NovelToon NovelToon
Sistem Game Uang Gratis

Sistem Game Uang Gratis

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sistem / Kebangkitan pecundang / Harem / Anak Lelaki/Pria Miskin / Dikelilingi wanita cantik
Popularitas:9k
Nilai: 5
Nama Author: Quesi_Nue

Alvan hanyalah seorang anak petani yang baru lulus kuliah.

Hidup sederhana di desa, membantu orang tuanya di sawah sambil mencari arah hidup yang belum pasti.

Satu kalimat dari gurunya dulu selalu terngiang:

“Nak, ibu sarankan kamu lanjut kuliah"

Namun dunia Alvan berubah bukan karena gelar tinggi, melainkan karena satu tindakan kecil, menolong seorang anak yang terjatuh di sawah.

Ding!

[Sistem berhasil terikat]

Sejak hari itu, kehidupannya tak lagi sama.
Setiap kebaikan kecil memberinya “misi,” setiap tindakan membawa “hadiah”
dan setiap bibit yang ia tanam… bisa muncul nyata di hadapannya.

Namun, seiring waktu berjalan, Alvan menyadari sesuatu, bahwa selain hal-hal baik yang ia dapatkan, hal-hal buruk pun perlahan mulai menghampiri dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 - 2 Dokumen

Vandi menoleh cepat dan mendapati anaknya

dengan tenang mendorong daun pintu,

Vandi terpaku.

“Haah?! Kok… bisa kamu buka?” Ucapnya dengan heran.

“Eh itu… Sepertinya karena gak di kunci, Yah. Tadi cuma iseng dorong aja, eh nyatanya nggak dikunci deh,” ucap Alvan sedikit panik, mencoba menutupi kebenaran ia tahu nomor kunci apartemen.

Ayahnya hanya mengangguk pelan namun sedikit heran.

Mereka melangkah pelan dengan sepatu di lepaskan di depan kamar apartemen.

Begitu pintu terbuka lebih lebar, tampak dua sosok yang familiar berdiri di ruang tamu Pak Zai dan Bu Diana, orang tua Nadia.

“Wah, wah… sudah sampai juga rupanya, Vandi,” sapa Pak Zai sambil tersenyum dan menjabat tangan Vandi dengan hangat.

Namun di tengah sambutan ramah itu, alisnya sedikit terangkat.

“Tapi… Vandi, bagaimana kau bisa tahu kunci ruangan apartemenku?”

Vandi yang masih kaget hanya bisa diam. Perlahan ia menoleh ke arah Alvan yang baru saja masuk dari belakang.

Alvan cepat menanggapinya, pura-pura bingung sambil menggaruk kepala.

“Eh… saya juga nggak tahu, Pak. Mungkin Nadia lupa ngunci pintu depan, hehe…” katanya berusaha santai meski jantungnya berdetak kencang.

Pak Zai atau lengkapnya Wanca Zai menatap Alvan tajam sesaat, lalu menjabat tangannya dan sedikit mencondongkan kepala ke bahu Alvan.

Saat itu, ia sempat berbisik pelan namun tegas,

“Jangan coba-coba melakukan hal aneh di apartemen Nadia, paham?” Disertai dengan

Alvan sedikit kaget, tapi justru malah bingung dengan arah pikirannya.

Dalam hati ia bergumam,

“Lho, kan harus nikah dulu baru boleh. Emang orang kota nggak tahu, ya? Heran banget..”

Namun bibirnya hanya menampilkan senyum tipis sambil mengangguk pelan, berusaha sopan di depan Pak Zai.

Pak Zai berbalik arah dan mempersilakan,

“Duduk dulu kalian berdua. Mau minum apa? Kopi atau teh?”

Vandi langsung nyeletuk, “Bir ada nggak, bir?” dengan senyum jahil yang langsung membuat Diana melirik tajam.

“Apa-apaan bir?!” ucap Diana, suaranya setengah marah tapi jelas bercanda dengan Zai.

Pak Zai menahan tawa.

“Tenang dulu, Bun. Si Vandi cuma bercanda, kok.”

Vandi tertawa kecil.

“Iya iya, aku gak akan bilang-bilang soal kita dulu pas masih nakal di SMA, ya,” kata Vandi sambil menyengir, setengah menahan tawa, setengah melempar kode nakal.

Zai spontan ikut terkekeh, geleng-geleng kepala.

“Haha, udahlah, Van. Itu masa lalu. Nanti dikira kita masih suka nongkrong malam-malam lagi."

Vandi mengangguk, sambil sedikit tertawa.

“Iya iya, kita bahas tanah aja, bagaimana, jadi gak tuh, Wan?”

“Tanah ya… Aku kasih aja deh ke kalian. Ga berguna juga buat aku. Ga usah bayar, sekalian itung-itung utang budi aku sama anakmu,” ucap Zai santai sambil tersenyum tipis.

“Hah? Utang budi…?” sahut Vandi, matanya menyorot Alvan dengan campuran penasaran dan heran.

“Coba jelasin, Van. Jangan bohong - bohong sama Bapak. Aku udah curiga kamu bisa tahu apartemen ini dengan cepat, apalagi soal kunci pintu depan kamu bisa buka!” ujar Vandi, nada serius tapi tetap hangat.

Alvan menghela napas panjang, menunduk sebentar, lalu menjawab dengan jujur namun masih menahan sebagian informasi.

“Iya, iya… aku memang kenal dengan kawan Bapak, Pak Zai ini. Aku… menyelamatkan anaknya, Nadia, dari tragedi jatuhnya pipa atau apalah itu yang besar dari lokasi konstruksi,”

ucap Alvan, sengaja tak menyebut soal sistem apa pun yang ada saat ini..

Vandi menatap anaknya sebentar, mata berkilat bangga, tapi juga campur penasaran.

Setelah beberapa saat Vandi menoleh cepat ke wanca.

“Beneran ini, Wan?” ucap Vandi dengan rasa penasaran

Zai baru ingin menjawab tapi langsung di potong oleh istrinya, Diana.

“Iya benar. Kami benar-benar berterima kasih karena sudah menyelamatkan anak tertua kami, Nadia. Kalau tidak…” ucap Diana, matanya berbinar sedikit khawatir mengingat kejadian itu.

“Hush… jangan bilang begitu, Bun. Yang penting anak kita sudah selamat,” sela Zai cepat, menepuk pelan tangan istrinya sebagai tanda menenangkan.

“Jadi begitu, Vandi. Anakmu sudah berjasa banget dengan keluarga kami.

Malah tanah itu jauh dari cukup untuk menutupi utang budi saya dengan keluarga kalian,” ucap Zai sambil tersenyum hangat.

“Apa kalian mau apartemen atau rumah gitu?” tambahnya cepat, seakan ingin menanyakan opsi lain.

“Eh, jangan-jangan… tanah saja sudah cukup, apalagi apartemen segala.

Menolong orang itu sudah kewajiban, jadi nggak ada namanya utang budi,” ucap Zai sambil menyikut anaknya pelan, seolah memberi isyarat agar Alvan menguatkan perkataannya.

“Iya iya, nggak ada namanya utang budi. Menolong itu memang kewajiban,” sahut Alvan refleks, cepat mengangguk untuk menegaskan hal yang sama.

Diana dan Zai menoleh pelan ke arah satu sama lain dan saling mengangguk, seakan memastikan semuanya berjalan lancar.

Beberapa saat kemudian, Diana mengambil dua dokumen dari laci meja, lalu menyerahkannya kepada Zai.

“Vandi, silakan dibaca dan tanda tangani untuk perpindahan asetnya,” ucap Diana dengan nada tegas namun hangat.

Vandi dan Alvan masing-masing mengambil satu dokumen. Alvan mengambil dokumen yang berada di sebelah kiri, membuka dan membaca dengan seksama.

“Surat ini menyatakan akan menyerahkan sebidang tanah berukuran 1 hektar dari pihak pertama:

Nama: Wanca Zai

Tempat, tanggal lahir: xxxx

Alamat: xxx

No. HP: xxx

Kepada pihak kedua yang akan menerima pengalihan kepemilikannya:

Nama :

Tempat, tanggal lahir :

Alamat :

No. HP :

Alvan terdiam sejenak, matanya membesar saat menyadari ukuran tanah itu.

“Satu hektar…!?” gumamnya, setengah tak percaya.

Alvan yang kaget tidak menyadari ayahnya juga kaget nya bukan main,

Isi dokumen itu :

"Surat ini menyatakan akan menyerahkan sebuah rumah type 60 lengkap dengan perabotan beserta tanahnya dari pihak pertama :

Nama: Wanca Zai

Tempat, tanggal lahir: xxx

Alamat: xxx

No. HP: xxxx

Kepada pihak kedua yang akan menerima pengalihan kepemilikannya.

Nama:

Tempat, tanggal lahir:

Alamat:

No. HP:

Kolom pihak kedua masih kosong.

Vandi spontan bersuara, agak keras karena shock.

“Wan… apaan segala ini rumah? Gak usahlah, jangan begini.”

Ia cepat-cepat menaruh dokumen itu kembali ke meja, bahkan mendorongnya perlahan ke arah Zai seperti mengembalikan barang panas.

Zai tanpa banyak kata langsung mendorong lagi dokumen itu ke arah Vandi.

Gerakannya pelan tapi tegas.

“Udah, terima aja, Van. Itu ungkapan kami. Kalau bukan karena anakmu… ya sudahlah, pokoknya terima.”

Vandi membuka mulut untuk menolak lagi.

Namun Zai dengan tatapan please "jangan bikin aku ribet lagi" menggeleng pelan sambil sedikit mengangkat tangan.

Isyarat jelas, berhenti menolak.

Diana yang duduk di sebelahnya ikut tersenyum kecil, seakan mengatakan sudah, ini keputusan keluarga.

Akhirnya Vandi menarik napas panjang dan mengangguk pasrah.

“…ya sudah kalau kalian maksa begitu, wan. Tapi ini bener-bener bikin aku gak enak.”

Ia pun mengambil pulpen dan mulai menulis identitasnya pada kolom penerima.

Alvan, yang dari tadi ikut terpaku, menoleh ke ayahnya.

Melihat ayahnya menuliskan nama, ia ikut mengambil lembarannya sendiri.

Tangannya masih sedikit gemetar, tapi ia tetap mengisi dokumen itu satu per satu.

[Ding!]

Bunyi Familiar terdengar dari telinga Alvan.

1
Andira Rahmawati
lanjut..thor
black
jan lama lama update-nya thor
GHEAN RAKHENZA
up min nanggung
black
thor nanggung banget yaampun
Syahrian
👍😍
black
lanjutkan thor, jangan berhenti di tengah jalan, ceritanya menarik,
ALAN: iya bener tuh Thor 👍
total 2 replies
ALAN
lanjut Thor 💪😍
ALAN
hadir Thor 😍👍
Aryanti endah
ET buset, Mak bapak adek JD transparan 🤣🤣🤣🤣
ALAN: iya, alvan tak ada malu - malu nya dengan mertua 🤣
total 1 replies
Syahrian
👍💪😍
ALAN
Bagus, lumayan
Apryandy Marta: bagus ceritanya
total 1 replies
ALAN
lanjut Thor
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Lala Kusumah
lanjuuuuuuuuut, semangat sehat ya 💪💪
Lala Kusumah
sepertinya bakal seru nih, lanjutkan 👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!