Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senja Si Serba Bisa
Mentari
Ucapan Senja membuatku banyak berpikir. Aku memang menyumbang rasa iri di hati Purnama. Aku turut bersaing dan membuat rasa iri di hati Purnama terhadapku semakin besar.
Ya, Senja benar.
Lagi-lagi Senja benar.
Kuakui, Senja membuat perasaan marahku perlahan meredup. Aku bahkan bisa tertidur pulas malam ini. Rasanya nyaman sekali.
Tunggu, kenapa bibirku terasa ada yang menyesapnya ya?
Kubuka perlahan mataku. Sambil memejamkan mata, kulihat Senja sedang menciumku. Apa dia mengigau lagi seperti saat sakit?
Apa yang harus kulakukan?
Ciuman Senja begitu lembut, berbeda sekali dengan ciuman Mas Bayu yang terlalu menuntut dengan tangannya yang suka bergerilya kemana-mana. Jujur, aku tak suka dicium Mas Bayu. Aku merasa risih.
Aku sering menolak jika Mas Bayu mau menciumku. Aku beralasan, takut dosa. Alasan sebenarnya karena aku tak suka berciuman dengan lelaki yang tangannya gentayangan ke tubuhku. Belum cara mencium Mas Bayu yang menurutku kasar, tak seperti di film-film.
Senja masih menciumku. Lembut sekali. Ciuman yang seolah tak menuntut balasan. Tangan Senja juga tidak meraba tubuhku. Ia malah mengusap rambutku dengan lembut. Apa Senja memang memperlakukan wanita dengan lembut dan penuh hormat seperti ini?
Bagaimana kalau aku balas? Pasti Senja sedang bermimpi seperti kemarin. Ia tak akan sadar kalau aku balas. Ya, aku balas saja.
Perlahan, kubalas ciuman Senja. Ia sempat diam sejenak sebelum akhirnya kembali menciumku dengan lembut. Tangannya membelai wajahku dengan lembut. Tunggu, kok bisa tepat dia membelaiku?
Aku tak lagi membalasnya. Aku diam dan terus menatapnya lekat.
Satu
Dua
Tiga
Senja membuka matanya. Mata kami lalu bertemu.
Sial!
Dia tidak tidur!
Dia tidak mengigau!
Dia sadar!
Aku harus apa?
Apa dia akan menciumku dan bahkan mengajakku melakukan hal lain?
Aduh, dia mau melakukan apa ya?
Tak kusangka, Senja malah tersenyum. Ia membelai rambutku dengan lembut. "Terima kasih ya sudah merawatku saat aku sakit. Terima kasih juga sudah membalas ciumanku malam ini. Tidurlah! Aku tak akan meminta lebih, begini saja sudah membuatku bahagia."
Deg
Deg
Deg
Senja lalu menepuk-nepuk punggungku sambil memejamkan matanya. Ia menepati ucapannya, tidak melakukan apapun malam ini padaku.
Lalu... bagaimana aku bisa tidur pulas kalau jantungku jumpalitan seperti ini?
.
.
.
Aku terbangun saat alarmku berbunyi. Senja sudah tidak ada di sampingku. Pasti dia sudah bangun dan masak.
Kalau aku pikir-pikir, Senja itu memang suami yang sangat perhatian. Setiap hari, ia selalu memasak untukku. Menu masakannya variatif dan rasanya enak.
Aku juga selalu diberi uang jajan setiap hari. Dibuatkan bekal. Diantar jemput. Bahkan dia membantuku membereskan pekerjaan rumah. Kenapa aku baru sadar kalau aku memiliki suami yang sangat keren ya?
Aku membawa baju ganti dan handuk, aku mau langsung mandi saja. Kulihat Senja sedang memasak sendirian di dapur. Purnama dan Heni masih di kamarnya, entah sudah bangun atau belum.
Senja menguncir rambut gondrongnya. Ia fokus memasak namun menoleh saat melihatku. "Kamu sudah bangun? Cepat mandi, nanti kalian rebutan kamar mandi, aku lagi yang repot memisahkan kalian!"
Aku pikir, Senja akan membahas ciuman kami semalam, ternyata tidak. Ia sibuk memasak.
Selesai mandi, Heni dan Purnama sudah mengantri ingin menggunakan kamar mandi. Untung aku duluan, jika tidak, bisa telat aku menunggu mereka.
"Aku saja yang menyiapkan bekal!" Kuambil dua kotak makan dan membuat dua bekal untukku dan Senja.
"Buatkan dua bekal lagi untuk Heni dan Purnama," kata Senja.
Perhatian sekali dia. "Oke."
Kubuatkan dua bekal lagi untuk Heni dan Purnama. Senja sudah memasak nasi dan lauk, kini ia memanggang roti di atas teflon untuk kami sarapan. Purnama dan Heni yang sudah selesai mandi, ikut bergabung untuk sarapan.
"Nanti kalian bawa bekal ya! Uang kalian disimpan saja, tak usah beli makan siang!" kata Senja.
"Iya, Mas!" jawab Purnama dan Heni kompak.
Aku melirik Purnama. Matanya bengkak, mungkin kebanyakan menangis semalam.
"Tari, ayo cepat sarapan. Nanti kesiangan!" Senja membuatku tersadar.
"Iya."
Selesai sarapan, Senja memesankan taksi online untuk Purnama dan Heni. Setelah melihat mereka pergi, Senja lalu mengantarku dengan motor bututnya.
Senja sudah memanasi motornya. Ia lalu melakukan hal yang selalu ia lakukan, membuka footstep yang tertutup untukku. Hal kecil, namun tak semua laki-laki melakukannya.
Aku naik ke atas motor. Sebelum ia suruh, aku sudah melingkarkan tanganku ke pinggangnya. "Nah, cakep nih. Belum disuruh sudah nyadar," ucap Senja.
"Bawel!" balasku sambil tersenyum tipis.
"Orang ganteng kalau bawel itu terlihat makin keren," balas Senja.
"Siapa yang ganteng?"
"Aku-lah!"
"Dih!"
"Ih!"
"Apaan sih?
"Bismillah! Lets go!"
.
.
.
"Mbak Tari, ada yang mencari Mbak Tari!" Mang Yanto, OB di kantorku memberitahu.
"Siapa?" tanyaku.
"Pak Fajar!"
Fajar?
Aku turun ke bawah ruko. Di bawah, kulihat Fajar sedang mengobrol dengan rekan sekantorku yang nampak tebar pesona padanya.
Melihatku datang, Fajar tersenyum dan menyudahi obrolannya. "Hi, Tari!"
Aku balas tersenyum. "Hi, Jar! Tumben kamu datang. Oh ya, ada apa mencariku?"
"Aku tadi lagi visit, biasa." Fajar melirik jam di pergelangan tangannya. "Makan siang yuk!"
Aku melirik dua perempuan yang tadi mengobrol akrab dengan Fajar. Mereka menatapku dengan tatapan sebal. "Aku... bawa bekal, Jar," tolakku.
"Bawa saja bekalmu. Kamu bisa pesan es teller, yuk, temani aku makan! Aku lapar nih!" Fajar memegang perutnya yang datar dengan wajah memelas.
Aku tak enak menolak ajakan Fajar. Bagaimanapun dia sudah membantuku mendapatkan pekerjaan ini. "Mm... yaudah deh, tunggu sebentar ya. Aku ke atas dulu!"
Aku mengambil dompet dan bekal makanku lalu kembali turun ke bawah. Kulihat tatapan mata sebal dari dua perempuan yang tadi mengobrol dengan Fajar.
"Ayo!" Fajar menarik tanganku.
Aku hanya bisa pasrah. Fajar mengajakku makan di restoran. Ia bersikeras menawariku untuk memesan makanan namun aku tolak. Lebih baik aku makan bekal buatan Senja, aku tahu bagaimana usahanya dalam membuatkanku bekal.
"Senja yang buat ya?" tebak Fajar sambil menunjuk bekal makanan yang kumakan.
Aku mengangguk. "Iya."
"Rajin ya dia? Apa sih yang Senja tak bisa lakukan?" ucap Fajar.
Aku tersenyum tipis. Senja memang serba bisa. "Hmm... apa ya? Mungkin, dia tak bisa kerja kantoran? Dia lebih suka bebas?"
"Apa? Kerja kantoran? Untuk apa dia kerja kantoran? Toh dia sudah punya kantor sendiri ha... ha... ha...." Fajar tertawa mendengar jawabanku.
"Maksud kamu, kantornya itu masjid di pertigaan jalan? Itu sih bukan kantor namanya, Jar," balasku.
Tawa di wajah Fajar menghilang berganti kerutan di keningnya. "Loh, kenapa masjid? Aku bicara kantor milik Senja."
"Kantor? Kantor apa? Kantor pos?" balasku.
"Bukan, Tari. Memangnya kamu tak tahu kalau Senja itu punya perusahaan sendiri?"
Apa? Perusahaan?
****
dapat suami baik, bertanggung jawab dan mencintai kamu dengan setulus hati. tapi kamu masih banyak berfikir dan malah buat orang jadi gegana.
lagian kasian sekali senja yg musti menahan diri selama ini demi untuk dirimu supaya merasa nyaman bersamanya.
kereenn gaa tuh Tar.