Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Jaring untuk Sang Pemburu
Pagi harinya, 24 jam tenggat waktu yang diberikan Jay pada Suryo Wijoyo mulai berjalan. Di rumah keluarga Tremaine, udara terasa berat oleh ketegangan. Elara menatap suaminya dengan cemas saat mereka sarapan.
"Jay, apa kau yakin ini cara yang benar?" tanyanya pelan. "Mengancam orang seperti Suryo... itu seperti membangunkan harimau yang sedang tidur."
"Harimau itu sudah lama bangun, Elara," jawab Jay tenang sambil mengaduk kopinya. "Dia hanya bersembunyi di semak-semak. Sekarang, aku memaksanya keluar ke tempat terbuka."
Bastian, yang mendengar percakapan itu, menambahkan, "Tapi apa kau pikir dia akan menyerah begitu saja? Reputasinya akan hancur."
"Orang sombong yang terpojok hanya punya dua pilihan," kata Jay. "Tunduk dengan rasa malu, atau menyerang dengan membabi buta. Aku bertaruh pada pilihan kedua."
Tepat saat ia berbicara, di Bandara Internasional Silverhaven, seorang pria turun dari penerbangan pertama dari Aethelgard. Ia tidak mencolok. Pakaiannya biasa, wajahnya mudah dilupakan, dan ia berjalan tanpa menimbulkan riak di tengah keramaian. Namun, setiap gerakannya terukur, dan matanya yang tajam memindai sekeliling dengan efisiensi seorang predator. Dia adalah 'Sang Bayangan', salah satu 'pemecah masalah' paling mahal dan paling rahasia yang bisa disewa.
Sementara itu, ponsel tua Jay yang tergeletak di meja makan bergetar pelan. Sebuah pesan baru masuk.
"Burung pemangsa telah mendarat di Silverhaven. Protokol perburuan aktif."
Jay membaca pesan itu tanpa mengubah ekspresinya. Elara, yang melihatnya, tahu itu pasti pesan dari 'Paman Chen'. Jay mengetik balasan singkat.
"Biarkan dia masuk. Siapkan jaringnya."
Siang harinya, 'Sang Bayangan' telah berada di posisinya. Dari sebuah lereng bukit yang tertutup hutan lebat sekitar satu kilometer dari base camp Gunung Hantu, ia mengamati targetnya melalui teropong dengan lensa presisi tinggi.
Ia melihat semuanya. Bastian Tremaine yang tampak sibuk. Elara Tremaine yang efisien memberikan perintah. Para pekerja yang hilir mudik. Dan target utamanya: Jay Valerius.
'Sang Bayangan' adalah seorang profesional. Ia menghabiskan berjam-jam untuk mempelajari pola. Ia melihat Jay yang lebih banyak mengamati daripada bekerja fisik. Ia melihat bagaimana para mandor dan bahkan ayah mertuanya sendiri datang padanya untuk meminta persetujuan. Ia mengidentifikasi satpam-satpam lokal yang berjaga sebagai amatir. Namun, ia juga memperhatikan beberapa 'pekerja' lain. Mereka tidak banyak bicara, tetapi cara mereka bergerak, cara mereka memindai sekeliling, menunjukkan tingkat kewaspadaan yang berbeda. Menarik, pikirnya.
Ia menyusun rencananya. Targetnya tampak paling lengah saat perjalanan pulang sore hari. Sebuah 'kecelakaan' di tikungan jalan yang sepi. Bersih, cepat, dan akan terlihat seperti tragedi biasa. Ia merasa puas. Pekerjaan ini akan mudah.
Saat senja mulai turun dan ia bersiap untuk meninggalkan pos pengamatannya, telepon satelit terenkripsi di sakunya bergetar. Sangat aneh. Nomor ini seharusnya tidak pernah menerima pesan masuk dari sumber yang tidak dikenal.
Dengan sedikit keraguan, ia membukanya.
Pesan itu tidak berisi teks ancaman. Isinya jauh lebih mengerikan.
Pesan itu berisi sebuah foto yang diambil dari sudut pandang yang berbeda, mungkin dari pohon yang lebih tinggi di belakangnya. Foto itu sangat jernih, menunjukkan punggungnya sendiri yang sedang berjongkok, mengarahkan teropong ke arah base camp.
Di bawah foto itu, ada satu kalimat.
"Selamat datang di Silverhaven. Kami harap Anda menikmati kunjungan singkat Anda."
Darah serasa surut dari wajah 'Sang Bayangan'. Jantungnya yang biasanya berdetak tenang, kini berdebar kencang. Ia seorang profesional yang telah beroperasi di zona perang dan dunia spionase selama puluhan tahun. Ia tahu apa arti pesan ini.
Ia tidak sedang berburu. Ia adalah buruannya.
Perlahan, ia menurunkan teropongnya. Matanya yang terlatih kini tidak lagi mencari kelemahan targetnya, melainkan memindai hutan di sekelilingnya dengan putus asa, mencari sumber ancaman yang tidak terlihat. Hutan yang tadinya adalah tempat persembunyiannya, kini terasa seperti sebuah kandang raksasa yang baru saja menutup pintunya di belakangnya.