Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20•
"Tawa di Kamar Kosong"
Malam itu, hujan mengguyur kota Pekanbaru dengan lebatnya, suaranya menabrak atap seng kos-kosan Pak Jono seperti ribuan drum kecil yang dipukul serempak. Di kamar nomor tiga, di ujung lorong yang remang-remang, seorang pemuda bernama Arya tengah mencoba memejamkan mata. Sudah hampir seminggu suara tawa lirih namun menusuk itu mengganggunya, selalu muncul dari kamar nomor lima yang kosong melompong.
Kamar nomor lima memang menyimpan aura misterius tersendiri. Sejak Arya menghuni kos-kosan ini tiga bulan lalu, kamar itu tak pernah terlihat ada penghuninya. Jendelanya selalu tertutup rapat, pintunya terkunci, dan debu tampak enggan terusir dari celah-celahnya. Pak Jono, pemilik kos yang ramah namun cenderung tertutup jika ditanya soal kamar itu, hanya akan menjawab singkat, "Sudah lama kosong, Nak Arya. Jangan dipikirkan."
Namun, bagaimana mungkin Arya tidak memikirkannya? Terlebih dengan adanya 'Tawa' itu. Awalnya, ia mengira hanya halusinasinya saja, efek dari begadang mengerjakan tugas kuliah. Namun, semakin malam, tawa itu semakin jelas terdengar, terkadang seperti bisikan geli, terkadang meninggi menjadi cekikikan yang membuat bulu kuduk berdiri. Anehnya, hanya Arya yang mendengar. Teman-teman kos lainnya, seperti Rina yang kamarnya bersebelahan dengan kamar lima, atau Bagas di lantai bawah, selalu menggelengkan kepala saat Arya mencoba menceritakan kegelisahannya.
"Mungkin kamu kecapekan, Ya," ujar Rina suatu sore sambil menyeruput tehnya di teras. "Aku di sini nggak pernah dengar apa-apa."
Bagas pun senada. "Kos ini memang tua, Ya, banyak suara-suara aneh. Anggap saja suara tikus atau kucing berantem di atap."
Arya merasa frustrasi. Ia yakin dengan apa yang didengarnya. Tawa itu terlalu nyata, terlalu menusuk untuk sekadar ilusi atau suara binatang. Suatu malam, rasa penasaran Arya mencapai puncaknya. Hujan masih setia menemani kesunyian malam. Tepat pukul 00.00, tawa itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih dekat, seolah berasal tepat dari balik dinding kamarnya yang berbatasan dengan kamar nomor lima.
Tanpa pikir panjang, Arya bangkit dari tempat tidurnya. Jantungnya berdebar kencang, namun rasa ingin tahu mengalahkan rasa takutnya. Ia meraih senter di meja belajarnya dan perlahan membuka pintu kamarnya. Lorong tampak gelap dan sunyi, hanya diterangi rembulan samar yang berusaha menembus celah awan. Suara tawa itu masih terdengar, lirih namun pasti, berasal dari kamar nomor lima.
Dengan langkah hati-hati, Arya mendekati pintu kamar misterius itu. Pintu kayu cokelat tua itu tampak kokoh dan dingin di bawah sentuhan tangannya. Ia mencoba mengintip melalui lubang kunci yang berkarat, namun gelap gulita di dalamnya membuatnya tak bisa melihat apa pun. Tawa itu tiba-tiba berhenti. Arya menahan napas, menunggu. Keheningan mencekam menyelimuti lorong.
Tiba-tiba, dari dalam kamar terdengar suara gesekan pelan, seperti kursi yang ditarik. Kemudian, tawa itu kembali, kali ini lebih keras, lebih mengejek, seolah tahu bahwa Arya sedang menguping di luar. Arya tersentak mundur. Bulu kuduknya berdiri sempurna. Ia merasakan hawa dingin yang aneh menyelimuti lorong, meskipun udara malam terasa pengap.
Dengan keberanian yang tersisa, Arya memberanikan diri mengetuk pintu kamar nomor lima. "Halo? Siapa di dalam?" tanyanya dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang kembali menyelimuti. Arya mengetuk lagi, lebih keras. "Ada orang di dalam? Saya dengar suara tawa dari tadi."
Sunyi. Arya mulai merasa bodoh. Mungkin benar kata teman-temannya, ia hanya berhalusinasi. Ia menghela napas dan hendak berbalik kembali ke kamarnya. Namun, tepat saat tangannya menyentuh knop pintu kamarnya, ia mendengar suara kunci kamar nomor lima berputar dari dalam.
Jantung Arya kembali berdegup kencang. Pintu perlahan terbuka, hanya sedikit, menyisakan celah gelap yang menganga. Dari balik celah itu, Arya bisa merasakan tatapan dingin yang menusuk, meskipun ia tak bisa melihat mata apa pun. Tawa itu kembali terdengar, kali ini sangat dekat, tepat di telinganya, meskipun sumbernya tampak berada di balik pintu.
"Kamu... dengar aku?" suara serak berbisik dari balik pintu.
Arya membeku. Ia tak bisa mengeluarkan suara, lidahnya terasa kelu. Ia hanya bisa mengangguk lemah.
"Sudah lama... tidak ada yang mendengarku..." bisikan itu melanjutkan, terdengar sedih dan putus asa.
Rasa takut Arya perlahan mulai bercampur dengan rasa iba. Ia memberanikan diri bertanya, "Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?"
Pintu terbuka sedikit lebih lebar. Arya bisa melihat siluet samar seorang wanita berdiri di balik kegelapan kamar. Rambutnya terurai panjang menutupi wajahnya. Wanita itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang semakin lirih, "Aku... hanya ingin didengar..."
Arya merasa ada yang aneh. Sosok ini tidak terasa mengancam, justru terdengar sangat kesepian. Ia memberanikan diri membuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk ke dalam kamar.
Kamar itu gelap gulita, pengap dan berbau debu serta kelembaban. Arya menyalakan senternya dan mengarahkannya ke sekeliling. Kamar itu kosong, persis seperti yang ia bayangkan. Tidak ada perabotan, hanya dinding yang mengelupas dan lantai semen yang dingin. Lalu, di mana wanita itu?
"Di sini..." bisikan itu kembali terdengar, tepat di belakang Arya.
Arya tersentak dan berbalik. Ia melihat sosok wanita itu berdiri tepat di depannya. Wajahnya masih tertutup rambut, namun Arya bisa merasakan tatapan matanya yang kosong dan sedih.
"Siapa kamu?" tanya Arya sekali lagi, kali ini suaranya lebih tenang.
Wanita itu perlahan mengangkat kepalanya. Rambutnya tersibak, dan Arya melihat wajahnya. Wajah seorang wanita muda, pucat pasi, dengan mata sembab dan bekas air mata yang mengering di pipinya. Namun, ada satu hal yang membuat Arya terkejut bukan main. Wajah wanita itu... sangat familiar.
"Kamu... kamu adalah..." Arya tercekat, tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia mengenali wajah itu. Itu adalah foto seorang wanita yang tergantung di dinding ruang tengah kos-kosan. Pak Jono pernah bercerita singkat bahwa itu adalah foto mendiang putrinya, yang meninggal dunia beberapa tahun lalu karena sakit keras di kamar kos ini.
"Iya... aku Intan..." bisik wanita itu, atau lebih tepatnya, arwah wanita itu. "Aku selalu di sini... tidak ada yang bisa melihat atau mendengar aku..."
Arya terdiam, mencerna kenyataan yang baru saja terungkap. Tawa yang selama ini mengganggunya ternyata adalah wujud kesepian dan kerinduan arwah Intan.
"Lalu... kenapa kamu tertawa?" tanya Arya pelan.
Intan tersenyum tipis, senyum yang lebih terlihat seperti grimis kesedihan. "Aku tidak tahu... mungkin karena aku senang... akhirnya ada yang bisa melihat dan mendengarku..."
Malam itu, Arya tidak kembali ke kamarnya. Ia menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengan arwah Intan. Intan bercerita tentang hidupnya, mimpinya yang tak sempat terwujud, dan kesepiannya yang abadi di kamar kosong itu. Arya mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami beban yang selama ini dipikul Intan.
Keesokan harinya, Arya menemui Pak Jono. Ia menceritakan semua yang dialaminya semalam. Awalnya, Pak Jono tampak tidak percaya, namun melihat kesungguhan di mata Arya, raut wajahnya perlahan berubah menjadi sendu.
"Saya... saya memang tidak pernah menceritakan soal Intan pada penghuni kos yang baru," kata Pak Jono dengan suara bergetar. "Saya tidak kuat... mengingatnya terus menerus."
Arya mengusulkan agar Pak Jono mengadakan doa bersama untuk Intan di kamar nomor lima. Pak Jono setuju. Malam berikutnya, seluruh penghuni kos berkumpul di depan kamar kosong itu. Mereka membaca doa bersama, mengirimkan ketenangan dan kedamaian untuk arwah Intan.
Setelah acara doa selesai, Arya kembali ke kamarnya. Malam itu, hujan kembali turun, namun kali ini tidak ada lagi suara tawa yang mengganggunya. Kamar nomor lima terasa sunyi, namun bukan sunyi yang mencekam, melainkan sunyi yang damai.
Beberapa hari kemudian, Arya melihat Pak Jono membawa beberapa barang ke kamar nomor lima. Sebuah foto Intan yang lebih besar, beberapa bunga, dan sebuah lampu kecil. Pak Jono membersihkan kamar itu dengan hati-hati, seolah menyiapkan tempat yang layak untuk putrinya.
Sejak saat itu, suara tawa tidak pernah terdengar lagi. Namun, terkadang, di malam yang sunyi, Arya merasa seperti mendengar bisikan lirih dari arah kamar nomor lima, bukan lagi tawa kesepian, melainkan bisikan terima kasih.
Plot Twist: Beberapa minggu kemudian, Arya berencana pindah kos karena mendapatkan pekerjaan di luar kota. Saat berpamitan dengan Pak Jono, Arya kembali bertanya tentang kamar nomor lima. Pak Jono tersenyum misterius. "Sebenarnya, Nak Arya," katanya pelan, "Intan tidak pernah meninggal di kamar itu. Dia meninggal di rumah sakit. Kamar itu kosong karena... memang tidak pernah disewakan. Saya sengaja menguncinya dan membiarkannya kosong sebagai kenangan."
Arya terkejut. Lalu, siapa atau apa yang selama ini ia lihat dan dengar? Tawa dan bisikan itu... dari mana asalnya? Ia menatap kamar nomor lima yang pintunya tertutup rapat, merasakan bulu kuduknya kembali berdiri. Tawa di kamar kosong itu ternyata bukan arwah Intan, melainkan sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih misterius dan tak terduga, yang kini mungkin sedang menunggunya di tempat lain.