dari cahaya lembut yang memancar dari dirinya.

Namun tiba-tiba, hawa dingin merayap di udara. Angin yang tadinya hangat berubah menusuk, membuat bulu kuduk meremang. Dedaunan yang berputar mendadak berhenti, jatuh perlahan seolah kehilangan kendali.

Lira membuka mata. Jantungnya berdegup kencang. “Apa… yang terjadi?”

Yash langsung refleks melangkah ke depan, menutupi Lira dengan tubuhnya. Matanya menyipit, menelusuri pepohonan di sekitar halaman.

Dari kegelapan di antara batang pohon, siluet seorang pria tinggi muncul perlahan. Rambutnya panjang, jatuh menutupi sebagian wajah, dan auranya hitam pekat, seperti menyerap cahaya pagi di sekitarnya.

“Lysander…” desis Yash, suaranya tajam.

Pak Merta berdiri, tongkat kayu di tangannya menghentak tanah. “Kau tidak berhak menginjakkan kaki di sini.”

Lysander tidak menghiraukannya. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Lira, seolah menembus jiwanya. Senyum tipis muncul di bibirnya.

“Bagaimana latihanmu, Lira?” suaranya tenang tapi menusuk. “Waktumu tinggal sedikit, kau tahu. Sebentar lagi para makhluk akan menyerbu tempat ini… dan saat itu kau tak akan bisa menutup gerbang itu.”

Lira menelan ludah, tubuhnya gemetar. Jemarinya meremas kain batik di pahanya, wajahnya pucat.

“Cukup!” Yash mendengus marah, pedang peraknya muncul di tangannya. “Kalau kau datang untuk mengancam, aku akan—”

Lysander mengangkat satu tangan, memberi isyarat tenang, seolah kehadirannya hanyalah peringatan. “Aku tak perlu mengotori tangan sekarang. Aku hanya ingin memastikan kau paham… waktu berpihak padaku, bukan padamu.”

Angin dingin kembali berhembus, dan perlahan tubuh Lysander lenyap ke dalam bayangan pepohonan, menyisakan hawa mencekam.

Lira jatuh berlutut, napasnya tercekat. “Yash…

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!