Malam itu menjadi malam terburuk bagi Ranum. Sang kekasih tiba-tiba saja secara sepihak memutus jalinan asmara di saat ia tengah mengandung benih cintanya, diusir oleh sang ayah karena menanggung sebuah aib keluarga, dan juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Ranum memilih untuk pergi dari kota kelahirannya. Ia bertemu dengan salah seorang pemilik warung remang-remang yang mana menjadi awal ia membenamkan diri masuk ke dalam kubangan nista dengan menjadi seorang pramuria. Sampai pada suatu masa, Ranum berjumpa dengan lelaki sholeh yang siapa sangka lelaki itu jatuh hati kepadanya.
Pantaskah seorang pramuria mendapatkan cinta suci dari seorang lelaki sholeh yang begitu sempurna? Lantas, apakah Ranum akan menerima lelaki sholeh itu di saat ia menyadari bahwa dirinya menyimpan jejak dosa dan nista? Dan bagaimana jadinya jika lelaki di masa lalu Ranum tiba-tiba hadir kembali untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Jasmin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Mami Helena
Ranum mengerjapkan mata kala anak-anak sinar sang mentari mulai masuk melalui sela-sela jendela. Bola matanya memincing tatkala sinar mentari itu sedikit terasa menusuk kornea. Sembari mengedarkan pandangannya untuk memahami saat ini ia berada di mana. Namun semakin ia berupaya memahami maka yang tersisa hanya ketidaktahuan semata.
"Kamu sudah sadar?"
Gelombang suara seorang wanita memaksa Ranum untuk menoleh ke arah sumber suara. Nampak seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun mendekat ke arahnya sembari membawa sebuah nampan yang berisikan teh hangat.
"A-aku ada di mana?" tanya Ranum terbata. Kepalanya masih terasa begitu berat sehingga membuat wanita itu enggan untuk bersuara.
"Kamu ada di warungku. Tadi pagi kamu tertabrak mobil pickup pengangkut sayuran lalu dibawa kemari," jawab wanita itu yang namanya pun belum Ranum ketahui.
Warung? Warung apa maksud ibu ini? Warung tegal? Warung kelontong? Warung makan? Atau warung apa?
Ranum bertanya-tanya dalam hati sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sungguh yang ia tempati saat ini bukan seperti warung-warung kebanyakan.
"Warung remang-remang maksudku!"
Seperti seorang yang memiliki indera keenam, wanita itu langsung menimpali yang menjadi pertanyaan di hati Ranum. Hal itulah yang membuat Ranum sedikit tak enak hati.
"Warung remang-remang?" tanya Ranum dengan lirih.
Wanita itu mengangguk. "Ya, warung remang-remang. Di mana di tempat ini hanya ada rasa senang dan bisa melupakan segala kepahitan hidup."
Dahi Ranum semakin mengernyit sebagai isyarat tak paham apa yang dikatakan oleh wanita ini. Sedangkan wanita itu hanya tergelak pelan.
"Sudah, tidak usah kamu pikirkan. Lama kelamaan kamu pasti akan paham," ucap wanita itu dengan santai. "Untung janin yang ada di dalam perutmu baik-baik saja meski kamu sudah jatuh tersungkur di pinggir jalan."
Kedua bola mata Ranum terbelalak. "D-dari mana Anda bisa tahu kalau saya sedang hamil?"
Wanita itu terkekeh. Ia duduk di tepian ranjang untuk bisa lebih dekat dengan Ranum. Wanita itupun menatap lekat wajah Ranum yang masih terkulai lemah.
"Sudah menjadi rahasia umum, seorang perempuan yang mencoba bunuh diri itu biasanya sedang hamil dan ditinggal kekasihnya. Sopir pickup sempat cerita kalau kamu seperti sengaja menabrakkan diri karena si sopir sudah membunyikan klakson berkali-kali tapi tidak kamu pedulikan."
Ranum hanya terdiam mendengar cerita dari wanita pemilik warung remang-remang ini. Tidak ia sangka jika janin yang ia kandung ini benar-benar kuat bertahan. Sampai dirinya tertabrak pickup dan tersungkur di jalanan pun tetap tak gugur juga.
"Saya malah ingin janin ini gugur..."
"Berarti kamu pengecut," timpal pemilik warung. "Kamu sudah berani berbuat seharusnya kamu sudah siap dengan segala konsekuensinya."
"Tapi hidup saya sudah tidak ada artinya lagi. Bukankah lebih baik saya mati saja?"
Si pemilik warung remang-remang hanya tersenyum kecil. "Itulah mengapa Tuhan membawamu sampai ke sini. Agar kamu tahu bahwa kamu masih pantas untuk mendapatkan kebahagiaan."
"Kebahagiaan? Maksud Anda?" tanya Ranum tidak begitu mengerti.
"Kerja ikut aku, pasti kamu akan merasakan kebahagiaan itu. Dapat uang dengan mudah dan tiada hari tanpa bersenang-senang."
Ranum semakin dibuat bertanya-tanya oleh ucapan wanita ini. Dari raut wajahnya pun nampak kebingungan yang begitu pekat.
"Sudahlah, pelan-pelan kamu pasti akan tahu." Wanita itu beranjak dari posisi duduknya. Ia mengulurkan tangan ke arah Ranum. "Namaku Helena. Orang-orang biasa memanggilku mami Helena!"
Ranum menyambut uluran tangan wanita yang ternyata bernama Helena itu. "Saya Ranum, Mi!"
Helena tersenyum simpul. "Oke Ranum, istirahatlah. Semoga kamu mau menerima tawaran ku untuk kerja denganku."
Helena mengakhiri obrolannya bersama Ranum. Wanita itu mulai melangkah pelan dan keluar dari dalam ruangan di mana Ranum terbaring. Perlahan, tubuh Helena menghilang dari pandangan Ranum di balik pintu.
***
Dengan tertatih, Ranum mencoba untuk keluar dari ruangan di mana ia terbaring. Merasa tak enak hati karena seharian ia hanya berada di dalam ruangan itu, akhirnya ia memilih untuk keluar dari sana.
Matahari perlahan merangkak turun, membenamkan wajahnya di ufuk barat. Hari yang beranjak petang justru terlihat lebih ramai daripada siang hari. Ranum celingak-celinguk mengamati keadaan sekitar. Ia menuruni anak tangga dan mencoba melihat ada apa di lantai bawah.
Dentuman suara music dari sebuah speaker aktif terdengar memekak telinga. Kelap-kelip lampu disko juga terlihat memantul ke segala arah. Terlihat beberapa orang wanita dengan pakaian serba minim dan riasan tebal tengah menuangkan sesuatu dari sebuah botol ke dalam gelas untuk beberapa orang pria yang juga berada di sana.
"Kamu anak baru Mami Helen?"
Ucapan seseorang dari balik punggung dan sebuah tepukan pundak membuat tubuh Ranum terperanjat. Ia berbalik badan, nampak seorang wanita berusia sepantaran dengannya mencoba untuk mengajaknya bicara.
Ranum menggeleng pelan. "Bukan. Aku bukan anak baru mami."
Dahi wanita itu mengernyit. "Lantas kamu siapa?"
"Aku hanya seseorang yang ditolong oleh mami Helena. Tadi pagi, aku tertabrak mobil pickup dan tiba-tiba saja aku dibawa ke sini."
Wanita itu mengulas senyum sembari mengulurkan tangan. "Namaku Asri."
Ranum menyambut uluran tangan tanda perkenalan dari wanita yang bernama Asri ini. "Aku Ranum."
"Ranum, nama yang bagus. Cocok dengan wajahmu yang juga cantik khas orang desa. Aku yakin jika kamu ikut mami Helen, kamu pasti akan menjadi primadona."
Asri memuji nama dan kecantikan paras Ranum. Ia seakan begitu yakin jika Ranum bekerja di sini pastinya akan jadi primadona dengan banyak pelanggan.
Ranum hanya tersenyum simpul. "Kamu sudah lama bekerja di sini?"
"Sekitar satu tahun aku ada di sini," jawab Asri singkat.
"Memang kalau di sini apa yang kamu kerjakan As?"
"Ya seperti yang kamu lihat, menemani minum para tamu, menemani karaoke dan jika kamu ingin penghasilan lebih, kamu bisa menemani mereka tidur."
Ranum terhenyak. "T-tidur?"
"Alah, kamu tidak perlu kaget seperti itu Num. Di zaman yang serba sulit seperti ini itu semua adalah hal biasa dan lumrah," jelas Asri dengan gelak tawa kecil. "Lagipula apa yang bisa dikerjakan oleh orang-orang yang sudah tidak memiliki kehormatan?" sambungnya pula.
"Kehormatan? Maksudmu?"
Asri memandang ke sembarang arah dengan tatapan menerawang. Otak wanita itu sepertinya sedang berkelana ke sebuah memori masa lampau.
"Kehormatanku direnggut paksa oleh adik dari ibuku di tiga tahun yang lalu. Setelah kejadian itu keadaanku seperti orang gila dan lambat laun aku bisa pulih. Hingga pada akhirnya aku memilih untuk bekerja seperti ini."
Setetes bulir bening lolos dari pelupuk mata Asri. Lembaran kenangan yang begitu pahit dan sekarang coba ia buka kembali. Ada rasa sesak di dada namun buru-buru Asri hempaskan.
Ternyata kisah hidup Asri hampir sama denganku. Bedanya, kehormatannya direnggut paksa oleh laki-laki biadab sedangkan aku dengan sadar menyerahkan kehormatanku untuk lelaki buaya itu.
Ranum terlihat larut dalam pikirannya sendiri. Sampai pada akhirnya kedatangan seorang wanita paruh baya mengusik perkenalan Ranum dan Asri.
"Sekarang kamu sudah lihat bagaimana pekerjaan di warung remang-remang ini kan? Bagaimana? Apa kamu tertarik untuk menjadi anakku?" tembak Helena yang semakin membuat Ranum kebingungan.
.
.
.