Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Soraya menatap tajam kepada Aruna dan Arman. Tatapannya tak ubah seperti singa yang sedang bersiap menerkam hewan buruan. Amarah membuncah di balik riasan mahal dan senyum palsu yang sejak tadi ia pertahankan. Di matanya, nama baik yang selama ini ia bangun dengan susah payah telah diruntuhkan hanya dalam satu siang oleh anak tiri yang selama ini dia anggap duri dalam daging.
Bisik-bisik tamu undangan yang mulai terdengar nyaring di sudut ballroom membuat telinga Citra memerah. Harga dirinya tercabik. Ia menggigit bibir bawah, menahan air mata dan rasa malu yang membakar wajah cantiknya. Dunia serasa runtuh di hadapannya. Tak pernah dia bayangkan bahwa datang ke acara pertunangan Arman dengan Aruna yang dikenal idiot, justru menjadi panggung kehinaan baginya.
"Awas kau, Arman! Perbuatanmu ini harus dibayar dengan harga mahal," batin Soraya. Dia bersumpah dan pasti akan melakukan itu.
"Kamu menghina aku di depan orang banyak. Akan aku pastikan kamu juga dipermalukan seperti aku saat ini," batin Citra. Matanya menyala penuh dendam, seolah mengukir sumpah yang akan ditagih entah kapan.
Dengan langkah angkuh, tetapi gemetar karena amarah dan malu, Soraya dan Citra meninggalkan ballroom. Gaun mereka berdesir mengikuti irama langkah yang tergesa-gesa. Sementara itu, tatapan para tamu mengikuti kepergian mereka seperti tidak ingin melewatkan sesuatu tontonan yang menarik.
Acara pesta pun kembali berjalan, namun atmosfernya sudah berbeda. Musik kembali mengalun, gelak tawa terdengar di sana-sini, dan makanan masih terus disajikan, seolah tak terjadi apa-apa. Namun, dua orang yang berdiri di tengah pusaran peristiwa itu—Arka dan Arman—hanya diam membisu. Senyum tak lagi mampu mereka tampilkan. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri, seolah tenggelam dalam kekacauan yang tak tampak di permukaan.
Sore hari setelah pesta selesai, Arka dan Arman memutuskan untuk kembali ke kamar hotel masing-masing. Keduanya memilih menginap di hotel, menjauh dari keramaian rumah Pak Surya maupun rumah tua peninggalan sang kakek yang terasa semakin dingin sejak peristiwa itu.
Sesampainya di kamar, Arka yang duduk di tepi ranjang, meletakkan ponsel di meja, menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan langit senja. Tapi sebuah notifikasi kecil di layar mengalihkan perhatiannya.
"Ada pesan dari Hannah," gumamnya pelan, seolah menyambut udara segar setelah seharian menahan napas.
Wajahnya langsung berubah ceria. Suasana hatinya yang murung seperti mendapatkan pancaran sinar dari pesan sederhana itu. Ia membaca tulisan Hannah dengan penuh perhatian, seolah tiap kata adalah pelukan hangat.
"Dia membuat sop buah. Sayangnya aku tidak ada di sana," bisiknya sambil tersenyum tipis.
[Arka, hari ini sibuk, tidak? Aku membuat sop buah. Kalau ada waktu mampirlah ke warung.]
Arka langsung membalas, mencoba menyisipkan ketulusan dalam tiap ketikan.
[Aku sudah berada di ibukota. Semalam sangat mendadak karena ada acara keluarga. Nanti kalau pulang aku kabarin kamu.]
Di tempat lain, Hannah duduk di kursi kayu dekat jendela, memandangi jalanan depan warung yang mulai ramai. Matanya berbinar saat melihat balasan dari Arka. Tapi tak bisa disangkal, ada secuil kecewa yang bersembunyi di hatinya. Ia sudah menyiapkan satu cup sop buah spesial, berharap Arka akan datang hari ini.
"Padahal sudah aku sengaja sisihkan satu cup," gumamnya pelan, jari-jarinya memainkan gelang di pergelangan tangan.
Tiba-tiba, dorongan perasaan membuatnya ingin tahu lebih jauh. Ia mengetik sebuah pesan pendek.
[Kapan kamu akan pulang?]
Namun, baru saja hendak menghapus pesan itu karena takut dianggap terlalu lancang, tanpa sengaja jarinya menekan tombol kirim. Pesan pun melesat terkirim. Hannah membelalak.
"Gawat! Bagaimana kalau Arka ilfeel di-chat seperti itu?" batinnya panik. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menyesal tak berhati-hati.
Tak lama kemudian, balasan dari Arka datang.
[Setelah selesai urusan di sini selesai, aku akan langsung pulang. Karena rindu sama celotehan Yasmin dan rindu sama masakanmu]
Hannah membaca pesan itu berulang-ulang. Pipi mulainya memanas, bukan karena suhu udara, tapi karena perasaan bahagia yang membuncah tiba-tiba. Ada senyum malu-malu di bibirnya, dan hatinya pun berdegup lebih cepat dari biasanya.
Pak Baharuddin yang duduk agak jauh dari Hannah, diam-diam memperhatikan putrinya. Di tengah keramaian warung makan, sorot matanya terus mengikuti setiap gerak-gerik gadis dalam kursi roda itu. Saat Hannah tersenyum sejenak saat melihat ponselnya, hati Pak Baharuddin terasa sejuk, seperti embusan angin sore di beranda rumah kayunya dulu.
Senyuman itu sangat langka. Ia seperti melihat secercah cahaya dari jiwa yang selama ini redup. Dan hanya satu nama yang terlintas di benaknya.
"Dia sedang membaca chat siapa, senyum-senyum seperti itu? Apakah dari Arka?" batinnya, penuh harap dan penasaran.
Sebagai seorang ayah yang mengenal putrinya sejak bayi, ia tahu betul bahasa tubuh Hannah. Tatapan mata Hannah saat menatap Arka beberapa waktu lalu tak bisa ia lupakan. Ada kerinduan, ada kenyamanan yang tak bisa dibohongi, walau Hannah tak pernah mengucapkan apa pun.
Ponsel Pak Baharuddin tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk. Nama pengirimnya membuat alisnya mengerut tajam. Tangan keriputnya langsung membuka pesan itu.
[25 tahun yang lalu ada beberapa kejadian di kampung kita, Pak. Kecelakaan Pak Kades Ahmad. Kematian Pak Sanusi "Gareng" dan Bang Jago yang meninggal karena terbawa arus sungai. Longsor di Desa Cempaka yang menewaskan 17 warga. Tenggelamnya lima orang turis yang berwisata naik perahu di Situ Ageung. Pencurian barang di gudang pabrik teh.]
Mata Pak Baharuddin memicing, mencoba menarik kembali serpihan kenangan dari masa lalu. Hatinya mencelos. Semua kejadian itu seperti rekaman buruk yang tak pernah benar-benar usang.
"Apakah dari kejadian itu... ada yang membuat Hannah trauma?" gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Tiba-tiba, pertanyaan itu terasa seperti belati kecil yang mengiris pelan-pelan. Ada sesuatu yang belum ia tahu. Sesuatu yang membuat Hannah seperti sekarang.
***
Malam hari, Arka dan Arman menerima undangan makan malam dengan keluarga Pak Agung. Mereka ingin pasangan baru itu bisa lebih dekat. Arman, dengan pakaian kasual yang pas di tubuhnya, tampak kikuk berdiri di samping Aruna yang menempel seperti magnet.
"Kenapa dia nempel terus sih?" keluh Arman dalam hati. Rasanya seperti dikekang tali tak kasat mata.
"A…" Aruna tiba-tiba menyodorkan sepotong kue pai ke mulut Arman, seperti memberi makan anak kecil. Arman sempat ingin menolak, tetapi matanya menangkap sorot tajam Pak Agung dari kejauhan. Pria tua itu seperti elang yang siap mencengkram siapa pun yang berani mengecewakan anaknya.
Dengan berat hati, Arman membuka mulutnya. Kue manis itu langsung meleleh di lidahnya—dan bukan dalam arti yang menyenangkan. Ia tidak suka kue manis berkrim. Rasanya terlalu berlebihan. Ia lebih suka yang sederhana, seperti kue kering cokelat agak pahit yang biasa dibuatkan oleh Karin.
"Enak, kan?" Aruna berseru ceria, tangannya menepuk-nepuk pelan lengan Arman seperti anak kecil yang baru diberi permen.
Arman hanya mengangguk. Di wajahnya tersungging senyum tipis yang dipaksakan. Dalam hatinya, ia menghitung waktu, berharap detik-detik ini cepat berlalu.
"Ayo, kita coba kue black forest ini, sepertinya enak!" Aruna kembali beraksi. Setelah menggigit satu potong, ia langsung menyodorkan potongan berikutnya ke mulut Arman.
"Kamu suka?" tanyanya lagi dengan mata bulat polos, seolah sedang bermain rumah-rumahan.
"Ya. Asal jangan yang ada krimnya," jawab Arman, tetap mempertahankan topeng simpatinya. Ia tahu bagaimana cara menyenangkan hati wanita—ia terlalu sering melakukannya.
"Ternyata kita punya kesukaan yang sama," Aruna berseru senang. "Besok aku buatkan black forest yang tidak memakai krim!"
Arman kembali tersenyum. Tapi kali ini, di balik senyuman itu ada kekosongan yang mulai tumbuh. Seperti seorang aktor yang terjebak dalam peran yang tidak ia pilih, Arman berdiri di panggung yang gemerlap, dengan hati yang perlahan meredup.
Arka yang sedang berkirim pesan dengan Hannah, sesekali melirik ke arah Arman yang duduk tak jauh darinya. Matanya memantau gerak-gerik sang adik dengan gelisah yang disembunyikan di balik wajah datarnya. Sebagai saudara kandung, Arka paham betul bahasa tubuh Arman—dan saat ini, semuanya terasa asing.
Keceriaan khas Arman, kelakuannya yang konyol, dan tingkah absurd yang biasanya bisa membuat siapa saja tertawa, kini lenyap seolah menguap entah ke mana. Sorot matanya kosong dan senyumnya lebih mirip garis datar tanpa makna. Sosok yang duduk itu bukanlah Arman yang dia kenal. Arka bisa merasakan kehampaan yang menyelimuti hati adiknya.
“Sampai sekarang tidak ada kabar sedikit pun tentang Karin,” batin Arka sambil menggenggam ponselnya erat-erat. “Sebenarnya ke mana dia? Dan kenapa keluarganya juga ikut menghilang?”
Pertanyaan itu menghantui Arka setiap malam. Karin bukan hanya teman dekat mereka, tapi juga sosok yang bisa menjinakkan keliaran dalam diri Arman. Tanpa Karin, Arman seperti kehilangan pijakan.
Suara bariton yang tiba-tiba terdengar di telinganya membuat Arka menoleh. Pak Agung berdiri di belakangnya, entah sejak kapan. Wajah pria paruh baya itu tersenyum, tapi sorot matanya penuh perhitungan.
“Sesuai dengan kesepakatan kita, besok aku akan memberikan suara kepadamu,” ucap Pak Agung dengan nada tenang, namun sarat makna.
Arka mengangguk pelan, menyembunyikan segala keraguan dalam benaknya. “Aku pegang kata-katamu,” jawabnya singkat namun tegas. Ia tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan ibunya, juga Arman yang kini harus menjalani pertunangan yang tidak ia pilih sendiri.
“Aku harap pernikahan Arman dan Aruna bisa diselenggarakan secepatnya,” lanjut Pak Agung. Nada suaranya masih lembut, tetapi ada tekanan dalam setiap katanya—seakan memberi tahu bahwa ini bukan permintaan, melainkan perintah.
Arka menatap pria itu dalam-dalam. “Aku tidak akan membuat rencana pernikahan mereka. Biar Arman dan Aruna yang memikirkan dan merencanakan itu,” ucapnya mantap.
Ada bara yang menyala dalam hati Arka. Ia tidak pernah setuju dengan perjodohan ini. Sejujurnya, ia lebih memilih Karin untuk menjadi pendamping Arman. Karin punya ketenangan yang mampu meredam emosi, kesabaran yang tak mudah goyah, dan hati yang tulus. Bukan seperti Aruna, yang manja dan selalu ingin menang sendiri.
“Wah, kalau begitu kita ikuti saja keinginan Aruna,” kata Pak Agung, mengangkat alisnya sambil tersenyum tipis. “Dia ingin menikah dengan Arman sebelum ulang tahunnya yang ke-28.”
Perkataan itu membuat dada Arka tercekat. “Apa?!” Arka nyaris berteriak.
Mata elang Arka menatap tajam Pak Agung. Ia tahu, ulang tahun Aruna hanya tinggal beberapa bulan lagi. Jika semua ini benar-benar terjadi, maka Arman tidak akan punya waktu untuk berpikir, apalagi menolak.
***
😀😀❤❤❤😍😙😗
jangan lama2 up nyaaaa..
❤❤❤❤❤😘😙😙😗