Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33•
...Buku Harian Mayat Korban Bullying...
Senja itu, langit di atas Kota Pekanbaru membias merah keunguan, seolah menumpahkan duka yang tak terucap. Aku, Arya, seorang mahasiswa semester akhir yang kebetulan magang di kantor berita lokal, baru saja menerima sebuah tugas yang tidak biasa dari atasanku. "Arya, ada kasus penemuan mayat di bekas gedung sekolah dasar Angkasa, yang sudah puluhan tahun terbengkalai. Gadis muda, sebut saja namanya Melati. Sepertinya korban pembunuhan, tapi polisi belum menemukan motif atau pelakunya. Kita butuh liputan mendalam. Cari tahu lebih banyak tentang dia. Mungkin ada sesuatu yang terlewatkan," perintah Pak Rahmat, redaktur senior kami, dengan tatapan serius.
Gedung sekolah itu adalah bangunan angker yang sudah lama jadi buah bibir di kalangan warga. Konon, banyak kejadian misterius di sana. Namun, rasa penasaran jurnalisku mengalahkan ketakutanku. Aku bergegas menuju lokasi, membawa kamera dan alat perekam. Area itu sudah dipasangi garis polisi, dan kerumunan warga tampak berbisik-bisik. Polisi sedang mengamankan TKP, dan aku melihat beberapa detektif senior, termasuk Detektif Suryo yang terkenal garang namun cerdik, sedang mengamati dengan saksama.
"Selamat sore, Detektif. Arya dari Suara Pekanbaru," sapaku hati-hati.
Detektif Suryo menoleh, menatapku tajam. "Oh, kau rupanya. Cari sensasi lagi, ya?"
"Tidak, Detektif. Saya hanya mencoba mencari kebenaran. Apa ada petunjuk baru?" tanyaku, mencoba terdengar profesional.
"Belum ada yang signifikan. Gadis itu meninggal karena benda tumpul di kepala. Tidak ada barang berharga yang hilang, jadi bukan perampokan. Kami juga tidak menemukan tanda-tanda kekerasan seksual," jelasnya singkat, kembali fokus pada tim forensik.
Aku mengamati sekeliling. Bangunan tua itu diselimuti lumut, jendelanya pecah-pecah, dan udara di dalamnya terasa berat. Di salah satu sudut reruntuhan, aku melihat sebuah tas punggung usang tergeletak. Polisi sepertinya belum menyadarinya. Dengan hati-hati, aku mendekat, berpura-pura mengambil gambar dari sudut lain. Tas itu terlihat seperti tas sekolah, kusam dan sedikit sobek. Rasa penasaran mendorongku untuk melihat isinya. Aku melirik Detektif Suryo yang sibuk memberi instruksi, lalu dengan cepat meraih tas itu.
Di dalamnya, selain beberapa buku pelajaran yang basah dan berjamur, ada sebuah buku bersampul kain lusuh. Sebuah buku harian. Di bagian depannya tertulis nama "Melati" dengan tulisan tangan yang rapi. Jantungku berdebar. Ini bisa jadi petunjuk penting. Aku segera memasukkannya ke dalam tas kameraku sebelum ada yang menyadari.
Kembali ke kantor, aku langsung menuju mejaku. Aku harus membaca buku harian ini sebelum memberitahu siapa pun. Mungkin ada informasi sensitif yang bisa jadi kunci kasus ini. Dengan tangan gemetar, aku membuka halaman pertama.
20 September 2024
Hari ini seperti hari-hari lainnya. Mereka mengejekku, lagi. "Si jelek," "Si kurus," "Anak pungut." Kata-kata itu menusuk, lebih sakit dari tamparan. Aku hanya bisa menunduk, berharap bumi menelanku. Ibu guru melihatnya, tapi hanya diam. Apa aku memang pantas diperlakukan seperti ini? Rasanya aku ingin menghilang.
Aku mengerutkan kening. Melati adalah korban bullying? Aku membaca halaman-halaman berikutnya dengan cepat. Setiap entri adalah jeritan hati seorang gadis yang terluka. Ia sering disebut "anak pungut" karena ia adalah anak angkat. Ia diejek karena penampilannya, karena ia pendiam, karena ia pintar tapi tidak punya teman. Nama-nama pelaku bullying sering muncul: Rian, Mira, dan Angga. Mereka adalah trio paling kejam di sekolah, terkenal suka menindas siswa lain.
5 Oktober 2024
Rian menyiramku dengan air kotor di kantin. Mira menjambak rambutku. Angga merekamnya sambil tertawa. Semua orang hanya menonton. Aku merasa sangat malu. Aku berlari ke kamar mandi dan menangis. Kenapa tidak ada yang menolongku? Aku lelah. Aku ingin semua ini berakhir.
Air mataku menetes. Bagaimana bisa seorang gadis kecil mengalami semua ini? Dan tidak ada yang melindunginya? Aku terus membaca, semakin terhisap ke dalam penderitaan Melati.
1 November 2024
Aku mencoba bicara pada Kepala Sekolah, Pak Budi. Aku memberanikan diri menceritakan semua perlakuan mereka. Tapi dia hanya menatapku dengan tatapan kosong. "Melati, kamu harus kuat. Ini bagian dari proses pendewasaan. Mereka mungkin hanya bercanda." Bercanda? Rasanya aku ingin berteriak padanya. Bagaimana bisa orang dewasa sebut ini bercanda? Aku tahu dia takut pada orang tua Rian yang kaya dan berpengaruh.
Pengkhianatan! Ternyata tidak hanya teman-teman, tapi juga pihak sekolah yang gagal melindunginya. Aku merasa marah. Buku harian ini adalah bukti kuat. Bukti tentang ketidakadilan, tentang penindasan yang tak terungkap.
Aku sampai pada entri terakhir.
12 Desember 2024
Hari ini adalah hari terburuk. Rian, Mira, dan Angga mengunciku di gudang belakang sekolah. Mereka bilang aku harus mati karena sudah berani melapor. Mereka memukuli dan menendangku. Aku mencoba melawan, tapi aku tidak punya tenaga. Mereka bahkan mengambil buku harianku dan melemparkannya. Aku hanya bisa berdoa. Aku sangat takut. Mungkin ini memang takdirku. Aku tidak akan pernah melihat matahari terbit lagi.
Tulisan itu terputus di tengah kalimat, ada bercak merah kecoklatan di sana. Darah! Tanggal itu, 12 Desember 2024, adalah hari yang sama ketika jasad Melati ditemukan! Bukan, itu tidak mungkin. Polisi bilang jasadnya ditemukan hari ini, 20 Juli 2025. Ada selisih waktu lebih dari tujuh bulan!
Aku panik. Ada apa ini? Apakah buku harian ini palsu? Atau ada sesuatu yang sangat aneh di sini? Aku memeriksa kembali sampul buku harian itu. Tidak ada tanda-tanda pemalsuan. Kainnya lusuh, halamannya menguning, tintanya pudar. Itu asli.
Aku segera menelpon Detektif Suryo. "Detektif, saya menemukan sesuatu yang sangat penting! Sebuah buku harian milik korban. Di dalamnya tertulis bahwa ia diserang dan dipukuli pada 12 Desember 2024, bukan hari ini. Ada bercak darah di halaman terakhir!"
Detektif Suryo terdiam sejenak. "Apa? Itu tidak mungkin. Hasil forensik menunjukkan perkiraan kematian tidak lebih dari 24 jam yang lalu. Arya, jangan mengada-ada."
"Tapi ini tertulis jelas di buku harian! Melati menulisnya sendiri!" seruku, frustrasi.
"Bawa buku itu ke sini sekarang!" perintahnya.
Dengan jantung berdegup kencang, aku bergegas kembali ke TKP. Detektif Suryo dan beberapa polisi sudah menungguku. Aku menyerahkan buku harian itu. Detektif Suryo membukanya, membaca halaman terakhir. Wajahnya mengeras.
"Bercak ini... ini memang darah. Tapi kenapa tanggalnya berbeda?" gumamnya.
Seorang forensik yang masih berada di sana mendekat. "Biar saya periksa, Detektif."
Beberapa menit kemudian, sang ahli forensik mengangkat kepala, wajahnya pucat. "Detektif, ini aneh sekali. Darah ini... sudah kering dan mengeras, seperti sudah berbulan-bulan. Tapi jenazah korban masih segar, belum ada tanda-tanda pembusukan parah yang sejalan dengan tanggal di buku ini."
Kami semua terdiam. Suasana menjadi sangat mencekam. Bagaimana mungkin ada dua tanggal kematian yang berbeda?
Tiba-tiba, seorang polisi muda berlari tergopoh-gopoh menghampiri Detektif Suryo. "Detektif! Kami menemukan ini di bawah lantai kayu yang rusak di dekat penemuan mayat!" Ia menyerahkan sebuah kalung liontin berbentuk hati yang sudah berkarat.
Detektif Suryo memeriksanya. Di bagian belakang liontin, terukir inisial "R" dan "M" serta tanggal "12.12.2024".
Mataku membelalak. Rian dan Melati! Itu tanggal yang sama dengan yang tertulis di buku harian! Apakah Rian pelakunya? Tapi kenapa tubuh Melati baru ditemukan sekarang?
"Detektif, saya punya ide gila," kataku. "Mungkin Melati... tidak meninggal di hari itu. Mungkin dia berhasil selamat, tapi kemudian... entahlah."
Detektif Suryo memicingkan mata. "Kau sedang menonton film, Arya?"
"Tidak, Detektif. Tapi coba pikirkan. Kalau dia meninggal pada 12 Desember 2024, tubuhnya pasti sudah membusuk parah. Ini terlalu segar."
Tiba-tiba, di tengah perdebatan kami, terdengar suara langkah kaki yang berat dari dalam gedung sekolah yang gelap. Langkah itu pelan, menyeret, seolah ada seseorang yang berjalan dengan susah payah. Kami semua menoleh. Dari balik bayangan, sesosok tubuh tinggi dan kurus muncul.
Itu Angga, salah satu pelaku bullying yang disebutkan Melati di buku hariannya. Wajahnya pucat pasi, matanya cekung, dan tubuhnya terlihat sangat kurus, seperti orang sakit parah. Dia berjalan terpincang-pincang, memegangi perutnya.
"Angga! Apa yang kau lakukan di sini?" Detektif Suryo maju selangkah.
Angga tidak menjawab. Dia hanya menatap kami dengan tatapan kosong, lalu mengarahkan jari gemetarnya ke arah gedung. "Aku... aku melihatnya... Melati..." suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
"Melihat apa, Angga?" tanyaku.
"Dia... dia kembali... setiap malam... dia mencari... dia mengambil... dia mengambil sesuatu dariku..." Angga terbatuk-batuk, dan dari mulutnya keluar sedikit darah.
Detektif Suryo mendekat. "Angga, jelaskan apa yang terjadi pada Melati!"
Angga tersenyum pahit, senyum yang mengerikan. "Dia tidak mati... dia tidak pernah mati... dia hanya... tertidur. Dan sekarang dia bangun. Dia mencariku. Dia mencarinya..." Ia menunjuk ke arah perutnya. "Dia mengambil... organ tubuhku... sedikit demi sedikit..."
Kami semua terkesiap. Apa yang dia bicarakan?
Angga jatuh berlutut, menahan sakit yang luar biasa. "Rian... Rian duluan... dia menghilang seminggu yang lalu. Lalu Mira... dia ditemukan tewas di kamarnya, tanpa jantung... Dia... dia melakukannya. Melati yang melakukannya!"
Plot Twist:
Detektif Suryo dan aku saling pandang. Sebuah pemikiran mengerikan melintas di benakku. Jika Melati "tidak mati" pada 12 Desember 2024, dan tubuhnya baru ditemukan sekarang, itu berarti... Melati bukanlah korban yang ditemukan.
"Detektif..." ujarku, suaraku tercekat. "Bagaimana jika mayat yang ditemukan... bukan Melati?"
Angga yang terkapar di tanah tiba-tiba tertawa histeris. "Bukan Melati? Dia di sini! Dia selalu di sini!" Dia menunjuk ke arahku. "Lihat! Di sana!"
Aku mengikuti arah tunjuknya. Di cermin kaca jendela gedung yang pecah, memantulkan bayanganku. Tapi bukan hanya bayanganku. Di belakang bayanganku, samar-samar, muncul siluet seorang gadis kecil, berambut panjang, dengan senyum tipis di bibirnya. Senyum yang sama seperti yang Melati gambarkan di buku hariannya saat ia merasa putus asa.
Detektif Suryo, yang masih memegang buku harian itu, menjatuhkannya. Mata kami beradu. Di matanya, aku melihat kengerian yang sama yang kurasakan. Tubuh yang ditemukan, yang kami kira adalah Melati, mungkin adalah korban lain yang baru saja meninggal. Sementara Melati... Melati yang sebenarnya adalah hantu, yang bangkit dari kematiannya sendiri pada 12 Desember 2024, dan kini kembali untuk membalas dendam pada para penindasnya.
Angga ambruk tak sadarkan diri. Aku menatap bayangan Melati di cermin jendela yang semakin jelas. Wajahnya yang pucat, matanya yang kosong, dan senyumnya yang membeku. Dia bukan lagi korban yang lemah. Dia adalah entitas yang penuh amarah. Dan dia tahu aku sudah membaca buku harian itu. Dia tahu semua yang aku tahu.
Dingin menjalar ke tulang sumsumku. Kasus ini bukan lagi tentang pembunuhan. Ini adalah tentang pembalasan dendam dari balik kubur. Dan aku, yang semula hanya seorang jurnalis, kini terjebak di antara hantu dan kebenaran yang mengerikan. Melati telah kembali, dan dia tidak akan berhenti sampai semua yang menyakitinya merasakan penderitaan yang sama. Buku harian itu bukan hanya catatan penderitaannya, tetapi juga manifesto pembalasannya. Dan aku telah membukanya.