Kejahatan paling menyakitkan bukan diciptakan dari niat jahat, tapi tumbuh dari niat baik yang dibelokkan.
Robert menciptakan formula MR-112 untuk menyembuhkan sel abnormal, berharap tak ada lagi ibu yang mati seperti ibunya karena kanker. Namun, niat mulia itu direnggut ketika MR-112 dibajak oleh organisasi gelap internasional di bawah sistem EVA (Elisabeth-Virtual-Authority). Keluarga, teman bahkan kekasihnya ikut terseret dalam pusaran konspirasi dan pengkhianatan. Saat Profesor Carlos disekap, Robert harus keluar dari bayang-bayang laboratorium dan menggandeng ayahnya, Mark, seorang pengacara, untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya. Misteri ini bukan sekadar soal formula. Ini tentang siapa yang bisa dipercaya saat kebenaran disamarkan oleh niat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Silalahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Yang Menghilang
...“Saat pengkhianatan tak lagi datang dari luar, melainkan tumbuh diam-diam di tengah mereka yang dipercaya, Laboratorium Desa mendadak menjadi medan perang sunyi yang tak terlihat, namun mematikan.”...
Jesika berdiri di tengah ruang kerja dengan napas memburu, Apple Watch masih di tangannya. Ia memutar badan, menatap para ilmuwan yang baru masuk kembali dari halaman belakang.
“Jerry … dia kabur,” suaranya tercekat. “Dia salin dan bawa file MR-112 yang tersimpan di komputer Robert.”
Semua pandangan terarah padanya. Beberapa terdiam, lainnya langsung saling pandang penuh kaget.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Indra, salah satu ilmuwan senior.
Jesika mengangkat jam itu. “Dia tinggalkan ini di atas tempat tidur. Ada pesan ... dari nomor luar. Menyuruhnya salin file dan jangan tinggalkan jejak.”
“Kau yakin dia tidak kembali ke ruangannya?” sahut Gina, salah satu analis biokimia.
Jesika menggeleng cepat. “Semua bajunya masih di lemari. Bahkan jaket yang dia pakai setiap hari masih tergantung. Dia kabur hanya dengan pakaian di badan.”
Suasana langsung berubah tegang. Beberapa ilmuwan mulai memeriksa sistem internal, sementara Jesika memegang kepala, napasnya mulai tersengal.
“Aku yang tanggung jawab ... Aku yang terlalu percaya dia ...,” katanya, air matanya mengalir. “Aku pikir dia tulus membantu ... ternyata dia hanya pura-pura.”
Indra segera menghampiri dan menepuk pelan bahunya. “Jesika, ini bukan salahmu. Siapa pun bisa tertipu kalau pengkhianatnya tahu cara menyamar. Yang penting sekarang kita harus bertindak cepat.”
“Benar,” sahut Gina. “Kau sudah lakukan yang benar dengan memberi tahu kami.”
Indra mengangguk ke salah satu rekannya. “Kabari Robert sekarang juga.”
Jesika yang masih gemetar mengambil tablet komunikasi, menekan tombol panggil ke rumah sakit.
Beberapa detik kemudian, wajah Robert muncul di layar. Ia berdiri di lorong rumah sakit, di samping Misel dan Profesor Carlos.
“Jesika?” suara Robert penuh tanya. “Kenapa wajahmu ...?”
Jesika langsung terisak. “Robert ... aku ... aku ... Jerry kabur. Dia bawa data MR-112 dari komputermu. Aku temukan jam tangannya dengan pesan dari nomor asing. Aku ... aku nggak bisa diandalkan ...”
Misel yang berdiri di belakang Robert langsung memegangi bahu Robert yang menegang.
“Tenang, Jesika,” ucap Robert cepat, menahan emosi. “Kau sudah lakukan hal benar dengan memberitahu kami. Ini bukan salahmu. Yang salah hanya Jerry.”
Profesor Carlos maju sedikit, wajahnya serius. “Kami akan kembali sekarang juga. Pastikan semua sistem dikunci dan tak ada yang keluar masuk.”
Setelah sambungan terputus, Robert berbalik ke arah Mark yang terbaring di ranjang ICU, matanya terbuka mendengarkan.
“File MR-112 disalin dan dicuri, Ayah,” ucap Robert pelan.
Mark mendesah pelan, menahan rasa sakit di bahunya. “Masalah baru lagi. Tapi aku bisa menduga sih. Pasti mereka tidak tinggal diam dan punya 1001 cara mendapatkan formula Robert ... Tapi kalian harus kejar dia. Jangan biarkan dia mencapai tujuannya.”
“Aku ikut,” ujar Mark mencoba duduk tegak.
“Tidak, Ayah,” ujar Robert cepat. “Kau masih harus dirawat. Aku takkan ambil risiko.”
Roy yang berdiri tak jauh ikut mendekat. “Kami yang berangkat. Kami bagi dua tim.”
Robert mengangguk. “Om Roy, Om Denny, Profesor Carlos, Misel, dan aku ke Laboratorium Desa. Om Samuel, kau tetap di sini jaga ayahku. Jesika akan butuh dukunganmu juga. Bawa dua personel Sabhara dan anak buah Om Denny untuk pengamanan.”
Samuel mengangguk cepat. “Dipahami.”
Mark menatap mereka semua dengan mata berat. “Jaga data itu ... dan jaga satu sama lain.”
Robert menggenggam tangan ayahnya. “Kami akan kembali dengan kabar baik.”
Beberapa menit kemudian, dua kendaraan hitam meninggalkan pelataran rumah sakit. Di dalamnya, Robert dan tim melaju menuju Laboratorium Desa.
Dan di dalam Laboratorium itu, sistem pendingin ruangan berdengung pelan di antara layar-layar yang masih menyala, namun satu data terpenting di dunia telah di copy ditempat dia berada.
Sementara di luar sana, seorang pria melangkah tenang melewati terminal bus antarprovinsi, dengan sebuah sepatu bot yang menyimpan rahasia besar di balik solnya.
Jejaknya menghilang. Tapi bayangannya … baru saja dimulai.
***
Mobil hitam yang membawa Robert, Roy, Denny, Profesor Carlos, dan Misel menembus jalan desa yang masih basah oleh embun pagi. Di dalam kendaraan, suasana begitu hening dan tegang, menahan letupan emosi yang belum sempat meledak sejak kabar kebocoran data MR-112.
“Seberapa lengkap file yang ada di komputer itu?” tanya Roy memecah keheningan.
Robert menatap lurus ke depan. “Itu versi terproteksi. Dan ada dua bagian, MR-112 A dan yang inti MR-112 X. Tapi kalau Jerry punya akses cukup, dia bisa membuka struktur intinya. Dan jika itu jatuh ke tangan yang salah ... dunia bisa berubah dalam hitungan minggu.”
Profesor Carlos menghela napas berat. “Aku tidak pernah menyangka Jerry. Bahkan aku sempat mengajaknya berdiskusi soal bio-nano chimera dan dia mengangguk seperti ilmuwan sejati.”
“Orang seperti dia tahu bagaimana memainkan wajah,” gumam Denny. “Tapi kita masih punya waktu.”
Misel yang duduk di sebelah Robert menggenggam tangannya. “Yang paling penting sekarang: kita pastikan sisa sistem MR-112 tidak bisa dibuka tanpa kode indukmu, Robert.”
Robert mengangguk pelan. “Kode itu hanya aku yang tahu. Bahkan AI yang kupasang tak bisa membukanya.”
Sesampainya di Laboratorium Desa, mereka disambut oleh Jesika yang berlari kecil ke arah mobil. Wajahnya masih sembab, namun keteguhan tampak dalam sorot matanya.
“Dia lewat jalur belakang,” ujar Jesika tanpa basa-basi. “Drone pengintai yang kupasang semalam mendeteksi gerakan kecil sekitar pukul delapan pagi. Kami baru sadari sekarang, setelah aku rekam ulang data log.”
Roy dan Denny langsung bergerak ke ruang monitor. Sementara Robert, Profesor Carlos, dan Misel masuk ke ruang server pusat.
Robert duduk di depan komputer utama dan mulai mengetik cepat.
“Apa kau bisa tahu file mana yang diambil?” tanya Profesor Carlos.
Robert mengangguk. “Dia akses arsip sistem dari terminal kedua. Tapi ...”
Robert berhenti sejenak.
“Apa?” tanya Misel cepat.
“Dia hanya ambil satu varian. MR-112_A. Tapi tidak sempat ambil MR-112_X, bagian yang paling kritis.”
Carlos mengangguk pelan. “Setidaknya ... kita masih punya bagian terpentingnya.”
Sementara itu, di dalam bus yang melaju cepat menuju kota pesisir, Jerry duduk tenang di bangku pojok dekat jendela. Ia menatap laut dari kejauhan dengan wajah datar, namun tangannya menyentuh sepatunya perlahan.
Di sampingnya, seorang pria tua berseragam bersih duduk, membaca koran dalam bahasa asing.
“Perjalanan panjang, Nak?” tanya pria itu ramah.
Jerry menoleh singkat. “Menuju tempat yang lebih baik,” katanya datar.
Pria itu tersenyum samar. “Tempat lebih baik selalu terlihat indah, sampai kau sadar siapa yang menunggumu di sana.”
Jerry hanya menatap keluar, sementara pesan baru muncul di jam tangan digital barunya.
“Pesawat akan berangkat pukul 18.00. Bawa data. Jangan terlambat.”
—KH
,, biasany org2 yg menciptakan formula/ obat itu untuk menyembuhkan seseorg yg dia sayang