NovelToon NovelToon
INDIGO

INDIGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'

mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.


suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31. Cafe RS

Pagi itu, semuanya terasa normal—anehnya. Tidak ada suara tawa serak di luar rumah, tidak ada hawa dingin yang menusuk tulang, dan bahkan malam tadi aku bisa tidur lumayan nyenyak meskipun sesekali terbangun karena mimpi samar.

Saat matahari mulai naik, aku dan Wita berangkat ke kantor seperti biasa. Suasana kantor Horizon agak lengang, suara ketikan keyboard dan dering telepon terdengar jadi satu. Para penunggu kantor—makhluk-makhluk yang biasanya mondar-mandir di sudut ruangan atau sekadar menatapku dari kejauhan—hari itu hanya diam. Mereka menatapku, tapi tidak mendekat, seolah… menunggu sesuatu.

“Eh, kenapa mereka kayak diem semua ya hari ini?” bisik Wita sambil melirik ke arah lorong.

Aku hanya mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin mereka juga tau gue lagi nggak mood diganggu. Lagian setelah kemarin… gue rasa mereka juga nggak berani macem-macem.”

Seharian kerja pun berjalan tanpa gangguan berarti. Nggak ada komputer yang tiba-tiba nyala sendiri, nggak ada pintu yang kebanting, dan nggak ada suara langkah kaki yang nggak jelas sumbernya. Seolah hari itu… kantor pengen ikut damai.

Menjelang sore, Wita melirik jam tangannya dan menepuk pundakku. “Eh, Nad… kita kan bisa pulang cepet hari ini, ya? Gimana kalau sebelum balik, kita mampir ke rumah sakit?”

Aku menoleh, bingung. “Ngapain? Gue nggak sakit kok.”

Dia terkekeh. “Bukannya lo, bego. Gue kangen Gilang. Lagian, Joan juga di sana kan? Sekalian liat mereka berdua kerja, siapa tau bisa minta mereka traktir abis shift.”

Aku mendesah, pura-pura malas. “Hah… dasar bucin. Tapi yaudah deh. Gue ikut aja. Daripada kita bengong di rumah dulu.”

Kami berdua pun keluar kantor, naik mobil, dan menuju rumah sakit tempat Joan dan Gilang bekerja. Langit sore terlihat cerah, nggak ada tanda-tanda gangguan aneh… tapi di sudut pikiranku, aku nggak bisa benar-benar santai. Rasanya… malam ini bakal ada sesuatu lagi.

Rumah sakit sore itu terasa sibuk seperti biasa—suara langkah kaki, aroma antiseptik, dan suara mesin monitor dari ruang perawatan bercampur jadi satu. Aku dan Wita melangkah masuk lewat lobi, mencari tahu posisi Joan dan Gilang yang masih sibuk di ruang forensik.

“Gue kangen banget sama Gilang, Nad,” gumam Wita sambil nyengir.

Aku mendengus kecil. “Halah, Kalau Gue sih, malah pengen Joan cepet selesai biar bisa pulang sama-sama.”

Kami berjalan melewati koridor utama… dan tiba-tiba, langkahku terhenti. Dari arah berlawanan, ada seseorang yang wajahnya langsung bikin aku ingin pura-pura nggak liat.

Zidan.

Dulu, waktu SMA, dia adalah cowok populer yang ngejar-ngejar aku. Dari kirim bunga ke sekolah, sampai tiba-tiba nongol di depan rumah. Aku yang waktu itu cuma pengen hidup tenang jadi sebal setengah mati. Dan sekarang… ternyata dia kerja di rumah sakit yang sama dengan Joan. Lengkap sudah.

“Eh… Nadia?” suaranya ramah, senyumnya masih sama kayak dulu—terlalu percaya diri. Dia menghentikan langkah, menatapku dari ujung kaki sampai kepala. “Wah, lama banget nggak ketemu. Aku nggak nyangka kita bakal satu tempat kerja… yah, hampir.”

Aku berusaha tersenyum sopan. “Oh… Zidan. Iya, lama nggak ketemu.”

Wita berdiri di sampingku, jelas menahan tawa melihat ekspresiku yang kaku.

Dan di saat yang sama, Joan dan Gilang muncul dari arah lorong forensik. Joan mengenakan jas putihnya, wajahnya tampak agak lelah tapi tetap rapi. Begitu matanya menangkap aku… dan Zidan yang masih berdiri terlalu dekat, sorot matanya langsung berubah.

Joan mendekat, berdiri di sampingku. Tangannya otomatis menyentuh punggungku, gerakannya protektif.

“Sayang, kamu udah sampai?” suaranya terdengar biasa, tapi tatapannya ke Zidan… dingin.

Zidan cuma tersenyum, seolah nggak sadar ketegangan. “Oh, jadi kalian…?” Dia melirik cincin di jariku. “Wah, pantas aja. Nadia udah nggak single lagi, ya. Selamat, ya.”

Joan menahan rahangnya, senyumnya tipis. “Terima kasih, Dokter Zidan.” Nada suaranya datar, tapi jelas terasa nada peringatan di baliknya.

Wita, yang dari tadi menahan diri, akhirnya nyeletuk pelan ke Gilang, “Kayaknya bakal ada perang dingin nih…”

Gilang cuma geleng pelan, sambil berbisik balik, “Joan tuh kalau cemburu serem, Ta.”

Aku berdehem, mencoba memecah suasana. “Zidan, kami harus ketemu Gilang dan Joan. Nanti aja ngobrolnya ya, aku lagi buru-buru.”

Zidan mengangguk santai. “Tentu. Sampai ketemu lagi, Nad.”

Begitu dia pergi, Joan masih berdiri di sampingku, tangannya nggak lepas dari punggungku. Matanya menatap ke arah lorong tempat Zidan menghilang.

“Aku nggak suka cara dia ngeliat kamu,” katanya pelan, nadanya rendah tapi jelas.

Aku menoleh, mencoba tersenyum menenangkannya. “Kak… itu masa lalu. Nggak usah dipikirin. Aku sama kamu sekarang, kan?”

Joan akhirnya menatapku, menghela napas panjang, dan tersenyum kecil. “Iya… cuma… aku nggak bakal biarin dia deketin kamu lagi.”

Kafe rumah sakit sore itu agak sepi, cuma ada suara mesin kopi dan obrolan samar dari dua meja di pojok. Aku duduk di kursi empuk dekat jendela bersama Joan di sebelahku. Di seberang, Wita dan Gilang duduk berdekatan, kelihatan lebih sibuk saling pandang ketimbang menikmati kue di depan mereka.

Joan menyender santai ke kursi, lengan kanannya ada di sandaran kursiku. Aku melirik mereka berdua di seberang, tersenyum kecil.

“Lo berdua betah banget nongkrong di kafe RS gini? Atau ini cuma alasan lo, Ta, biar bisa ketemu Gilang tiap hari?” tanyaku sambil menggoda.

Wita langsung melotot pura-pura kesal. “Ya kali gue tiap hari. Tapi kan kita semua tinggal serumah sekarang, jadi gue juga nemenin lo biar nggak bete. Sekalian aja ketemu Gilang, kan nggak ada salahnya.”

Gilang menimpali sambil nyeruput kopinya. “Iya, Nad. Lo kan tiap hari bisa ketemu Joan. Gue sama Wita nggak bisa sering-sering jadwal sibuk, jadi mumpung bisa, gue nggak mau nolak.”

Joan menatap Gilang sekilas. “Ya, tapi lo jangan lebay juga, Lang. Kita semua sibuk kerja. Lo untung ada yang rela datengin ke RS, jangan malah pamer.”

Wita ngakak, nyikut Gilang. “Tuh, dengerin kata Joan. Lo jangan kepedean.”

Aku ikut ketawa, lalu menatap Joan. “Kamu nggak apa-apa kan kalau kita sering ke sini? Toh, kita juga nggak tiap hari nongkrong gini.”

Joan menoleh ke arahku, senyum tipis terpasang. “Nggak apa-apa kok. Selama kamu nyaman, aku juga tenang. Tapi…” dia berhenti sebentar, matanya sedikit menyipit. “Kalau si Zidan nongol lagi, aku nggak janji bisa santai.”

Wita langsung menyambar, “Lah, Jo, lo masih kepikiran cowok tadi? Gue liat tadi lo kayak tahan diri banget biar nggak ngelempar tatapan laser.”

Joan cuma mengangkat alis. “Lo nggak ngerti, Ta. Ada cowok yang cuma basa-basi, ada yang pura-pura basa-basi padahal niatnya jelas. Gue bisa bedain, dan gue nggak suka cara dia liat Nad.”

Aku menyentuh tangan Joan di bawah meja, menepuknya pelan. “Udah, jangan dipikirin. Aku sama kamu sekarang. Aku nggak peduli masa lalu.”

Dia menatapku sebentar, ekspresinya sedikit melunak. “Iya… cuma, aku nggak akan biarin siapa pun bikin kamu nggak nyaman. Termasuk dia.”

Wita tiba-tiba bersandar ke kursi sambil mendesah dramatis. “Gue jadi iri liat kalian, Nad. Joan tuh protektif banget. Sedangkan Gilang…” dia melirik ke samping. “Dia malah asik ganggu gue tiap hari di rumah.”

Gilang langsung nyengir. “Ya kan aku cuma mau bikin kamu nggak tegang. Lagian… aku betah kok tinggal di rumah Nadia. Rasanya kayak punya keluarga sendiri.”

Joan melirik Gilang, nadanya santai tapi ketus. “Lo jangan bikin ribut aja di rumah. Gue nggak mau rumah jadi tempat chaos gara-gara lo.”

Aku menyandarkan dagu ke tangan, senyum kecil. “Kalian kayaknya bakal ribut tiap hari deh di rumah. Untung ada gue yang bisa netralisir suasana.”

Wita mendecak sambil ketawa. “Netralisir apaan. Lo aja sering bikin suasana tegang tiap cerita soal makhluk yang cuma lo bisa liat.”

Aku nyengir tipis. “Ya maaf deh. Tapi lo berdua kan udah terbiasa juga, kan? Lagian, ada Joan sama Gilang, gue nggak takut.”

Suasana jadi lebih santai, tawa kecil terdengar di meja. Tapi sesekali, mataku nggak sengaja melirik ke arah jendela kafe. Di luar, di area parkiran yang sepi, kayak ada bayangan samar berwarna merah… cuma sebentar, sebelum hilang lagi.

Aku memilih untuk nggak bilang apa-apa. Nggak sekarang.

Mobil melaju pelan di jalanan yang mulai gelap, hanya diterangi lampu jalan yang jaraknya lumayan jauh satu sama lain. Aku duduk di kursi penumpang depan, Joan yang nyetir, sementara Wita dan Gilang duduk di belakang sambil bercanda pelan.

Awalnya perjalanan terasa normal. Musik dari radio memutar lagu pelan, suasana di mobil cukup tenang. Tapi semakin jauh kami dari pusat kota, suasana jadi… aneh.

Udara di luar tiba-tiba terasa lebih dingin, dan lampu jalan beberapa kali berkedip. Joan merendahkan volume radio, alisnya berkerut.

“Kamu ngerasa… jalan ini lebih sepi dari biasanya?” suaranya pelan.

Aku melirik ke kaca spion. Wita dan Gilang juga udah nggak bercanda, keduanya memperhatikan ke luar jendela.

“Sepi banget,” gumam Wita. “Padahal biasanya jam segini masih ada mobil yang lewat.”

Aku menggigit bibir, perasaan nggak enak mulai muncul. Dari kaca jendela sebelahku, ada bayangan samar berwarna merah di pinggir jalan, berdiri diam di balik pepohonan. Tidak bergerak, hanya menatap… atau terasa seperti menatap.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha nggak bikin panik yang lain. Tapi Joan sempat melirik ke arahku.

“Kamu liat sesuatu lagi?” tanyanya pelan, tanpa melepas tatapan dari jalan.

Aku cuma mengangguk sedikit. “Nggak usah berhenti. Jalan terus aja.”

Gilang yang duduk di belakang ikut mencondongkan badan. “Eh, Nad… jangan bilang ada lagi yang ikutin kita. Gue bener-bener nggak mau berhenti di jalan kayak gini, sumpah.”

Wita menepuk lengan Gilang. “Udah, diem aja. Ntar malah bikin panik.”

Saat mobil melewati persimpangan kecil, suara ketukan samar terdengar dari atap mobil. Tiga kali, pelan tapi jelas. Semua orang langsung diam.

Joan menggenggam setir lebih erat, rahangnya mengeras. “Sayang, itu mereka, ya?”

Aku menelan ludah. “Iya… tapi jangan berhenti. Biasanya kalau kita nggak reaksi, mereka pergi sendiri.”

Suasana di mobil jadi tegang, hanya suara mesin yang terdengar. Lampu jalan berikutnya mati begitu saja saat kami melewatinya, menyisakan kegelapan beberapa detik.

Begitu akhirnya lampu-lampu kota mulai terlihat di kejauhan, udara mencekam itu perlahan menghilang. Suara ketukan pun berhenti, seperti nggak pernah ada.

Wita akhirnya bersuara pelan, nadanya agak gemetar. “Lo yakin… kita aman di rumah, kan, Nad?”

Aku menoleh ke belakang, menatap Wita dan Gilang. “Selama pagar gaib masih aktif… harusnya iya. Tapi… jangan keluar rumah malam ini.”

Joan menatapku sekilas sebelum fokus lagi ke jalan. “Kamu nggak akan aku biarin sendirian. Sampai rumah, kita kunci semua pintu. Aku nggak mau ada celah sedikit pun.”

1
Afiq Danial Mohamad Azmir
Wahhh!!
Alexander
Nggak kebayang ada kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!