Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Ke Perguruan
Di antara Barda, Mahendra, dan Sularsa, Mahendra memiliki kemampuan yang paling mumpuni. Dengan teknik Pedang Pemecah Ombak miliknya, ia termasuk dalam sepuluh besar peringkat murid senior.
Tetapi saat ini, sekalipun Mahendra bersama Sularsa, keduanya kewalahan menghadapi Barda. Mereka telah mencoba berbagai cara untuk menekan Barda dari dua sisi, tetapi di bawah pengaruh pil darah monster, pergerakan Barda sungguh merepotkan keduanya.
“Minggir Sularsa!” teriak Mahendra sambil mengayunkan pedangnya, melepaskan sebuah energi pedang yang cukup besar.
Sularsa baru saja membentur sebuah pohon dan membuat pohon itu patah menjadi dua, tetapi teriakan kawannya itu langsung menyadarkannya. Ia melompat ke samping dan berguling di atas tanah sesaat sebelum tangan Tangan Barda menyambar tubuhnya.
Gagal menyambar mangsanya, Barda terhantam energi pedang Mahendra dan terlempar jauh mematahkan beberapa pohon. Mahendra menghampiri Sularsa.
“Kau tak apa-apa?” tanya Mahendra.
Sularsa mengangguk. Keduanya terengah-engah. Tenaga dalam mereka telah pun terkuras demi mengimbangi kekuatan dan kecepatan Barda yang saat ini wujudnya benar-benar seperti monster.
“Cih! Anak ini memang keras kepala!” Umpat Sularsa sambil mengusap darah di ujung bibirnya.
“Bukan itu masalahnya,” Mahendra mengusap peluh yang mengucur di dahinya, “Mestinya khasiat pil itu tak lebih dari 20 menit.”
“Maksudmu?”
Mahendra mengangguk, “Ia pasti memakan lebih dari satu.”
Sularsa menatap ke sosok Barda yang sedang berusaha bangkit di kejauhan. Meskipun paling lemah dan ceroboh di antara mereka, Sularsa tidak bodoh. Perkataan Mahendra barusan membuat semuanya menjadi masuk akal.
“Apa dia bisa kembali seperti dulu?”
Mahendra menggeleng, “Entahlah, aku tak mau memikirkan itu seka – MUNDUR!”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Mahendra menarik Sularsa dan melemparnya ke belakang, sebelum membuat perisai dengan pedang dan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba saja, Barda telah berada di dekat mereka. Mahendra sempat melihatnya menoleh kepada mereka berdua sebelum menghilang. Karena itulah ia memiliki waktu untuk mengamankan Sularsa.
Sularsa yang terjengkang segera bangkit dan bergerak melompati Mahendra, berniat menyerang Barda dari atas, tetapi gerakan Barda masih lebih cepat darinya. Sularsa terus menyerang dan memaksa Barda menjauh dari Mahendra.
Mahendra sendiri jatuh berlutut. Tenaga dalamnya hampir tak bersisa. Menahan serangan Barda terakhir kali itu benar-benar kuat dan membuat organ dalamnya terluka.
Dalam hati ia berterima kasih kepada Sularsa karena memahami situasi saat ini, “Heh, hebat juga kau Sularsa …,” gumamnya sambil berusaha berdiri dengan menggunakan pedangnya sebagai penopang.
Baru saja Mahendra bangkit, tubuh Sularsa menghantamnya dengan kecepatan tinggi. Dua sekawan itu pun terhempas ke belakang sejauh beberapa meter dan terkapar di tanah.
Mahendra mendapati Sularsa tak sadarkan diri. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menjerit seakan tak sanggup lagi. Mahendra pun rebah kembali tanpa daya. Sementara suara langkah kaki Barda dan napasnya yang menderu terdengar semakin mendekati mereka berdua.
Mahendra dapat mendengar langkah kaki itu semakin cepat dan semakin keras. Barda melompat tinggi sambil meraung keras untuk memberi serangan penghabisan kepada dua orang yang seolah tak lagi dikenalinya sebagai teman-temannya sendiri.
Sebuah pukulan tiba-tiba menghantam Barda dengan keras dan membuatnya terlempar jauh sebelum menghantam tanah dengan sangat keras.
Seseorang dengan sebilah pedang yang masih tersarung mendarat ringan di dekat Mahendra dan Sularsa. Mahendra mengenali perawakan lelaki berambut panjang tersebut sebagai salah satu gurunya di perguruan, Harya Tama.
...***...
Tidak sulit bagi pendekar tingkat tinggi seperti Harya Tama untuk melacak jejak Wira dan dua orang lainnya setelah Nala menunjukkan arah mereka sampai suatu tempat tertentu.
Bersama tim pencarinya, Harya Tama bergerak secepat mungkin dengan memindai sekelilingnya menggunakan sebuah teknik persepsi untuk menelusuri hawa keberadaan seseorang.
Ia segera menemukan dua orang yang dikenalinya sebagai Mahendra dan Sularsa dari seragam khas murid senior perguruan. Menyadari bahaya sedang mengancam kedua murid senior itu, Harya melesat meninggalkan timnya dan tiba tepat waktu untuk menghalau sesosok makhluk yang hampir menghabisi Mahendra dan Sularsa.
“Gu-Guru …,” Mahendra berusaha mengatakan sesuatu saat melihat Barda lagi-lagi masih dapat bangkit di kejauhan.
“Aku tahu, tenanglah. Kalian aman sekarang.” kata Harya dengan tenang.
Tak butuh waktu lama bagi Harya untuk mengenali kalau sosok makhluk yang dihadapinya itu adalah Barda yang sedang berada dalam pengaruh pil darah monster.
Nyatanya, Harya bahkan tak sampai mencabut pedangnya untuk menghentikan Barda yang sedang menerjang ke arahnya. Ia menahan gerakan barda dengan satu tangan dan membuat pergerakannya tertahan di udara dengan tenaga dalam.
Dengan gerakan tangan yang sangat piawai, Harya menotok beberapa titik di bagian perut Barda, lalu menggunakan telapak tangannya untuk menghempaskan sosok itu kembali ke tanah.
Harya tak berkata apa-apa, sementara tak jauh darinya, sosok Barda berangsur-angsur bertransformasi kembali menjadi dirinya seperti sedia kala. Harya menggeleng, setelah khasiat pil darah monster itu menghilang, ia tak tahu akan seperti apa kondisi Barda kemudian.
Nala dan kelompok pencari yang dipimpin Harya tiba tak lama kemudian. Mereka langsung mengamankan Mahendra dan Sularsa. Beberapa pendekar juga tampak sedang bersiap untuk mengevakuasi Barda.
Harya dan Nala mendekati Mahendra yang sudah terlihat lebih tenang. Mereka bermaksud menanyakan keberadaan Wira dan Ratnasari yang belum terlihat saat gemuruh yang sangat keras mengejutkan mereka semua. Wajah Mahendra memucat saat menyadari dari mana gemuruh itu terdengar.
...***...
Wira meletakkan Ratnasari di tanah. Setelah memastikan kondisi Ratnasari baik-baik saja, Wira duduk bersila untuk beristirahat sejenak.
“Wira!”
Suara Nala terdengar setelah beberapa waktu Wira mencoba memikirkan apakah ia harus membawa Ratnasari ke perguruan atau melihat keadaan Mahendra dan Sularsa yang tadi bertarung dengan Barda.
Wira menoleh dan melihat Nala tengah berlari menghampirinya, disusul oleh Guru Harya Tama, dan beberapa pendekar serta prajurit.
Di belakang mereka, Nala juga menemukan Mahendra berjalan agak tertatih dan Sularsa yang tengah dipapah oleh seorang pendekar.
“Ratnasari?”
“Dia baik-baik saja. Sepertinya Barda telah membiusnya.”
“Ia menghirup serbuk pelemah otot.” Guru Harya meminumkan sebuah pil yang sepertinya merupakan penawaran racun, lalu mengalirkan tenaga dalamnya kepada Ratnasari.
“Apa yang terjadi Wira? Reruntuhan ini …?” Guru Harya mengalihkan perhatiannya pada Wira setelah menyerahkan Ratnasari kepada Nala.
Sesaat sebelum menjawab pertanyaan itu, Wira mengamati ekspresi Nala dan menyadari sesuatu. Namun, ia masih harus memastikannya. Ia pun berdiri, memberi hormat pada gurunya, dan mulai menjelaskan seluruh peristiwa yang dihadapinya.
Harya mendapati penjelasan Wira sesuai dengan apa yang didengarnya dari Mahendra, kecuali keberadaan siluman ular. Wira menjelaskan bahwa dari ciri-cirinya dan energi negatifnya, siluman ular itu seharusnya telah mendekati usia 200 tahun.
Pastinya, tidak ada yang tidak terkejut mendengar penjelasan Wira tersebut. Tak sedikit yang bertanya dalam hati perihal kebenaran hal itu dan tentunya juga ada yang berpendapat bahwa Wira hanya mengada-ada. Harya menanyakan hal itu kepada Mahendra dan Sularsa, tetapi keduanya benar-benar tidak tahu tentang siluman tersebut.
Merasa ada sesuatu yang mungkin menjadi petunjuk, Harya memerintahkan seorang pendekar dari kelompok itu untuk menggeledah Barda yang kini tengah terkapar di atas tandu. Tak lama kemudian, pendekar tersebut kembali dan menunjukkan sebuah lempengan perak berdiameter sekitar 5 senti dengan ukiran simbol aneh pada permukaannya selain satu botol kecil berisi beberapa butir pil darah monster.
Harya mengamati lempengan perak tersebut, “Artefak pemanggil siluman ini menjelaskan semuanya.” ia menghela napas, “Sepertinya kali ini Barda sungguh berniat menghabisi kalian semua,” katanya kepada Wira dan yang lain.
Harya Tama menjelaskan bahwa dengan artefak itu, seorang pendekar yang memiliki cukup tenaga dalam memang dapat memanggil siluman meski kekuatan siluman yang dipanggilnya itu cukup terbatas. Siluman dengan usia mendekati 200 tahun biasanya memiliki kekuatan dengan seorang pendekar madya.
Disertai dengan bukti yang nyata, barulah semua orang mempercayai keterangan Wira. Terlebih lagi, beberapa pendekar yang sebelumnya diperintahkan oleh Harya untuk memeriksa reruntuhan gua di hadapan mereka pun menemukan raga ular siluman yang sudah tak bernyawa itu dan setelah memeriksanya, informasi yang mereka dapatkan juga sangat sesuai dengan keterangan Wira.
“Baiklah, kita kembali ke perguruan dulu …,” Harya lalu menginstruksikan kelompok itu untuk segera bergerak dan kembali ke perguruan. Ia juga memerintahkan beberapa pendekar untuk pergi lebih dulu agar dapat mengabarkan situasinya pada kelompok lain dan perguruan, serta menyiapkan tindakan yang diperlukan.
“Hei,” Wira menepuk pundak Mahendra yang kini sedang memapah Sularsa, “terima kasih. Kalian telah membantu menyelamatkan Ratnasari.”
“ Tidak, Wira …, terima kasih karena kau masih mempercayai kami.” Mahendra tersenyum meski dengan raut wajah yang tampak lesu.
Wira memahami kalau mereka masih mengkhawatirkan Barda. Bagaimanapun, mereka bertiga sering kali bersama sebelumnya.
Di sisi lain, Wira mengamati Nala tengah memastikan keamanan Ratnasari di atas tandu yang mengusungnya. Ia pun mendatangi sahabatnya itu.
“Bagaimana keadaannya?”
“Berkat pil dari Guru Harya, ia terlihat jauh lebih baik walaupun masih butuh satu hari lagi baginya untuk bisa pulih.” Nala berbalik dan memegang pundak Wira, “Terima kasih Wira, kau telah menyelamatkannya.” ucapnya dengan sungguh-sungguh.
“Tidak …, kita semua telah menyelamatkannya.” balas Wira, “Ayo, kita kembali ke perguruan.” ia merangkul Wira. Keduanya pun berjalan bersama menyusul rombongan di depan mereka.