Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 – Luka dan Harapan, Jalan Meditasi Naga Emas
Udara malam di kota Hongya masih bergetar dengan sisa-sisa pertempuran. Asap mengepul dari bangunan yang hangus, bau kayu terbakar bercampur dengan darah, dan langit tampak seolah baru saja disayat dua naga raksasa. Namun di tengah semua kekacauan itu, sorak-sorai warga masih bergema—suara penuh lega karena bencana terhindarkan.
Di tepi alun-alun yang porak-poranda, tubuh Xiao Feng bersandar di pangkuan Ling’er. Darah segar masih mengalir dari sudut bibirnya, wajahnya pucat, dan napasnya berat. Meski begitu, matanya tetap terbuka, menatap bintang-bintang yang menembus asap hitam.
“Xiao Feng… cukup. Jangan memaksakan tubuhmu lagi,” ucap Ling’er lirih, suaranya bergetar. Kedua tangannya yang halus menggenggam erat tangan Xiao Feng, seakan jika dilepaskan maka pemuda itu akan hilang.
Xiao Feng tersenyum lemah. “Aku… tidak bisa berhenti di sini, Ling’er. Pertempuran ini baru permulaan. Jika aku berhenti sekarang, semua pengorbanan sia-sia. Kota ini… kau… bahkan aku sendiri… tidak akan pernah aman.”
Air mata jatuh di pipi Ling’er. Ia tahu kata-kata itu benar, tapi hatinya tak sanggup melihat Xiao Feng terus berdarah.
Ketika warga mulai menenangkan diri, Xiao Feng meminta dibawa ke tempat sunyi. Dengan bantuan Ling’er, ia menuju sebuah aula yang masih berdiri meski retak di sana-sini. Begitu duduk bersila, ia menggenggam erat giok naga yang tergantung di lehernya.
Batu itu bergetar, lalu cahaya emas lembut memancar, menyelimuti tubuh Xiao Feng.
“Jangan khawatir,” katanya pada Ling’er dengan suara serak. “Aku akan bermeditasi… giok ini akan membimbingku.”
Ling’er mengangguk, meski hatinya tetap cemas. Ia duduk tak jauh dari sana, berjaga seolah siap melindunginya dari bahaya apa pun.
Begitu Xiao Feng menutup mata, kesadarannya tersedot ke dalam dunia lain—sebuah ruang jiwa berwarna emas, luas tanpa batas. Awan-awan bercahaya melayang, dan di tengahnya berdiri seekor naga emas raksasa, tubuhnya melingkar bagai gunung hidup, matanya menatap tajam penuh wibawa.
“Pewarisku,” suara naga itu bergema seperti guntur, “kau sudah menyalakan bara. Tapi bara saja tidak cukup untuk menantang langit. Kau harus menguasai api naga sejati.”
Xiao Feng menunduk hormat. “Guru naga… aku siap belajar, meski tubuhku hancur sekalipun.”
Naga emas mengamati, lalu mengeluarkan desisan rendah yang membuat udara bergetar. Dari sisiknya, kilatan cahaya meledak, membentuk gulungan cahaya berisi simbol-simbol kuno.
“Ini adalah jurus-jurus warisan naga emas. Jangan hanya meniru, pahami. Jurus adalah tubuh, tapi tekad adalah jiwa. Tanpa jiwa, jurus hanyalah bayangan kosong.”
Cahaya itu masuk ke dalam tubuh Xiao Feng. Seketika pikirannya dipenuhi gambaran:
Cakar Naga – serangan cepat yang memadatkan aura naga ke dalam lima jari, mampu merobek bahkan baja sekeras apa pun.
Loncatan Naga Langit – gerakan tubuh lincah, memungkinkan Xiao Feng melesat menembus udara bagai naga terbang.
Taring Naga Emas – jurus penghancur, berupa tebasan energi naga berbentuk taring raksasa.
Perisai Sisik Naga – teknik pertahanan, menciptakan lapisan sisik emas transparan yang melindungi tubuh dari serangan energi.
Xiao Feng membuka mata dalam ruang jiwa itu, tubuhnya bergetar hebat. Rasa sakit menjalar, seakan seluruh tubuhnya ditatah ulang. Tapi ia menggigit bibir, menahan teriakan.
“Kalau ini harga untuk menjadi kuat… aku akan menerimanya.”
Di dunia nyata, tubuh Xiao Feng berkeringat deras. Otot-ototnya kejang, darah merembes dari pori-pori, namun cahaya emas terus menyelubungi. Ling’er yang menyaksikan dari samping merasa hatinya hancur.
“Xiao Feng!” Ia hampir ingin menghentikannya, tapi aura kuat dari giok mendorongnya mundur. Ia hanya bisa menangis, menggenggam erat jari-jarinya sendiri.
Proses itu berlangsung sepanjang malam. Saat fajar merekah, tubuh Xiao Feng akhirnya tenang. Nafasnya stabil, luka-lukanya yang semalam begitu parah kini mengering, meninggalkan bekas samar.
Ia membuka mata perlahan. Cahaya emas berpendar sesaat dari matanya, lalu menghilang. Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Aku berhasil… Ling’er.”
Ling’er menutup mulutnya, air matanya jatuh, kali ini bukan karena takut, melainkan lega. Ia berlari memeluk Xiao Feng, tubuhnya gemetar. “Bodoh… kau membuatku takut setengah mati.”
Xiao Feng mengusap lembut rambutnya. “Maafkan aku. Tapi aku berjanji… mulai sekarang aku tidak hanya akan bertarung untukku sendiri. Aku bertarung untukmu, untuk nenek, untuk semua orang di kota ini.”
Berita penyembuhan Xiao Feng menyebar cepat di kota Hongya. Orang-orang yang tadinya ketakutan kini kembali bersemangat. Mereka berkumpul, membersihkan reruntuhan, dan banyak yang datang ke depan aula tempat Xiao Feng berlatih untuk memberikan persembahan sederhana—buah, makanan, bahkan bunga liar.
“Xiao Feng menyelamatkan kita.”
“Dia seperti naga yang melindungi kota ini.”
“Kalau dia berdiri, kita juga harus berdiri.”
Kata-kata itu membuat Xiao Feng terdiam lama ketika mendengarnya. Ia sadar, kini dirinya bukan lagi sekadar bocah desa yang diremehkan. Ia menjadi simbol harapan.
Namun di dalam hatinya, ia juga tahu beban itu berat. “Jika aku gagal… bukan hanya aku yang hancur, tapi semua orang yang percaya padaku.”
Sementara itu, jauh di markas Sekte Naga Merah, berita kekalahan Elder Huo Yan telah sampai. Di sebuah aula besar, duduk para tetua dengan wajah kelam. Pemimpin sekte, seorang pria bertubuh tinggi dengan jubah hitam bersulam naga merah, mengerutkan keningnya.
“Seorang bocah desa… berani mengalahkan elder kita. Ini penghinaan. Tidak bisa dibiarkan.”
Seorang tetua lain menambahkan dengan suara dingin, “Warisan naga emas… kalau benar dia memilikinya, maka dia adalah ancaman. Kita harus mengirim lebih banyak orang. Tidak, kita harus menghapus seluruh kota itu agar tidak meninggalkan jejak.”
Aura dingin menyelimuti ruangan. Petaka besar sedang bersiap datang ke Hongya.
Di sisi lain, Xiao Feng kembali duduk bersila malam itu, menatap bintang-bintang. Ling’er duduk di sampingnya, tenang setelah seharian membersihkan kota bersama warga.
Xiao Feng mengepalkan tinjunya. “Aku sudah menerima warisan naga emas, dan aku akan terus berlatih hingga benar-benar pantas menyebut diriku pewaris. Jika Sekte Naga Merah datang lagi, aku tidak akan lari. Aku akan berdiri, meski langit runtuh sekalipun.”
Ling’er menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Kalau begitu… aku akan berdiri di sisimu, entah sebagai penopang atau perisai. Jangan berpikir kau sendirian, Xiao Feng.”
Mata Xiao Feng melembut. Ia meraih tangan Ling’er, genggaman mereka hangat di bawah cahaya bulan.
“Baiklah. Kalau begitu.. "