Padmini, mahasiswi kedokteran – dipaksa menikah oleh sang Bibi, di hadapan raga tak bernyawa kedua orang tuanya, dengan dalih amanah terakhir sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.
Banyak kejanggalan yang hinggap dihati Padmini, tapi demi menghargai orang tuanya, ia setuju menikah dengan pria berprofesi sebagai Mantri di puskesmas. Dia pun terpaksa melepaskan cintanya pergi begitu saja.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Benarkah orang tua Padmini memberikan amanah demikian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18 : Teror mulai berdatangan
Uhuk!
Uhuk!
“Kau kenapa, Nak?!” seorang ibu menjerit saat putrinya masih berumur 16 tahun menggeliat, tubuhnya berguling-guling di lantai papan seraya mencekik lehernya sendiri.
“Kang! Tolong anak kita Kang!” pekiknya memanggil sang suami masih terlelap tidak terganggu oleh rintihan dan suara batuk.
Pria yang rambutnya acak-acakan, mata sayu itu terjengkang ketika turun dari dipan dan langsung berlari, tidak memperhatikan langkah kakinya.
“Apa yang terjadi pada putri kita, Buk?!” tuntutnya, dia berjongkok mencoba menarik tangan gadis berambut sebahu yang mencekik lehernya sendiri.
“Tak tahu, tadi aku mendengar suara seperti dinding rumah dipukul-pukul pas kuperiksa ternyata putri kita menendang papan.” Ia menggenggam betis sang putri yang giginya bergemeretak, mata mendelik kehilangan warna hitam tergantikan oleh pupil putih.
“Cari bantuan sana, Pak!” titahnya panik.
Sang suami pun membuka pintu, baru saja terbuka separuh dirinya langsung terpental satu meter.
“Ada_ ada hantu!” Bokongnya mundur kebelakang, matanya menatap ngeri ke arah luar, tubuhnya langsung seperti orang menggigil.
“Hantu apa? Jangan menakuti ku, Bang!” Diapun penasaran dan meninggalkan putrinya.
Begitu sampai di batas ruang tamu, tubuhnya kaku, mata mendelik dan bulu kuduknya meremang. Bibirnya bergetar tak mampu mengurai kata.
Di batas tangga teras – sosok menyeramkan jelmaan Ular Weling tengah menakuti rumah paling ujung kampung Hulu.
Wening, wanita yang dulu mati mengenaskan, penuh dendam, kini sosoknya menjadi Kuntilanak biru – kemunculannya dapat membuat manusia lemas dan tidak sadarkan diri. Terlebih bila siapa yang dikehendakinya menatap bola mata semerah darah.
Wening memainkan pintu rumah terbuat dari papan. Dihempaskan, dibanting hingga engselnya terlepas. Seringainya terlihat bengis – satu ekor Laba-laba punggung merah keluar dari mulut berbau busuk dan berbibir hitam.
Hi hi hi ….
Tawa khas menggetarkan setiap bulu roma, mampu memberi efek terkejut berhasil membuat wanita yang berdiri kaku pingsan seketika.
Kemudian Wening terbang melayang masuk ke dalam rumah. Jubah kusam penuh noda merah kehitaman dikibaskan!
Suara benda terjatuh saling tumpang tindih dengan teriakan pria terduduk tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya.
Akhh! Huwwa!
Lengkingan gadis remaja memenuhi ruangan, memecah malam sepi menjadi mencekam. Tubuhnya terangkat dengan punggung melengkung.
“Tolong jangan sakiti putriku!” pintanya memohon.
Kepala Wening berputar layaknya burung Hantu, tubuh masih menghadap kamar berpintu terbuka, sementara kepalanya menoleh ke pria terkencing-kencing di celana.
Huarr!
Gelegar mengerikan itu diiringi jatuhnya dua ekor Laba-laba beracun.
“Tidak! Jangan!” Bibirnya bergetar dan mata gentar. Kemudian dia pingsan.
Bugh!
Tubuh sang gadis dijatuhkan ke papan keras, lalu Wening melayang menembus dinding.
Kuntilanak biru masih terus menebar teror sampai keberadaannya dilihat para pemuda yang sedang ronda di pos jaga.
“Han_tu! Ada kuntilanak!”
Keempat pemuda lari tunggang-langgang. Nyala obor dan senter meliuk-liuk mengikuti ayunan kaki terburu-buru. Salah satu dari mereka tersungkur kala kakinya menginjak kain sarung yang dikenakannya.
Hi hi hi ….
Wening terbang rendah, mata bulat merah pekat seolah menyala dikegelapan. Jubahnya menyapu tanah, bergerak teratur mendekati sang mangsa.
“Tolong! Tolong!” Wajahnya pucat pasi, ia mengesot mundur, tidak menyadari kalau sedikit demi sedikit mendatangi marabahaya.
Bunyi napas memburu itu bagaikan melodi dipendengaran sang hantu.
“Per_gi! Jangan mendekat!” Tangannya tergelincir dan tubuhnya terguling-guling masuk kedalam parit.
Argh!
Tawa Wening disambut lengkingan suara burung Gagak.
Rukmi melepaskan lebih dari seratus ekor burung pembawa berita kematian itu.
Padmini terus menambah kemenyan ke dalam tungku pembakaran. Keringat sebesar biji jagung memenuhi wajahnya.
‘Mati kalian mati! Ini baru awal menuju neraka dunia yang sesungguhnya!’
***
Tung tung tung!
Bunyi kentongan seperti suara orang berteriak memecah malam semakin larut.
Hampir semua warga keluar dari rumah mereka. Para ibu muda menggendong bayi sembari menangis dikarenakan ketakutan.
Lengkingan bayi, anak kecil menambah kesan menyeramkan!
Burung gagak terus berbunyi dan terbang rendah diatas atap rumah penduduk kampung Hulu.
“Nak! Kau dimana? Jangan buat kami takut!” seseorang histeris saat anaknya masih berumur dua tahun tidak ada di dalam kamar.
Jalanan kampung Hulu terlihat bercahaya kuning kemerahan. Nyala obor dan senter diarahkan ke segala arah mencari si anak yang hilang.
“Itu anakmu digondol Wewe Gombel!”
Para warga pun langsung menoleh, benar saja – sosok seperti Kera, rambut mengembang dan buah dada panjangnya mencapai pinggang, mendekap anak laki-laki yang menangis histeris.
“Tolong anakku! Dia putraku semata wayangku!” si ibu histeris, berlari bersama lainnya mengejar makhluk halus memasuki pohon bambu rimbun.
Kala berada di tengah-tengah semak tumbuhan rimbun itu, suara tangis tidak lagi terdengar.
Para warga menjadi waspada, saling melirik, dan lebih kuat lagi menggenggam bambu obor serta senter.
Tiba-tiba dari sela-sela pohon bambu betung – hantu berkafan, diikat tali pocong melompat keluar.
Teriakan ketakutan menggelegar, lebih dari belasan orang lari mencari tempat lebih aman, melupakan sosok kecil yang tengah disusui Wewe Gombel.
Kondisi kampung Hulu benar-benar mencekam, jeritan ketakutan, tangisan pilu membahana.
Kwak! Kwak! Kwak!
“Bang, bangun Bang!” Sundari mengguncang lengan suaminya. “Burung gagak terus berbunyi, apa ada bahaya ya, Bang?”
Bambang menggeliat, dia kelelahan setelah bercinta. Matanya terbuka dan telinganya mendengar suara teriakan saling bersahutan-sahutan.
Cepat-cepat pasangan itu mengenakan pakaian tanpa dalaman. Kemudian keluar dari dalam kamar milik Padmini.
Sumi dan juga Wandi pun keluar dari kamar utama.
“Jangan keluar! Kalau ada bahaya, biarkan saja warga yang menghadapi! Semisal ada yang mati, tinggal kita santuni!” ujar Sumi dengan penampilan menyerupai Menur, adik sepupunya.
Tiba-tiba mereka mendengar derap kaki mendekati pintu depan.
Tok!
Tok!
“Bik, aku pulang! Buka pintunya Bik!”
“Padmini …?”
.
.
Bersambung.
mana di kamar pengantin juga ada🤣🤣