Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?
Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.
“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”
“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”
Ahtar tersenyum, lalu...
“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”
Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?
#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Berdamai
..."Jika Allah memintaku untuk menunggu, berarti aku berada dipihak yang baik. Dan itu bentuk sayang-Nya kepadaku... Hamba-Nya."...
🌹🌹🌹
"Hubby... Apa Akhtar baik-baik saja? Bukankah tadi dia tidak ada di rumah?" tanya bunda Khadijah dengan nada khawatir.
Abi Yulian menghela napas berat. "Hubby tidak tahu pasti bagaimana keadaannya, Neng. Handphonenya tidak bisa dihubungi." Begitu kata Abi Yulian. "Jika Neng khawatir nanti bisa mampir ke rumah sakit setelah dari sini."
Bunda Khadijah mengangguk—setuju. Setelah itu Bunda Khadijah dan Abi Yulian menunggu kedatangan Zuena di serambi Masjid. Dan tidak lupa Bunda Khadijah menyiapkan gamis dan jilbab yang dibutuhkan oleh Zuena saat masuk Islam nanti.
🌹🌹🌹🌹
Pagi itu sebelum mulai bekerja Akhtar memutuskan untuk mandi di ruang kerjanya. Rasanya ia tak mungkin akan melakukan visite pada pasiennya dengan badan yang bau, karena keringat telah tinggal di badannya sejak semalam. Setelah lima belas menit akhirnya Akhtar keluar dari kamar mandi, tanpa menunggu lama ia segera memakai kemeja merah dan celana kain hitamnya.
"Aku akan mulai berdamai dengan takdir yang tak seindah impianku. Mungkin hari ini semesta masih membentangkan jarak antara kita, tapi aku akan terus melangitkan harapan indah untuk kita berdua—tanpa jeda." Akhtar tersenyum tipis saat masih berdiri di depan cermin yang ada di kamar mandi, mematutkan penampilannya sebelum melakukan pekerjaan.
Setelah merasa penampilannya ok, ia pun keluar dan memakai snellinya. Tepat pukul 07.00 waktu setempat Akhtar akan mulai melakukan tugasnya kembali, melihat data pasien sambil menunggu suster Laura datang—pengganti sementara suster Talia yang sedangkan mengambil cuti.
Akhtar duduk di kursi kerjanya, lalu membuka laptop dan mengambil kacamata di atas meja yang selalu bertengger di hidungnya saat melakukan tugas sebagai dokter.
Akhtar berusaha untuk fokus melihat data-data pasiennya, namun sebuah pesan singkat tiba-tiba masuk, membuatnya tersenyum lebar di pagi hari yang cerah.
Hafizha🌹🌹 📞
Morning my brother! Sorry, if i didn't come to see you. But, i have a surprise for you. Wait to few minutes. Ok.
"Kejutan apa coba yang dimaksud? Paling suka jahil nih anak," ucap Akhtar diakhiri dengan senyuman.
Akhtar pun mengirim balasan pada Hafizha.
Belajar yang bener, jangan terlalu memikirkan tentang jurusan yang kamu ingin kamu tuju. Fokus belajar saja dulu, masalah itu bisa dipikirkan sambil berjalan. Abang akan selalu mendukung apapun itu, kecuali yang membahayakan dirimu. Sungguh abang tak suka jika kamu akan terjun menjadi detektif negara maupun swasta.
Selang beberapa menit kemudian. Suara ketukan pintu terdengar pelan. Akhtar pun meminta orang itu segera masuk, agar ia juga tahu siapa yang ada di sana.
"Pagi, Dok! Ini ada jadwal visite pagi ini dan sekaligus ada data pasien yang mau konsultasi." Suster Laura memberikan dua map merah pada Akhtar.
"Ok, terima kasih. Dan... Suster Laura tolong siapkan semuanya, lalu ikut dengan saya untuk melakukan visite," balas Akhtar diakhiri senyum ramah.
"Baik, Dok. Tapi... Apa boleh saya ijin sarapan dulu? Soalnya saya belum sempat sarapan di rumah tadi."
"Tentu."
Suster Laura pun segera undur diri dari hadapan Akhtar dan kembali ke ruangannya. Akhtar sendiri sampai lupa jika ia juga belum sarapan pagi itu. Bahkan rasa lapar seakan tak dirasakannya. Namun, selang beberapa menit setelah suster Laura keluar kembali pintu diketuk pelan.
"Masuk!" titah Akhtar.
"Maaf! Saya ingin mengantarkan jasa kirim makanan untuk... Dokter Akhtar."
"Iya, saya sendiri. Apakah ini dari Hafizha?"
"Iya, Dok." Pengirim makanan itu mengangguk.
"Ok, terima kasih ya, Mas."
Setelah pengirim makanan itu pergi Akhtar membuka bingkisan itu. Seketika alisnya berkerut setelah melihat menu sarapan yang dipesan Hafizha untuknya. Ada nasi biryani, kebab dan juga yogurt. Amunisi pagi yang cukup untuk menambah stamina.
"Luar biasa!" ungkap Akhtar setelah lidahnya mengecap nasi biryani.
Makanan halal di Skotlandia yang rasanya gurih akan rempah-rempah di dalamnya. Meski tak merasa lapar, namun Akhtar menghabiskan sarapan paginya dengan lahap, bahkan hampir tak tersisa—menghargai apa yang di berikan Hafizha untuknya, karena itu bentuk kasih sayang dari seorang adik yang tak ingin dilupakan Akhtar begitu saja.
Dan tepat jam delapan pagi Akhtar mulai melakukan visite pada pasien pertama, tak lupa suster Laura menemaninya.
Di ruangan inap pertama Akhtar akan melakukan visite pada seorang perempuan paru baya, lalu dilanjut ke ruang kedua seorang laki-laki yang berprofesi karyawan biasa yang bekerja di salah satu perusahaan besar, saat itu mengalami sesak napas, dan yang ketiga di ruang rawat Tuan Arman.
"Selamat pagi, Kek!" sapa Akhtar dengan senyuman.
"Pagi..."
"Akhtar saja tak apa kok, Kek." Akhtar mengulas senyumnya kembali. "Bagaimana keadaan Kakek pagi ini? Akhtar lihat semalam tidurnya pulas juga," kata Akhtar sambil memeriksa kondisi Tuan Arman.
"Ya, alhamdulillah cukup membaik. Bahkan kalau diminta untuk penerbangan ke Indonesia saat ini juga Kakek pun sanggup."
Akhtar menoleh, lalu tergelak tawa. "Apa Kakek sedang bercanda?" tanya Akhtar dengan alis bertaut.
"Seperti yang kamu pikirkan, Kakek tak berani melanggar aturan dokter yang profesional seperti kamu bahwa Kakek tak boleh pergi sendirian. Tapi sungguh, Kakek merasa cemas dengan keadaan keluarga Kakek."
"Don't worry! Akhtar akan mencoba untuk menghubungi Adelard lagi." Akhtar menggenggam tangan Tuan Arman sembari mengulas senyum.
"Tapi anak itu terlalu badung. Mana mau angkat telepon dari nomor tak dikenal." Tuan Arman menatap Akhtar dengan tatapan sendu.
"Tidak mungkin. Dia pasti akan menerima panggilan dari aku," ucap Akhtar yakin.
Untuk membuktikan pada Tuan Arman Akhtar merogoh saku snellinya dan mengambil handphonenya. Lalu ia mencari kontak dengan nama Adelard. Selang beberapa menit kemudian panggilan dari seberang sudah terhubung. Kebetulan juga di Jakarta masih jam empat sore, Adelard biasanya ada di rumah. Hal itu bisa diprediksi oleh Akhtar, karena sudah hapal dengan semua kegiatan lelaki remaja itu.
"Bang, sorry tentang yang kemarin... Karena gue nggak suka sama sikap bang Kei." Begitu kata Adelard setelah mengucap salam.
"Lantas sekarang? Apa... Kalian sudah berdamai?" tanya Akhtar dengan sikap yang begitu tenang.
"Ya. Gue paling tak suka jika harus bertengkar sama saudara sendiri. Tapi... Gue perlu bantuan bang Akhtar untuk menasihati abang gue. Bang Akhtar mau, kan?"
"Boleh. Mana abangmu?"
Layar handphone Adelard tergerak, lalu wajah Kei pun terlihat jelas di layar Akhtar. Sebelum ke inti pembicaraan Akhtar menyapa Kei dengan obrolan basa--basi. Dan Tuan Arman ikut mendengarkan.
"Kamu tak perlu mengkhawatirkan, menyesali, marah dan bahkan membenci takdir yang sudah Allah tentukan. Kamu pun tahu, Allah adalah pemegang skenario kehidupan kita. Meskipun kita memiliki rencana yang matang, tapi jika Allah memberimu kembali jalan yang tak lurus, maka... kita hanya bisa menjalaninya."
"Mungkin kamu dan abang hampir sama. Kamu berpisah dengan kekasihmu karena... pernikahan yang tak terduga. sedangkan abang... Abang tak pernah memilikinya sedikit pun, tapi cinta itu masih ternanam di dalam sanubari. Karena kita yang tak se-iman. Dan itu hukum tabu yang tak bisa dilanggar."
"Sakit... Jelas. Tapi abang mulai berdamai dengan takdir yang mempermainkan kita. Jika memang kita tidak ditakdirkan bersama, maka cukup balut rindumu padanya dengan do'a.”
“Keinandra Athar Wijaya... Sampai sini apakah sudah mengerti?” tanya Akhtar yang diangguki kecil oleh Keinandra.
Akhtar bernapas lega, meskipun ia sendiri merasa tak mampu menjalani, tapi ia berusaha untuk meyakinkan orang lain. Dan itu adalah hal yang bisa membuat Akhtar yakin jika ia juga mampu—harus.
Tadinya aku tak yakin bisa melakukannya. Tapi aku percaya... Jika Allah memintaku untuk menunggu, berarti aku berada dipihak yang baik. Dan itu bentuk sayang-Nya kepadaku... Hamba-Nya. Batin Akhtar.
“Dan abang juga ingin mengatakan bahwa...” Akhtar mengatakan kondisi Tuan Arman.
Dan Akhtar berusaha meyakinkan Adelard dan Keinandra agar tidak perlu khawatir dengan kondisi Tuan Arman.
“Iya. Kakek benar tidak apa-apa, hanya... Berita itu terlalu mengejutkan untuk Kakek.”
“Jangan khawatir, Kek! Al yakin, semua akan terbongkar, kejahatan dan kebusukan laki-laki itu. Cepat atau lambat Dia akan bergerak untuk mengungkap semuanya.”
Obrolan itu pun diakhiri, karena Akhtar harus kembali bekerja. Ada satu pasien yang akan melakukan konsultasi. Namun, konsultasi itu dilakukan bukan di ruangan Akhtar, melainkan di ruangan Direktur utama.
🌹🌹🌹🌹
Abi Yulian, Bunda Khadijah dan Zuena serta Adam bernapas lega, karena proses masuk Islam telah berjalan lancar. Dengan dibimbing seorang Kyai Zuena dan Adam akhirnya menganut agama Islam.
“Bunda senang, akhirnya kalian masuk Islam juga. Dan Bunda akan selalu berdoa agar kalian tetap istiqomah. Karena setelah ini kita tidak tahu kapan akan berjumpa lagi.” Bunda Khadijah menatap Zuena dengan tatapan sendu.
Rasanya tak ingin perpisahan itu terjadi. Namun, Bunda Khadijah mencoba memahami kehidupan Zuena, seperti yang dikatakan Zuena.
“Bunda jangan khawatir! Jika masih ada kesempatan hidup, Zuena dan Adam akan mengunjungi Bunda. Di mana pun Bunda dan Abi berada Zuena akan datang. Doa kan saja yang terbaik untuk kita.” Zuena memeluk Bunda Khadijah dengan erat, merasakan kasih sayang sosok ibu yang lama ia rindukan.
“Pasti.”
Setelah pelukan itu dilerai, Zuena dan Adam berpamitan pada Abi Yulian dan Bunda Khadijah. Hari itu juga Zuena sudah memutuskan untuk melakukan misinya.
Sedangkan Abi Yulian dan Bunda Khadijah pergi ke rumah sakit untuk menemui Akhtar.
🌹🌹🌹🌹🌹
Di dalam ruangan yang besar itu Akhtar bertemu dengan Direktur utama rumah sakit dan juga Tuan Earl. Keluarga Campbell—klan Skotlandia yang terkenal, khususnya di Dataran Tinggi.
“Dia... Dokter Akhtar. Dokter profesional di rumah sakit kami. Jika Anda ingin lebih lanjut untuk konsultasi kita bisa atur jadwal yang tepat.”
“Saya ingin... Anda menyiapkan ruangan privasi untik saya mengobrol dengan Dokter Akhtar sekarang. Karena saya ingin bicara empat mata dengannya sebelum putri saya melakukan tindakan lebih lanjut.”
Bersambung...