Di dunia yang diatur oleh kekuatan enam Dewa elemen: air, angin, api, tanah, es, dan petir, manusia terpilih tertentu yang dikenal sebagai Host dipercaya berfungsi sebagai wadah bagi para Dewa untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kesejahteraan Bumi. Dengan ajaran baru dan lebih tercerahkan telah muncul: para Dewa sekarang meminjamkan kekuatan mereka melalui kristal, artefak suci yang jatuh dari langit.
Caela, seorang perempuan muda yang tak pernah ingat akan asal-usulnya, memilih untuk menjadi Host setelah merasakan adanya panggilan ilahi. Namun semakin dalam ia menyelami peran sebagai Host, ia mulai mempertanyakan ajaran ‘tercerahkan’ ini. Terjebak antara keyakinan dan keraguan, Caela harus menghadapi kebenaran identitasnya dan beban kekuatan yang tidak pernah ia minta.
Ini cerita tentang petualangan, kekuatan ilahi, sihir, pengetahuan, kepercayaan, juga cinta.
**
Halo, ini karya pertamaku, mohon dukungannya ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kirlsahoshii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbincangan
“Kelompok manusia murtad? Ternyata benar mereka telah dikutuk…” Sang Raja Riverbend mengangguk mendengar cerita Caela dan Fae.
Caela dan Fae mengangguk bersamaan, mereka berdua sudah tiba di kastil Riverbend sejak semalam, dan kini pagi hari mereka melaporkan hasil observasi mereka di Forgotten Ruins kepada Sang Raja sebelum kembali untuk melaporkannya kepada Shala.
“Memang belakangan ini, ada banyak laporan dan kabar para makhluk seperti mayat hidup menyerang para warga yang sedang melakukan perjalanan… Namun aku tak tahu kalau ternyata mereka hidup bersama di sebuah tempat dekat sini,” kata Sang Raja.
“Aku juga sempat lihat makhluk itu di perjalanan menuju Central,” kata Caela.
Sang Raja mengangguk lalu kembali bertanya, “Lalu, Kuil Dewa Petir itu tidak juga ditemukan?”
Caela menggeleng.
“Hmm… Sungguh aneh… Benar-benar sudah bertahun-tahun sepertinya Kuil Dewa Petir itu tidak ditemukan…” Sang Raja kemudian berdiri dari kursinya dengan tongkat lalu berjalan dengan pelan berkeliling hall.
Caela dan Fae hanya terdiam seperti sedikit frustasi dengan keadaan. Mungkin mereka harus berdiskusi kembali dengan para Hosts dan mengeksplor negeri lagi untuk mengetahui keberadaan kuil tersebut.
“Bagaimana kalau kalian bertanya pada para Dewa?” tanya Sang Raja.
Caela dan Fae mengangkat alisnya, penasaran dengan maksud Sang Raja. “Bertanya pada Dewa? Maksudmu?” tanya Caela.
“Ya, bertanya pada Dewa yang sudah menemani kalian dalam kristal, letak Dewa Petir itu berada,” katanya dengan nada santai.
Caela dan Fae melihat satu sama lain dan kembali melihat kepada Raja.
“Aku rasa itu hal yang mustahil, selama ini para Dewa ketika kami panggil hanya untuk bertempur dan melindungi manusia, jika tidak dia akan pergi kembali ke dalam kristal,” kata Fae.
“Hmm, begitu rupanya…” Sang Raja menyimak penjelasan Fae.
Caela di satu sisi, seperti mempertimbangkan apa kata Raja, dia adalah orang yang bisa menyatu dengan Dewa, mungkin dia bisa coba berkomunikasi dengan mereka. Namun perasaan Caela berkecamuk, takut dengan apa yang dia lakukan itu menuju kepada kenyataan yang mengerikan, tapi dia ingin tahu dengan kenyataan, walau dia tahu dia harus siap dengan segala apa pun tentang kenyataan saat ini. Lagipula, selama ini dia percaya dengan kata Dewa dan dia ingin melakukan hal ini.
**
Malam hari, Caela tak bisa tidur di kamar kasti Riverbend, dia merencanakan untuk pergi ke Kuil Dewa, Varuna malam ini, dia ingin coba berkomunikasi dengan-Nya. Dia pun keluar kamar lewat jendela tanpa alas kaki, mencoba melangkah tanpa suara seperti angin yang berhembus. Dia jalan melewati pepohonan hingga tiba di danau tempat Kuil Dewa Varuna berada. Di tepi pantai Caela melantunkan mantra sihir untuk bisa berjalan di atas air dan mengarah ke arah Kuil Dewa Air. Di saat yang sama, Fae di kamar kastil melihat Caela dari kejauhan, mengamati segala gerak-gerik Caela menuju kuil tersebut.
Caela tiba di Kuil Dewa Varuna kembali, dia melangkah ke arah tepi dermaga batu dan memanggil Varuna kembali. Sinar kembali keluar dari tubuhnya, banyak energi yang hilang namun membuat tubuh Caela ringan. Dia kembali berubah wujud menjadi Dewa Varuna.
“…. Engkau menyimpan banyak pertanyaan, keraguan, dan ketakutan,” kata Dewa Varuna, suaranya terdengar langsung dari benak Caela. Mereka seperti sedang berkomunikasi dalam hati.
“Ya… Hamba ingin minta tolong padamu, Dewa Varuna yang Agung… Beri hamba jawaban…” kata Caela.
“Apakah Engkau siap dengan segala kenyataan, Yang Terpilih?”
Caela terdiam sejenak, dan memejamkan matanya dalam wujud Varuna. “Aku harus siap, tuntun aku ke jalan kebenaran,” katanya Caela, rasanya bercampur aduk saat mengucapkan hal tersebut namun rasanya lebih pada berserah diri pada takdir.
“... Jupiter… Kawan kami, sudah ada di dalam wadah yang tepat. Namun tersegel.” ungkap Dewa Varuna.
Caela langsung melebarkan matanya, sinar kembali menyinari tubuhnya, dia kembali dalam tubuh manusia. Dewa Varuna seperti kembali ke tubuh Caela karena ingin mengakhiri percakapannya. Pikiran Caela berkecamuk, ‘sudah ada di dalam wadah yang tepat’ namun tersegel? Caela semakin bertanya-tanya, jika wadah yang dimaksud dalam kebenaran adalah Host yang asli, berarti Dewa Petir berada Dewa Jupiter ada dalam tubuh manusia?
**
Caela keluar dari Kuil Dewa Varuna, lalu dia kembali ke kamarnya. Saat dia hendak masuk kamar melalui balkon, dia kaget karena di kamarnya tiba-tiba ada Fae yang seperti sudah menunggu.
“Habis mencari angin segar di luar, ya?” tanya Fae dengan nada menggoda sambil duduk di kursi.
Caela melebarkan matanya terkejut melihat kehadiran Fae, “Fae, apa yang kau lakukan di sini?” jawab Caela mencoba tenang.
“Oh, mengalihkan pembicaraan…” kata Fae menyeringai, dia menopang dagunya dengan tangan kanannya, tato di tangannya terlihat jelas dan membuat Caela kembali terganggu kembali.
“Aku hanya… Tidak bisa tidur,” kata Caela.
Fae terdiam sejenak melihat Caela, “Apa yang kau lakukan di Kuil Dewa Air?” tanya nya penasaran.
Caela terdiam, dia tidak ingin menceritakan kalau dia baru saja berkomunikasi dengan Dewa Varuna pada Fae. Dia takut akan reaksi Fae dan tentang Caela yang perlahan mulai percaya sedikit demi sedikit dengan mitos ajaran lama. Caela kali ini memilih diam lalu Fae kembali bicara.
“Kau mencoba berkomunikasi dengan Dewa Varuna, ya?” tanya Fae dengan santai.
Caela melebarkan matanya terkejut dengan kata-kata Fae. Caela tidak bisa mengelak tapi dia tak ingin bicara. Dia masih tidak tahu apa Fae adalah orang yang bisa dia percaya.
“Ya, tapi tak berhasil…” katanya pelan.
Fae mengangguk pelan, hal itu sangat masuk akal menurutnya, karena selama ini Fae hanya bisa memanggil Dewa untuk melindunginya dari serangan. Fae lalu menghela napas dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
“Tahu tidak? Aku itu sempat berpikir juga kalau bertanya pada Dewa itu mungkin bisa dilakukan…” kata Fae.
Caela hanya terdiam dan tak ingin menyanggah lalu Fae lanjut bercerita.
“Karena… Sejak aku kecil aku seperti sering mendengar suara Dewa menyampaikan pesan yang sama berulang kali padaku…” kata Fae dengan santai.
Caela menaikkan alisnya, rasa penasarannya tumbuh dalam dirinya. “Pesan? Seperti apa?” tanyanya.
Fae melihat Caela dan berbicara, “... Gelombang telah berubah. Namun badai belum datang. Biarkan badai itu datang… Maka para Dewa akan kembali ke semesta.”
Caela melebarkan matanya dia tahu persis suara tersebut terus datang terus dalam benaknya sejak Dewa Varuna bersemayam dalam dirinya. Bagaimana mungkin Fae juga mendengar hal yang sama? Apakah kami berdua dipanggil oleh Dewa? Caela pun mencoba merespon senetral mungkin.
“Kau mendengarnya? Bukankah itu mitos tabu lama para kelompok murtad yang dikutuk?” tanya Caela.
Fae terdiam lalu dia berdiri dari duduknya, “Aku tahu, tapi suara itu terus datang padaku. Menurutmu itu apa?” tanya Fae dengan nada kasual.
Caela hanya terdiam, dia ingin bercerita hal yang sama namun dia mengurungkan niatnya, tidak sekarang, katanya, hatinya bergejolak.
“Aku pernah cerita pada ibuku soal ini, tapi beliau memarahiku dan terus mengingatkan, kalau jangan ucapkan itu pada siapapun karena itu adalah sebuah frasa mitos lama dari kelompok murtad…” kata Fae.
“Apakah para Host lain juga mendengar hal yang sama?” tanya Caela penasaran.
“Alana, Valia, dan ibuku, semua tak pernah dengar,” kata Fae melihat ke arah langit yang penuh bintang.
Pikiran Caela kini bercampur aduk. Jantungnya tiba-tiba sedikit berdebar, dia mulai mencurigai sesuatu yang janggal dari Fae, sesuatu yang janggal yang juga Caela miliki.
“Kalau kau bagaimana Caela? Apakah kau mendengar suara itu?” tanya Fae menatap mata Caela dengan dalam, seperti menuntut sebuah jawaban.
Caela hanya terdiam, menatap mata merah Fae yang selalu mengingatkannya kepada Rieva. Apakah dia harus berusaha jujur kepada Fae saat ini?
***