"Harusnya dulu aku sadar diri, bahwa aku sama sekali nggak pantas untuk kamu. Dengan begitu, mungkin aku nggak akan terluka seperti sekarang ini" ~Anindhiya Salsabila
Tindakan bodoh yang Anin lakukan satu tahun yang lalu adalah menerima lamaran dari cowok populer di sekolahnya begitu saja. Padahal mereka sama sekali tidak pernah dekat, dan mungkin bisa dikatakan tidak saling mengenal.
Anin bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Hingga cowok dingin itu sama sekali tidak pernah mengajak Anin berbicara setelah meminta Anin untuk menjadi istrinya. Mereka hanya seperti orang asing yang tinggal di atap yang sama.
--------------------------------------------------------------------------
Bagaimana mungkin aku hidup satu atap dengan seorang pria yang bahkan tidak pernah mengajakku berbicara? Bagaimana mungkin aku hidup dengan seorang suami yang bahkan tidak pernah menganggapku ada?
Ya, aku adalah seorang gadis yang tidak dicintai oleh suamiku. Seorang gadis yang masih berusia sembilan belas tahun. Aku bahkan tidak tau, kenapa dulu dia melamarku, menjadikan aku istrinya, kemudian mengabaikanku begitu saja.
Terkadang aku lelah, aku ingin menyerah. Tapi entah kenapa seuatu hal memaksaku untuk bertahan. Aku bahkan tidak tau, sampai kapan semua ini akan menimpaku. Aku tidak tau, sampai kapan ini semua akan berakhir.
~ Anindhiya Salsabila~
Mau tau gimana kisah Anindhiya? Yuk cuss baca.
Jangan lupa like, komen dan vote ya. Jangan lupa follow ig Author juga @Afrialusiana
Makasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afria Lusiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33
Stevan sedang sibuk dengan tugas tugasnya yang ada di meja belajar. Pria itu bahkan belum beranjak dari sana sejak pulang kuliah tadi.
Ceklek
Pintu kamar terbuka, terlihat Anin baru saja masuk dari sana dengan nampan yang berisikan makanan, segelas air putih dan segelas susu di atas nampan tersebut.
Stevan menoleh ke arah pintu, detik kemudian mengalihkan kembali pandangannya ke arah laptop, seolah tidak peduli dengan keberadaan Anin.
"Stev. Kamu makan dulu ya." Ucap Anin yang kini sudah berdiri di samping Stevan.
"Nanti aja. Gue belum lapar." Sahut Stevan masih fokus pada laptopnya tanpa mengalihkan pandangan ke arah Anin.
"Kalau gitu aku suapin. Gimana?" Tawar Anin sembari menggigit bibir bawahnya yang sebenarnya takut.
Stevan menoleh, menatap mata Anin dengan tatapan dingin sedingin dingin es batu. Membuat Anin menjadi menciut takut.
"Yaudah deh. Aku tarok di sini aja. Nanti kalo tugas kamu udah selesai jangan lupa di makan ya. Ini aku buatin khusus buat kamu. Aku juga nggak mau kamu sakit lagi kaya waktu itu" Anin berjalan menuju nakas dan menaruh nampan tersebut di atas nakas.
Detik berikutnya, gadis itu melangkahkan kakinya berjalan menuju balkon.
Ya, Anin memang senang sekali duduk di balkon kamarnya kala hatinya terluka, bersedih, dan gelisah. Melamun, menatap langit dari sana.
Mata stevan mengikuti langkah kaki Anin. Kemudian, beralih ke arah makanan dan segelas susu yang teletak di atas nakas.
Stevan berdiri, lantas, mengambil nampan tersebut dan membawanya menuju balkon.
Stevan ikut mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada tepat di samping Anin, membuat Anin sedikit kaget dan bingung. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Stevan segera menyantap makanan masakan Anin tersebut di depan mata kepala Anin.
Mata Anin tak beralih memperhatikan Stevan yang makan begitu lahap sedari tadi. Karena jujur saja, Stevan memang mengakui bahwa masakan gadis itu sungguh lezat.
"Enak nggak?" Tanya Anin setelah Stevan menghabiskan semua makanannya tanpa sisa. Pertanyaan konyol memang, saat makanan sudah habis dan pria itu tampak menikmatinya. Tapi entahlah, Anin ingin saja bertanya.
"Nggak enak" Stevan meneguk segelas air putih yang juga ada di atas nampan tersebut kemudian kembali berlalu ke dalam kamar. Meninggalkan piring bekas makanannya itu di kursi yang ada di samping Anin.
Anin tersenyum, meskipun Stevan mengatakan tidak enak, tapi tetap saja pria itu menghabiskan Ayam kecap masakannya tanpa sisa. Setidaknya, Stevan masih menghargai usahanya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Anin juga baru saja selesai mengerjakan tugas tugasnya. Gadis itu segera mengemasi kembali buku bukunya dan melirik Stevan yang masih saja sibuk dengan tugasnya sedari tadi.
"Stev, apa nggak bisa di lanjutin besok aja? dari pulang kuliah kamu nggak berenti bikin tugas. Nggak capek emangnya?" Tanya Anin dari atas tempat tidur. Namun, tak ada sahutan dari Stevan. Stevan hanya diam masih fokus pada buku dan laptop yang ada di atas meja belajar.
Anin beranjak berdiri, kemudian berjalan mendekati Stevan.
"Mau aku bantuin nggak?" Tawar Anin.
Setevan menoleh dengan tatapan tajam. Konsentrasinya pecah karena Anin sedari tadi terlalu banyak bertanya.
"Hmm. Maaf." Ucap Anin yang mengerti dengan tatapan itu. Anin kembali berjalan menuju tempat tidur. Anin menghembuskan nafas pasrah. Kemudian menarik selimut dan memejamkan matanya dengan posisi tidur menghadap ke samping.
Setengah jam berikutnya, Stevan menguap merasa mengantuk. Stevan menoleh ke arah belakang, melihat Anin yang sudah tertidur lelap.
Menutup buku-buku yang ada di meja belajar, Stevan kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok gigi sebelum tidur.
Beberapa saat berikutnya, pria itu keluar dan berjalan menuju tempat tidur. Stevan ikut merebahkan tubuhnya di samping Anin.
"Ck! nggak sopan banget tidur punggungin suami" Ucap Stevan berdecak kesal.
...Jangan lupa like ya. Makasih :)...
tinggalin saja laki kek gt, harga diri lah.. terlalu lemah
boleh tanya kah mbak gimana buat novel biar cepet dan konsisiten