NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:652
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4- Luka yang terucap

Malam itu, Mauryn tidak bisa tidur. Kata-kata Revan terngiang-ngiang di kepalanya.

"Bagi mereka mungkin kutukan. Tapi bagiku, itu bisa jadi penyelamat."

Ia duduk di jendela kecil kamarnya, memandang lampu kota yang berkelip. Syal buatan ibunya melingkar di leher, hangat meski angin menusuk.

"Apa benar ada orang yang bisa melihatku seperti itu? Atau hanya kata-kata manis untuk memanfaatkanku?" Batinnya.

Tapi isi hati Revan… ia mendengar dengan jelas. Tidak ada kebohongan. Yang ada hanya luka dan tekad. Itu yang membuat Mauryn gelisah.

Keesokan harinya, Revan benar-benar datang lagi ke pasar. Jasnya masih lusuh, wajahnya tampak kurang tidur.

Ia berdiri di depan lapak Mauryn, menunggu tanpa suara sampai gadis itu selesai melayani pembeli terakhir.

“Pagi,” sapa Revan singkat.

“Pagi,” jawab Mauryn datar. Ia tetap sibuk merapikan dagangannya, pura-pura tidak peduli.

“Tadi malam kamu pikirkan, bukan?”

“Apa?” Tanya Mauryn sambil menoleh

“Ucapanku kemarin. Tentang kamu membantuku.”

“Kamu terlalu percaya diri. Seakan-akan aku langsung tergoda dengan tawaran orang asing”

“Ya, mungkin aku terlalu berharap.” Revan menunduk lalu tertawa kecil.

Ada jeda hening. Suara riuh pasar terdengar jauh, tapi di antara mereka hanya ada keheningan yang menekan.

“Katakan yang sebenarnya. Kenapa kamu butuh aku?” Tanya Mauryn

“Karena aku sudah tidak bisa percaya siapa pun lagi.” Ucap Revam sambil menatap tajam

“Maksudmu?”

Revan menarik kursi kayu di dekat lapak, lalu duduk. Suaranya berat, penuh beban.

“Dulu, aku bekerja dengan tim. Orang-orang yang kuanggap keluarga kedua. Kami punya tujuan yang sama: membongkar kejahatan besar yang dilakukan orang-orang berkuasa. Aku percaya mereka sepenuhnya.”

Matanya menerawang jauh.

“Tapi satu demi satu, kami jatuh. Ada yang ditangkap, ada yang hilang, ada yang… mati. Semua karena ada pengkhianat di antara kami.”

Mauryn merasakan dada pria itu bergetar. Isi hatinya terdengar jelas.

“Aku masih bisa mendengar teriakan terakhir mereka. Aku yang seharusnya melindungi. Aku yang gagal.”

Mauryn terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi Revan melanjutkan, suaranya semakin tajam.

“Aku sudah tidak bisa membedakan siapa yang jujur, siapa yang hanya pura-pura setia. Semua wajah bisa tersenyum, semua kata bisa terdengar manis. Tapi pada akhirnya, pisau tetap menusuk dari belakang.”

“Kalau benar kamu bisa mendengar isi hati orang… maka kamu adalah satu-satunya harapanku.”

Mauryn menahan napas. Bagian dirinya ingin percaya, tapi bagian lain masih ragu.

“Dan kalau aku menolak?” tanyanya perlahan.

Revan tersenyum pahit.

“Aku tetap akan mencari jalan sendiri. Hanya saja, aku rasa… hidupku tidak akan lama.”

Kata-kata itu menusuk. Mauryn menunduk, menggenggam syalnya erat.

“Kamu tahu rasanya dianggap berbeda? Sejak kecil aku tidak pernah punya teman. Semua orang menjauh. Mereka bilang aku kutukan. Mereka takut padaku, seakan aku monster yang bisa membuka aib mereka kapan saja.”

Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar dingin.

“Aku pergi dari rumah supaya ibu tidak lagi menanggung malu. Aku memilih hidup sendiri, karena kalau aku dekat dengan orang lain, ujung-ujungnya mereka akan membenciku juga.”

Revan menatapnya lama. Tidak ada ejekan, tidak ada tatapan jijik. Hanya mata yang penuh rasa sakit, seakan ia memahami.

“Aku tidak takut padamu,” katanya pelan.

“Justru aku kagum. Kamu masih bisa bertahan sejauh ini, sendirian. Kalau aku di posisimu, mungkin aku sudah menyerah sejak lama.”

Mauryn mendongak, menatapnya dengan mata basah.

“Kau tidak mengerti. Mendengar suara hati orang bukanlah hadiah. Itu beban. Setiap kebohongan, setiap niat jahat, setiap kepalsuan semua masuk ke kepalaku tanpa bisa kucegah. Aku hidup dengan ribuan bisikan yang tidak pernah diam.”

Revan terdiam.

Mauryn melanjutkan dengan suara patah.

“Kadang aku berharap bisa tuli. Bukan pada dunia luar, tapi pada hati manusia. Karena itu lebih bising daripada suara apa pun.”

Keheningan jatuh lagi. Orang-orang lalu-lalang di pasar, tapi di antara mereka berdua, dunia seakan terhenti. Revan akhirnya berkata

“Kalau begitu, kenapa kamu mau berbicara denganku sekarang?”

Mauryn tertegun. Pertanyaan itu sederhana, tapi menghantam keras. Ia menggigit bibir, menahan sesuatu di dadanya.

“Karena suaramu berbeda,” jawabnya jujur.

“Berbeda bagaimana?” Tanya Revan setelah menoleh cepat

“Orang lain dipenuhi kebohongan kecil. Mereka berbohong pada orang lain, bahkan pada diri sendiri. Tapi kamu…”

Mauryn menarik napas.

“Kamu tidak menyembunyikan apa pun. Kamu hanya terluka. Dan entah kenapa, luka itu lebih jujur daripada seribu senyum.”

“Kalau begitu… percayalah padaku sekali ini saja. Aku butuhmu.” Mata Revan melembut

Mauryn menggeleng cepat.

“Aku takut. Kalau aku ikut denganmu, berarti aku akan kembali hidup dalam ketakutan. Aku tidak mau dikejar-kejar lagi. Aku baru saja menemukan sedikit ketenangan.”

Revan menunduk, mengusap wajah.

“Aku tidak bisa memaksa. Tapi aku janji satu hal, Mauryn. Kalau kamu memilih ikut denganku, aku akan melindungimu. Kamu tidak akan sendirian lagi.”

Kata-kata itu membuat Mauryn terpaku. Tidak ada orang pernah mengatakan itu padanya sebelumnya. Tidak sendirian lagi.

“Aku tidak tahu apakah aku bisa percaya padamu,” kata Mauryn akhirnya

“Semua orang bilang begitu. Semua orang berjanji. Tapi ujung-ujungnya, aku yang terluka.”

Revan menatapnya tajam, suaranya meninggi.

“Lalu mau sampai kapan kamu sembunyi? Sampai kapan kau hanya jadi pedagang kecil di pasar, berpura-pura puas, padahal hatimu menjerit ingin diterima?”

Mauryn terkejut, dadanya bergetar.

“Kamu tidak tahu apa-apa tentangku!”

“Aku tahu cukup,” balas Revan.

“Aku tahu kamu sendirian. Aku tahu kamu lapar akan kejujuran, sama seperti aku. Dan aku tahu… kalau kita tidak saling bantu sekarang, kita berdua akan hancur.”

Air mata mengalir di pipi Mauryn. Ia benci karena pria asing ini bisa menyentuh luka terdalamnya hanya dengan beberapa kalimat.

“Kamu gila,” bisiknya.

“Mungkin,” jawab Revan, suaranya melembut

“Tapi aku lebih memilih gila bersamamu daripada waras sendirian.”

Mauryn menutup wajah dengan tangan. Ia ingin berteriak, tapi yang keluar hanya isak tertahan.

Revan tidak mendekat, tidak mencoba menyentuh. Ia hanya duduk diam, membiarkan gadis itu menumpahkan air mata.

Setelah lama, Mauryn akhirnya mengusap matanya kasar.

“Aku tidak janji apa-apa. Aku butuh waktu. Kalau memang jalan kita sama, mungkin… mungkin aku akan ikut. Tapi jangan berharap terlalu banyak.”

Revan tersenyum tipis, kali ini tulus.

“Itu sudah cukup. Aku hanya butuh kamu pertimbangkan.”

Ia berdiri, menatap Mauryn sekali lagi.

“Besok aku datang lagi. Kalau kamu siap, katakan. Kalau tidak… aku akan tetap mencari jalan sendiri.”

Mauryn menunduk, hatinya campur aduk. Saat Revan pergi, ia mendengar suara hatinya yang terakhir kali bergema.

“Tolonglah aku… jangan biarkan aku sendiri lagi.”

Dan suara itu terus menempel di telinganya sepanjang malam, membuatnya sadar bahwa mungkin untuk pertama kalinya ada seseorang yang benar-benar membutuhkan dirinya.

Bersambung..

Jangan lupa like dan komen sebagai penyemangatnya yah 🥰

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!