Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Acara pertunangan akhirnya selesai, namun sorak sorai dan tepuk tangan yang menggema di ballroom mewah itu sama sekali tidak meninggalkan kesan hangat di hati Reihan. Begitu prosesi berakhir, ia melangkah cepat menuju kamarnya, seolah ingin secepat mungkin menjauh dari keramaian yang terasa begitu menyesakkan. Jas hitam yang melekat di tubuhnya terasa berat, seakan menekan dadanya hingga sulit bernapas.
Sesampainya di kamar, pintu ia tutup dengan kasar. Napasnya memburu, langkahnya gontai. Jas hitam ia lempar begitu saja ke kursi tanpa peduli, lalu segera meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Saat layar menyala, jari-jarinya terhenti.
Puluhan panggilan tak terjawab dari Alya memenuhi layar.
Sejenak darahnya serasa berhenti mengalir. Wajah pucat Alya pagi tadi langsung terbayang jelas di benaknya, begitu juga ketika ia berpesan agar alya segera memberi kabar jika terjadi sesuatu. Namun kini, justru Alya yang mencoba menghubungi, sementara ia sama sekali tidak menjawabnya.
“Ya Tuhan… Alya…” bisiknya lirih, rasa bersalah kembali menyayat dadanya.
Dengan panik, Reihan menekan nomor Alya. Nada sambung terdengar berulang kali, membuat jantungnya berdegup semakin keras. Namun tak ada jawaban. Tangan Reihan semakin gemetar, hingga akhirnya ia segera menghubungi Bayu, pelayan pribadinya.
“Halo, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” suara Bayu terdengar dari seberang telepon.
“Bayu, segera ke sekolah Alya! Aku ingin tahu keadaannya sekarang juga,” suara Reihan bergetar, tegas namun penuh kegelisahan.
Ada jeda singkat sebelum Bayu menjawab. “Tuan, Nona Alya sudah pulang sejak tadi. Tapi… sepertinya kondisi beliau sedang tidak sehat.”
Reihan membeku. Rahangnya menegang, jemarinya mengepal di sisi tubuh. “Sudah pulang?” tanyanya berat.
“Iya, Tuan. Dan… tadi Nona Alya diantar oleh seorang pria, sepertinya teman sekolahnya.”
Tatapan Reihan mengeras, rahangnya terkatup rapat. Ada sesuatu yang menusuk perasaannya mendengar kabar itu, namun ia menahan diri. Saat ini, yang terpenting hanyalah keadaan Alya.
“Aku akan segera pulang,” ucapnya singkat sebelum menutup panggilan.
Tanpa membuang waktu, ia melangkah cepat meninggalkan kamar. Suara langkah sepatunya beradu dengan lantai marmer koridor hotel, terdengar nyaring, seirama dengan detak jantungnya yang kacau. Sesampainya di parkiran, ia langsung masuk ke dalam mobil. Mesin meraung, dan tanpa ragu ia memacu kendaraan, menembus keramaian kota sore itu dengan kecepatan tinggi.
Mobil mewah itu akhirnya berhenti di halaman rumah megah yang ia tinggali bersama alya. Reihan turun dengan tergesa, langkahnya panjang-panjang menembus pintu utama. Bayangan tentang Alya yang mungkin terbaring lemah membuat hatinya semakin tak tenang.
Begitu membuka pintu kamar, ia terdiam. Pandangannya jatuh pada Alya yang terbaring di atas ranjang. Seragam sekolahnya masih melekat, kusut dan lembap karena keringat dingin yang membasahi tubuhnya. Rambutnya menempel di kening, wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, dan napasnya pun terdengar berat.
Hati Reihan seolah diremas. Ia melangkah perlahan, duduk di tepi ranjang, lalu mengulurkan tangan menyentuh dahi Alya. Panas. Sangat panas.
“Alya…” suara Reihan bergetar, merasa sangat cemas.
Tanpa berpikir panjang, ia bangkit membuka lemari. Diambilnya baju tidur bersih dan handuk kecil, lalu kembali ke sisi ranjang. Dengan hati-hati, ia mulai melepaskan seragam sekolah Alya. Gerakannya sangat pelan, seolah takut menyakiti. Ia mengelap keringat dingin di tubuh mungil itu dengan handuk, kemudian memakaikan baju tidur lembut yang nyaman.
Sesekali ia berhenti, menatap wajah Alya yang tertidur lemah. Sesak menyeruak di dadanya, seakan melihat belahan jiwanya sedang berjuang melawan sakit yang menggerogoti tubuhnya.
Setelah selesai, Reihan membaringkannya dengan rapi, merapikan selimut hingga menutupi tubuh mungil itu. Ia lalu membasahi handuk kecil dengan air dingin, memerasnya perlahan, dan menempelkan di dahi Alya.
“Cepat sembuh, sayang…” ucapnya lirih, seperti sedang berdoa.
Alya menggeliat kecil. Kelopak matanya terbuka samar, menatap kabur sosok Reihan yang duduk di sampingnya, tangannya sigap mengganti kompres.
“Bapak… sudah pulang?” bisiknya lemah.
Reihan tersenyum tipis. “Iya, aku sudah di sini. Istirahatlah … aku akan menjagamu.”
Reihan masih duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Alya yang terasa sangat dingin. Ia mengusap pelan jemari itu, mencoba untuk memberikan kehangatan. Pandangannya terus tertuju pada wajah pucat istrinya, wajah yang selalu ia cintai sepenuh hati.
Namun malam itu, rasa cinta itu bercampur dengan sesuatu yang menyesakkan. Sesal, rasa bersalah, juga luka yang ia buat sendiri.
Ia menundukkan kepalanya, keningnya menyentuh punggung tangan Alya.
“Maafkan aku, Alya…” bisiknya lirih.
Selama ini ia selalu berkata bahwa cintanya untuk Alya lebih dari segalanya. Itu bukan kebohongan, perasaan itu nyata, tulus, dan tidak pernah berkurang. Tapi di balik kata-katanya, ada kenyataan pahit yang Alya tidak tahu.
Hari ini, ia baru saja berdiri di hadapan banyak orang, bertunangan dengan wanita lain. Semua karena tekanan orang tuanya. Ia kalah. Ia memilih tunduk pada keinginan mereka, meski hatinya menolak sekuat tenaga.
“Aku begitu lemah…” gumamnya, suara bergetar.
Matanya kembali menatap Alya, yang terbaring rapuh di hadapannya. Dadanya terasa perih. Bagaimana bisa ia mengatakan cinta, sementara ia sendiri sudah mengkhianati cinta itu?
“Andai kau tahu… betapa aku mencintaimu, Alya.” Air matanya jatuh tanpa ia cegah.
“Tapi aku justru orang pertama yang paling menyakitimu.”
Ia menggenggam tangan Alya lebih erat, merasakan tubuh mungil itu bergetar karena demam. Rasa bersalahnya makin dalam.
Reihan tahu, jika suatu saat Alya mengetahui kebenaran, mungkin ia akan membencinya. Namun malam itu, yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa agar diberi kesempatan untuk tetap di sisi Alya. Meski cintanya sudah ternoda oleh kebohongan yang ia buat sendiri.
Di dalam kamar yang sunyi, hanya terdengar detak jam dan napas berat Alya. Reihan tetap duduk di sana, mengganti kompres di dahinya dengan sabar, seakan lewat perhatian kecil itu ia bisa menebus sedikit dari kesalahan yang tak terampuni.