Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA32
Mereka makan dengan lahap, namun suasana yang tadinya terasa hangat mulai berubah menjadi canggung. Begitu suapan terakhir tertelan, Alan langsung menggeser duduknya menjauh dari Maya. Ia mengeluarkan sebungkus rokok, menyalakan sebatang, lalu menghembuskan asap perlahan. Wajahnya tampak kesal. Rencana makan siang romantis yang ia bayangkan tidak sesuai ekspektasi. Bukan karena makanannya buruk atau tempatnya tak nyaman, tapi karena satu penolakan dari Maya, penolakan untuk bercumbu ringan di tengah momen yang menurutnya sudah sempurna.
Bagi Alan, ini adalah hal baru. Sepanjang hidupnya, belum pernah ada wanita yang menolaknya dengan cara begitu tegas, apalagi saat ia sedang bersikap lembut. Harga dirinya terasa ditampar. Ia pun memilih menenggelamkan diri dalam layar ponselnya, membiarkan waktu berlalu sia-sia dalam diam dan asap rokok.
Maya menatap Alan dengan perasaan tak menentu. Gelisah, ia menggeliat pelan di kursinya.
"Sepertinya dia marah," gumamnya lirih, mencoba menebak isi hati pria di depannya.
Namun pikirannya segera teralihkan.
"Kenapa Roy belum juga menelpon ku? Gimana kondisi Bapak?" Suara batinnya terus mengganggu, membelah fokusnya antara kekhawatiran dan suasana aneh dengan Alan.
Alan sebenarnya ingin menikmati waktu lebih lama di tempat itu. Ia sudah memberhentikan semua aktivitas kantornya demi bisa bercinta lebih panjang dengan Maya.Tapi egonya keburu tercabik. Ia memanggil pelayan, menyerahkan kartu debitnya tanpa banyak bicara, lalu berdiri.
“Kita pulang,” ucapnya dingin, tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya panjang dan cepat, memaksa Maya untuk berlari kecil mengejarnya.
“Terima kasih, Tuan! Datang kembali, ya!” seru para pelayan ramah sambil memberi hormat.
Alan tetap melangkah lurus tanpa menanggapi.
“Iya, terima kasih. Makanannya sangat enak!” sahut lembut Maya dengan senyum tulusnya, ia berusaha menjaga sikap walau langkahnya terburu-buru mengejar pria itu.
Begitu di dalam mobil, keheningan menggantung tebal di antara mereka. Alan duduk kaku, fokus menatap jalan, bibirnya mengatup, wajahnya datar.
“Alan... kamu marah ya?” tanya Maya pelan, memecah ketegangan, tangannya tidak tenang memainkan jemarinya sendiri demi menguasai rasa gugup.
“Biasa aja,” jawab Alan singkat, tanpa menoleh sedikit pun. Ia sangat fokus pada stir.
“Sumpah, aku enggak terbiasa di tempat umum begitu, maaf ya…” Maya mencoba menjelaskan, suaranya lembut dan penuh penyesalan.
“Ya udah, enggak masalah” sahut Alan datar. Tak ada kehangatan dalam nada suaranya, hanya dingin dan penuh gengsi.
Sesaat hening, lalu Alan membuka suara lagi, dengan nada sinis menusuk.
“Kalau kamu terus begini, aku bisa kok melakukannya dengan perempuan lain.”
Maya terdiam, tapi bukan karena takut. Ia menatap lurus ke depan, kemudian membalas tenang,
"Boleh, itu hak mu, Alan!"
Maya menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih tegas.
"Aku minta maaf... Aku terlalu kaku. Aku sadar, aku bukan wanita seperti yang kamu harapkan. Aku juga bukan seperti mantan-mantanmu yang mudah bersikap manis atau tahu cara menyenangkan mu dimanapun," ucap Maya menunduk.
Kemarahan orang tua Maya tempo hari masih membekas kuat, menjadi tamparan keras yang menyadarkan wanita itu, bahwa dirinya tidak boleh terus menyesuaikan diri demi di terima namun kehilangan jati diri.
Rupanya jawaban Maya menampar ego Alan lebih keras dari penolakannya tadi. Hatinya bergejolak, ingin marah, ingin membalas. Tapi gengsinya terlalu tinggi untuk menumpahkan semua itu sekarang. Yang ada, ia hanya diam membisu...
Suasana mobil hening. Tak ada canda, tawa, atau kemesraan. Hanya dingin yang merambat di antara keduanya. Alan terus memacu mobilnya menuju apartemen, tanpa sepatah kata pun. Anehnya, suasana cinta terlarang beberapa waktu lalu terasa jauh lebih indah dibanding cinta setelah menikah.
Sesampainya di parkiran, langkah Alan lebih cepat satu langkah dari Maya. Jelas ia ingin segera masuk ke apartemennya.
"GGM... Ganteng-ganteng merajuk, sabar Maya," ucap Maya kesal, tapi ia tersenyum kecil, mencoba menghibur dirinya yang sejujurnya rapuh.
Tiba-tiba ponselnya bergetar.
“Dreet!”
Panggilan masuk dari Roy. Sebuah video call.
“Roy!” Maya langsung berseri-seri melihat nama itu di layar. Begitu panggilan tersambung, Roy dengan sigap menyerahkan ponsel ke ibunya, Maryam.
Maryam langsung berbicara dalam Bahasa Jawa total, suaranya riang.
"May, bapakmu, alhamdulillah wis mari (sembuh)!" kata Maryam sambil mengarahkan kamera ke arah Ardi yang sedang menunaikan sholat.
Maya tersenyum bahagia.
"May, kami ora bali nang omah lawas. Wektu arep bali, sing nduwe omah malah ngusir lan mbalekke sisan duit sewane. Wis dikirim cepet nang rekening Roy. Saiki kami manggon nang Semarang, ning komplek mewah tenan, omah gedhong, isine wong-wong sugih kabeh. Omahe, May... Masyaallah! Gedhe, ayu, isine lengkap, ana kolam renange!"
("May, kami enggak pulang ke rumah, mau pulang ke rumah tiba-tiba yang punya sewa rumah ngusir kami dan mengembalikan sisa uang sewa, sudah di transfer cepat ke rekening Roy, sekarang kami tinggal di kota Semarang, di komplek mewah banget, tempat rumah gedong, dihuni orang-orang kaya. Rumahnya May, Masyaallah besar, cantik, isi rumahnya lengkap, ada kolam renang!") ujar Maryam polos dan lugu, menggambarkan rumah baru mereka dengan penuh kekaguman.
"Katanya dari Bapak Alan, bojomu ya?" tanya Maryam memastikan.
"Iya, Bu," jawab Maya tersenyum malu-malu, hatinya hangat sekaligus rindu. Ia menyenderkan tubuh ke dinding.
"May, kerja opo sih bojomu kuwe? Kok sugih (kaya) eraaam. Halal to haram, May?"
"Halal, Bu," sahut Maya sambil terkekeh.
"Kok yo ana wong sugih koyok ngono ya..."
("Kok ada orang kaya seperti dia ya!")
Tiba-tiba Roy muncul lagi di layar, jungkir balik tiga arah di atas kasur empuk dengan tingkah kekanak-kanakan.
"Huihui!" jerit Roy.
"Heh, turun kamu Roy! Ojo ndeso!" bentak Maryam sambil berdiri dan menggerakkan tangan ke layar.
Roy mendekatkan wajahnya ke kamera.
"Mbak... oh Mbak... ibu juga super ndeso Lo Mbak! Masuk ke garasi buka sendal, sendalnya taruh di luar pager! Hahaha!"
Tawa Roy meledak. Maryam mencubit Roy pelan.
"Tapi di sini ibu iso kerja opo, May? Ibu mung iso njahit. Siapa sing arep njahit nang kene?"
("Tapi disini ibuk kerja apa May? Ibuk cuma bisa menjahit baju, rehab baju, siapa yang mau jahit baju disini!)
"Kalau enggak nyaman, balik aja ke kampung Buk, gpp!" sahut Maya lembut tersenyum kepada ibunya.
"Jangan, jangan! Ibu enggak usah kerja jahit lagi, Bu. Orang kaya harus punya style!" ujar Roy sok tahu.
"Ooo, Mbahmu!" Maryam gemas, mencubit pipi Roy.
Maya tertawa. Seketika lelahnya menghadapi Alan lenyap, diganti hangatnya kebersamaan keluarga.
Ardi datang. "Ini bapakmu, May!" ujar Maryam, menyerahkan ponsel ke suaminya.
"Assalamualaikum May..."
Suara Ardi serak tapi lembut.
"Waalaikumsalam Pak..." Mata Maya langsung berkaca-kaca.
"Bagaimana kabarmu, Nak? Sekarang, Bapak sudah sehat," ujar Ardi.
"Maya baik, Pak. Maya senang banget lihat Bapak udah pulih lagi..." suaranya bergetar. Air mata jatuh, buru-buru ia usap.
"Maafkan Maya, Pak... Maya udah ngecewain Bapak..."
"Ora apa-apa. Sing penting kowe wis nikah. Ojo kumpul kebo! Enggak boleh, itu dilaknat Gusti Allah Nak!"
"Iya, Pak..."
"Bojomu ngendi?" (suami mu dimana)
"Ada, Pak... Dia lagi istirahat!" jawab Maya tidak ingin menceritakan apa yang ia rasakan.
"Yo wis. Sesuk-sesuk telpon maneh, yo."
"Iya, Pak..."
"Jaga dirimu baik-baik, May. Kami di sini senang dan sehat semua." kata Ardi. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam Pak!"
Maya menutup ponsel dengan senyum penuh. Rasa bahagia membuncah. Keluarganya sehat dan bahagia. Itu cukup mengisi semangatnya kembali.
"Saatnya membujuk dan memanjakan bayi besarku..." gumamnya sambil menggerakkan leher dan bahu, lalu masuk ke dalam apartemen.
Key itu seperti monster yang bisa menyerang kapan saja tidak peduli dia saudara atau keluarga.