Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ehem, Lagi Melamun Siapa Tuh?
Mita hanya terkikik geli, lalu mereka berdua berjalan berdampingan memasuki area kampus yang sudah penuh aktivitas. Langkah kaki para mahasiswa terdengar berirama dengan suara tawa dan obrolan yang mengisi udara pagi. Suasana terasa begitu hidup, penuh energi, seakan memberi semangat tambahan bagi Nayla untuk menjalani hari ini.
Mereka melewati taman kampus yang rindang, di mana sekelompok mahasiswa tampak duduk santai sambil membuka laptop, ada pula yang sibuk berfoto ria dengan ponsel. Aroma kopi dari kantin kecil di sudut taman samar-samar terbawa angin, bercampur dengan suara motor yang sesekali melintas di jalan dekat gerbang.
Di tengah keramaian itu, Mita menoleh ke arah Nayla dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. Ia memperlambat langkah, lalu mendekat sambil berbisik, seolah-olah mereka sedang membicarakan rahasia besar.
“Gimana tetangga baru lo? Masih genit nggak?” tanyanya, nada suaranya penuh gosip dan alisnya terangkat nakal.
Nayla langsung menghela napas panjang, kepalanya menunduk sedikit seakan baru saja ditimpa beban. Matanya membulat, tak percaya Mita mengungkit hal itu di pagi yang secerah ini. “Nanti deh gue ceritain,” jawabnya pendek sambil menggeleng pelan.
Mita langsung memanyunkan bibirnya, ekspresi kecewa terpampang jelas. “Yaaa, kenapa nanti? Ceritain sekarang lah. Gue udah penasaran banget tau! Rasanya kayak nunggu drama korea yang ending-nya digantung.” Nada suaranya dibuat setengah merengek, mirip anak kecil yang nggak sabar buka kado ulang tahun.
Nayla menghentikan langkahnya sejenak. Ia menatap Mita dengan ekspresi frustasi bercampur jengkel, lalu meletakkan satu tangan di pinggangnya. “Serius, Mit, gue tuh bener-bener nggak abis pikir sama tuh orang,” ucap Nayla, suaranya sedikit meninggi karena emosi yang ditahan. Ia kemudian mengibaskan tangannya di udara, seolah-olah ingin mengusir rasa kesalnya jauh-jauh.
Mita yang mendengar itu justru semakin penasaran. Matanya berbinar, bibirnya melengkung lebar menahan tawa. Ia merapatkan tubuhnya ke arah Nayla, lalu berbisik lagi dengan nada penuh gosip. “Kenapa emang? Dia ngapain lagi? Jangan-jangan... dia godain lo pas lo lagi pakai daster kumel di rumah?” godanya sambil cekikikan keras, sampai-sampai beberapa mahasiswa yang lewat menoleh ke arah mereka.
“Ih, Mita!” Nayla langsung memukul pelan bahu sahabatnya sambil melotot, wajahnya memerah bukan hanya karena malu, tapi juga karena bayangan yang Mita ciptakan barusan terlalu memalukan untuk dibayangkan. “Pokoknya... ya ampun, nanti gue ceritain aja deh. Kalo gue cerita sekarang, bisa-bisa gue meledak di tempat.”
Mita memasang ekspresi dramatis, kedua tangannya menutup mulut seolah-olah baru mendengar gosip besar. “Waduh, parah banget dong. Sampai bikin Nayla yang biasanya santai jadi pengen meledak. Gue makin kepo jadinya!”
Nayla hanya bisa mengangguk, napasnya berat seperti baru melepas bom emosi. Ia menarik tangan Mita agar segera berjalan lagi. “Udah, ayo jalan. Kalo kita ngobrol terus di sini, bisa beneran telat masuk kelas.”
Mita masih saja terkekeh sambil mengikuti langkah Nayla. Ia melirik ke arah sahabatnya dengan senyum penuh arti. “Oke, oke. Gue nurut. Tapi janji ya, Nay. Abis kelas nanti lo harus cerita detail. Gue butuh asupan gosip segar buat bikin hari gue cerah.”
Nayla mendengus, tapi bibirnya tersungging senyum tipis. “Iya, iya. Janji.”
Meski begitu, di dalam hati Nayla masih merasa kesal memikirkan tingkah tetangga barunya itu. Di depan orang lain, cowok itu bisa terlihat cool, tenang, dan karismatik. Tapi entah kenapa, setiap berhadapan dengannya, sikapnya selalu berubah jadi genit seolah-olah senang sekali menggoda Nayla hanya untuk melihat reaksinya. Dan parahnya lagi, meskipun kesal, Nayla tahu dirinya selalu gagal untuk benar-benar mengabaikan tingkah itu.
****
Arga sudah berada di ruang kerjanya sejak pagi, duduk tegak di balik meja kayu besar berwarna gelap yang mengkilap sempurna. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara jam dinding berdetak pelan, berpadu dengan dengung pendingin ruangan yang stabil. Laptop di depannya sudah menyala, layar memancarkan cahaya biru yang kontras dengan interior elegan nan minimalis. Semua tampak siap untuk bekerja: dokumen rapi di sisi meja, ponsel tergeletak dengan notifikasi yang ia abaikan, bahkan secangkir kopi hitam masih mengepulkan uap tipis.
Namun, jemari Arga justru tak bergerak sedikit pun di atas keyboard. Pria itu bersandar malas di kursi kulitnya yang empuk, satu tangan menggenggam pena hitam yang ia putar-putar di antara jari panjangnya. Tatapannya kosong, menembus layar laptop yang terang seolah pikirannya sedang berkelana jauh, bukan di ruangan itu.
Perlahan, bayangan wajah Nayla muncul di benaknya. Wajah itu… yang kadang terlihat menyebalkan saat sedang marah-marah padanya, mata bundarnya yang melotot penuh emosi, bibirnya yang cemberut seakan ingin menantang dunia, sampai nada suaranya yang meninggi tapi justru terdengar lucu di telinga Arga. Semua detail itu melintas begitu jelas, seolah Nayla berdiri tepat di hadapannya.
Tanpa sadar, sudut bibir dingin pria itu sedikit terangkat, membentuk senyum samar yang sangat jarang ia tunjukkan. Senyum yang bukan untuk siapa pun, hanya untuk pikiran tentang seorang gadis sederhana yang entah kenapa selalu berhasil membuatnya... berbeda. Ada sesuatu pada Nayla yang mampu meruntuhkan benteng dinginnya, meski hanya sesaat.
Namun momen itu mendadak buyar saat terdengar suara seseorang berdehem pelan.
“Ehem.”
Arga sontak terlonjak kecil. Pena di tangannya berhenti berputar, alisnya berkerut rapat. Tatapannya yang tajam segera ia lemparkan ke arah suara itu. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati seorang pria sudah duduk santai di kursi seberang meja.
“Sejak kapan lo di situ?” suara Arga terdengar rendah, dalam, namun cukup jelas untuk menekan orang lain. Ekspresinya tetap dingin, rahangnya mengeras, meski ada sedikit ketidaksukaan karena merasa kecolongan.
Pria itu Dion, sahabat lama sekaligus partner bisnisnya hanya menyeringai lebar, jelas menikmati pemandangan langka barusan. “Sejak tadi, Bro,” jawabnya santai sambil menyandarkan punggung ke kursi. Ia bahkan menyilangkan kaki dengan gaya seenaknya. “Lo terlalu asik senyum-senyum sendiri, sampe nggak sadar gue udah nongkrong di sini dari… hmm, lima menit yang lalu?” tambahnya, dengan nada menggoda.
Arga mendengus pelan, mencoba menutupi kilasan ekspresi yang barusan Dion lihat. Ia meraih pena di mejanya, memutarnya di antara jemari dengan gerakan santai, lalu berkata datar tanpa menoleh,
“Ngapain lo masih di sini?”
Dion menyandarkan tubuhnya lebih santai, satu alisnya terangkat, senyumnya penuh kemenangan. “Biasa aja. Gue cuma penasaran… siapa yang bisa bikin Arga si manusia kulkas tiba-tiba senyum sendiri? Itu fenomena langka, tau.”
Tatapan Arga teralih sejenak dari laptop, menatap Dion dengan sorot mata tajam yang membuat banyak orang biasanya ciut. “Lo kebanyakan mikir. Fokus aja sama urusan lo sendiri,” ucapnya singkat, lalu kembali menatap layar, pura-pura sibuk mengetik padahal jemarinya masih kosong di atas keyboard.
Dion malah semakin terpicu. Ia condong ke depan, suaranya merendah penuh godaan. “Aduh… reaksi lo justru bikin gue makin yakin. Gue kenal lo, Ar. Kalo lo diem gini, artinya gue nggak salah. Jadi… siapa? Cewek yang waktu itu?”
Arga menghela napas panjang. Ia menutup laptopnya perlahan, gerakannya tenang tapi tegas, lalu meraih cangkir kopi di meja. Ia menyesapnya dengan elegan sebelum menaruh kembali. Suaranya dalam, dingin, namun tetap tenang.
“Dion. Keluar.”
Bukannya takut, Dion malah tertawa kecil. “Santai, Bro. Gue cuma bercanda. Tapi serius… kalo sampe ada cewek yang bisa bikin lo lupa jaga image dingin lo, berarti dia bukan cewek biasa.”
Arga memutar kursinya, membelakangi Dion dan menghadap jendela besar yang menampilkan panorama kota. Dari balik bayangan kaca, samar-samar terlihat senyum tipis kembali menghiasi wajahnya senyum yang tak pernah ia biarkan orang lain lihat.
“Keluar, Dion,” ulangnya pelan, suaranya rendah tapi penuh wibawa, kali ini tanpa memberi ruang untuk debat.
Dion mendengus, lalu berdiri sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Oke, oke. Gue cabut. Tapi inget, Ga… rahasia kayak gini biasanya paling gampang kebongkar.” Ia terkekeh kecil sebelum melangkah keluar, pintu menutup dengan bunyi lembut di belakangnya.
Begitu ruangan kembali hening, Arga bersandar di kursinya. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Dan seperti tadi, bayangan wajah Nayla hadir begitu jelas di benaknya dengan mata bulat yang memelototinya, bibir mungil yang cemberut saat marah, hingga nada suaranya yang keras tapi entah kenapa selalu terdengar… menenangkan.
Untuk sesaat, jantung Arga berdetak sedikit lebih cepat, meski wajahnya tetap tenang dan dingin.