Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18
Kia Eveline Kazehaya, perempuan muda berusia dua puluh tiga tahun, berdarah campuran Jepang dan Indonesia, berdiri kaku di samping mobil sportnya yang terparkir rapi di halaman pesantren.
Tangan kanannya masih menggantung di udara, belum sempat menarik handle pintu. Suara lantang dan penuh wibawa menggema dari dalam masjid besar di area pondok pesantren Al Firdaus, milik ayah mertuanya, Kiai Hisyam Hafidz.
Matanya perlahan menoleh ke arah sumber suara. Bukan sekadar ceramah biasa. Ia tahu betul suara itu milik siapa. Suara seseorang yang hanya dalam dua pekan terakhir resmi menjadi suaminya.
"Ustadz Damar Faiz Alfarez," bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Ia mendekap tas kecil di dada. Tubuhnya membeku. Bukan karena dingin, tapi karena kalimat-kalimat yang meluncur dari mimbar membuat hatinya ikut bergetar.
“Seorang istri sholehah bukan hanya yang pandai merawat rumah dan menjaga lisan,” ucap ustadz Damar dengan nada tenang namun mengandung ketegasan. “Tapi juga yang menghormati syariat, yang tahu kapan harus menunduk dan kepada siapa harus taat.”
Beberapa jamaah tampak mengangguk pelan. Kia masih berdiri di tempatnya, menyimak dengan penuh perhatian. Suaranya lirih dalam hati, namun ia tak bisa mengabaikan kalimat yang baru saja terdengar.
"Dan hijab, bukan sekadar kain penutup kepala," lanjut ustadz Damar, "tapi simbol ketundukan kepada Allah, simbol kehormatan, dan perlindungan bagi wanita yang mulia."
Kia menelan ludah. Sebagian rambut panjangnya yang terurai tertiup angin, mengingatkannya bahwa ia belum memakai penutup kepala hari itu.
"Hijab bukan beban," imbuh Damar dengan suara yang sedikit melunak. "Tapi hadiah dari Tuhan agar wanita terjaga dari pandangan yang tak semestinya."
Kia menunduk. Hatiku seolah dipeluk oleh rasa malu yang tak bisa dijelaskan. Dia tahu, ucapan itu bukan sekadar nasihat bagi para santri.
Mungkin, itu juga teguran halus untuknya.
Mata Kia berkaca-kaca. Ia menggenggam jemarinya erat-erat. Lalu berkata lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri,
“Aku tahu, aku belum sempurna, Mas. Tapi bukan berarti aku nggak mau belajar.”
Tak lama kemudian, adzan magrib berkumandang. Ceramah ditutup dengan doa, sementara Kia mematung beberapa detik sebelum akhirnya membuka pintu mobilnya perlahan.
Namun sebelum masuk, ia berhenti sebentar, membuka tas kecilnya, mengambil selembar pashmina tipis, lalu memakainya dengan perlahan.
Tak ada yang melihat. Tapi ia tahu, ada yang mendengar. Dan ia ingin, untuk pertama kalinya, memulai langkah kecil dari tempat yang sunyi, tanpa sorotan, hanya karena Allah.
Kia akhirnya duduk di balik kemudi. Ia menyalakan mesin mobil, tapi tak langsung melajukannya. Matanya menatap kosong ke depan, sementara gema ceramah dari dalam masjid masih terus berputar di kepalanya.
Tangan kirinya menggenggam erat setir, sedang tangan kanan memijit pelipis yang tiba-tiba terasa berat.
"Kenapa sih suaranya bisa setenang itu." gumamnya lirih.
Mobil itu akhirnya bergerak perlahan meninggalkan pelataran pondok pesantren. Tapi meski rodanya berjalan, pikirannya sama sekali tak ikut melaju. Tertinggal di barisan kata-kata yang baru saja diucapkan oleh pria yang sah menjadi suaminya.
Suami ya, suami. Kata itu masih terasa asing di hati Kia.
Damar Faiz Alfarez pria yang tak pernah dikenalnya sebelumnya. Dipertemukan, dinikahkan, dan dijadikan pasangan hidup hanya dalam waktu singkat.
Semuanya karena keputusan kakaknya, Tuan Besar Mahendra Kazehaya. Kakak yang tak pernah bisa menerima kelakuannya yang liar, bar-bar, dan keras kepala.
"Katanya supaya aku bisa jinak," gumam Kia sambil mengetuk-ngetuk setir. "Supaya aku bisa berubah."
Ia mendecak kecil, menyipitkan mata ke arah jalanan sepi di depannya.
"Aku ini bukan kuda liar yang bisa dijinakkan pakai tali pernikahan, Kakek Mahen!" gerutunya dengan suara sedikit meninggi.
Tapi semakin ia mencoba menepis, justru wajah Damar makin sering muncul dalam benaknya. Ucapan lembut tapi tajam itu menusuk sesuatu dalam dirinya.
Bukan seperti ceramah yang ia dengar dari ustadz-ustadz biasa. Tapi ada yang berbeda. Ada yang membuat hatinya entah, seperti dicubit pelan.
"Dia tuh ngomong gitu ke semua orang, atau ke aku sih sebenarnya?" tanya Kia pada bayangannya sendiri.
Mobilnya berhenti di lampu merah. Ia bersandar, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan pelan.
"Kalau dia pikir ceramah bisa bikin aku langsung berubah, salah besar. Tapi entah kenapa, barusan itu kayak ditampar."
Tiba-tiba Kia tersenyum miris.
"Mas Damar, kamu tuh ngajarin orang buat jadi lebih baik. Tapi sadar nggak sih kamu lagi nikah sama perempuan yang paling susah diajak baik-baik?"
Lampu berubah hijau. Kia kembali menginjak pedal gas, membiarkan mobil melaju ke arah rumah barunya yang masih asing.
Namun dalam diam, hatinya mulai goyah. Tak ada yang memaksanya berubah. Namun untuk pertama kalinya, Kia berpikir mungkin, dia ingin berubah. Bukan karena dipaksa. Tapi karena perlahan mulai merasa butuh.
Entah kenapa, tanpa rencana, tanpa sadar, tangan Kia yang memegang setir tiba-tiba berbelok. Bukannya langsung pulang, mobilnya justru masuk ke pelataran sebuah butik.
Bukan sembarang butik, tetapi tempat yang selama ini tak pernah menarik perhatiannya: butik baju muslim modern.
Ia menatap nama tokonya lewat kaca depan. Hatinya sedikit berdebar.
"Ngapain aku ke sini?" bisiknya pelan, hampir tak yakin dengan langkahnya sendiri.
Mesin mobil dimatikan. Tapi ia tak langsung turun. Ada perang kecil dalam dirinya. Antara gengsi yang masih menjerit, dan hati yang mulai pelan-pelan melembut.
Tangan kanannya menyentuh pashmina yang tadi sempat ia pakai secara asal. Kia menggigit bibir, lalu berkata pelan,
"Udah dua minggu nikah sama ustadz masa tiap hari tampil kayak mau ngelawan dunia."
Ia membuka pintu, melangkah masuk dengan kepala sedikit menunduk. Langkahnya pelan, bahkan tak seyakinkan biasanya. Padahal biasanya dia yang paling berani, paling kencang suaranya, paling cuek dengan tatapan orang.
Seorang penjaga butik menyapa ramah,
"Selamat sore, Kak. Mau cari model gamis yang kayak gimana?"
Kia mengangkat bahu. "Yang biasa aja. Yang nggak terlalu ribet. Tapi masih keliatan muda."
Petugas butik tersenyum sambil mengangguk, lalu mulai menunjukkan beberapa pilihan. Kia memandangi satu demi satu. Tangannya menyentuh kain lembut berwarna dusty pink, lalu sebuah setelan sederhana berwarna biru keabu-abuan dengan potongan minimalis.
Ia membatin pelan,
"Bisa nggak ya aku cocok pakai yang begini?"
Saat mencoba berdiri di depan cermin, dengan gamis yang jatuh anggun ke mata kaki, Kia menatap refleksinya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia tak melihat perempuan keras kepala yang selalu ingin bebas. Tapi seseorang yang sedang mencari arah.
"Mas Damar," gumamnya lirih, "kamu nggak pernah maksa. Tapi entah kenapa, aku ngerasa ingin jadi versi terbaik buat kamu."
Ia tak tahu kenapa langkahnya hari ini mengarah ke sini. Tapi yang ia tahu, mungkin ini awal dari sesuatu. Mungkin belum sempurna. Tapi setidaknya, ia sudah mulai berjalan. Dan itu lebih dari cukup.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣