Seorang pendekar tua membawa salah satu dari Lima Harta Suci sebuah benda yang kekuatannya bisa mengubah langit dan bumi.
Dikejar oleh puluhan pendekar dari sekte-sekte sesat yang mengincar harta itu, ia memilih bertarung demi mencegah benda suci itu jatuh ke tangan yang salah.
Pertarungan berlangsung tiga hari tiga malam. Darah tumpah, nyawa melayang, dan pada akhirnya sang pendekar pun gugur.
Namun saat dunia mengira kisahnya telah berakhir, seberkas cahaya emas, menembus tubuhnya yang tak bernyawa dan membawanya kembali ke masa lalu ke tubuhnya yang masih muda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biru merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 35. Menyelamatkan Desa
Tidak terlalu lama, Lin Yan akhirnya menemukan sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik bukit-bukit rendah. Matahari mulai condong ke barat, dan sinarnya yang merah keemasan membentur atap-atap rumah dari jerami, memberi kesan hangat namun sunyi.
Melihat bahwa hari sudah hampir malam, Lin Yan memutuskan untuk mendatangi desa itu untuk beristirahat.
Namun, begitu kakinya menginjak gerbang kayu sederhana desa itu, suasana yang dia rasakan sungguh berbeda. Tidak ada suara ayam berkokok, tidak ada anak-anak bermain, bahkan udara terasa dingin dan hening seolah desa ini telah lama ditinggalkan.
Langkah Lin Yan perlahan menyusuri jalan utama desa yang sepi. Rumah-rumah dari bambu dan tanah liat tertutup rapat, jendela-jendela dilapisi kayu dari dalam. Tak ada satu pun orang yang terlihat.
Namun, saat dia berbelok di sudut jalan kecil, dia melihat seorang anak kecil — seorang bocah laki-laki, tak lebih dari sepuluh tahun — yang berdiri di depan rumah. Mata si bocah membelalak ketakutan ketika melihat Lin Yan, dan tanpa berkata apa-apa, dia langsung berbalik dan lari masuk ke dalam rumah.
Melihat itu, Lin Yan mengerutkan alis.
“Kenapa dia melarikan diri setelah melihatku?” gumamnya dengan bingung.
Tak lama setelah itu, dua orang muncul dari balik sudut rumah—seorang lelaki tua dan seorang pemuda. Wajah mereka penuh kecemasan, dan tanpa berkata banyak, keduanya langsung berlutut di hadapan Lin Yan.
Lin Yan langsung terkejut, bingung dengan perlakuan mereka.
Namun, sebelum dia sempat bertanya, si lelaki tua membuka mulut.
“Tuan… tolong beri kami waktu satu minggu lagi… Kami pasti akan membawanya…,” ucapnya dengan suara bergetar.
Baru saat itu Lin Yan menyadari bahwa mereka telah salah mengira dirinya sebagai orang lain.
Dengan tenang, ia meluruskan, “Kalian salah paham. Aku bukan orang yang kalian maksud. Aku hanya pengelana yang tersesat dan tak sengaja masuk ke desa ini.”
Mendengar penjelasan itu, kedua pria itu menghela napas lega. Tatapan mereka melunak, meski rasa cemas masih belum sepenuhnya hilang dari wajah mereka.
Kemudian, dengan ragu, Lin Yan bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi di desa ini?”
Keduanya saling pandang sejenak, lalu si lelaki tua mulai bercerita, suaranya pelan namun berat.
“Lima bulan yang lalu… sekelompok orang datang ke desa kami. Mereka mengaku datang untuk melindungi desa ini dari binatang buas dan perampok. Awalnya mereka hanya meminta bayaran kecil… tapi setiap bulan permintaan mereka bertambah besar. Ketika kami tak sanggup membayar, mereka mulai mengambil gadis-gadis muda desa ini… sebagai ‘ganti rugi’.” Suaranya gemetar saat mengucapkan bagian terakhir itu.
Wajah Lin Yan menjadi suram. Ia tahu benar siapa yang dimaksud. Sekte Hitam. Mereka semakin menjadi-jadi, dan kabar bahwa bahkan para bangsawan mulai menjarah desa kecil membuat perutnya terasa panas oleh amarah.
“Lalu… kapan mereka akan datang lagi?” tanya Lin Yan pelan.
“Seharusnya… hari in—”
“Hei, Pak Tua! Sudah siapkan uangnya atau belum?!”
Suara lantang dari belakang Lin Yan membuatnya refleks menoleh. Seorang pria berbaju hitam dengan wajah tertutup kain berdiri dengan sombong, diikuti oleh lima orang lainnya yang juga berpakaian hitam. Wajah mereka tertutup sebagian, tapi aura angkuh dan buas terpancar dari setiap langkah mereka.
Tatapan pria itu langsung tertuju pada Lin Yan.
“Hah? Siapa ini? Apa kau menyewa pendekar untuk melawan kami, hah?” ejeknya dengan nada penuh hinaan.
“B-bukan! Dia hanya seorang pengelana yang tersesat ke desa ini!” jawab pria muda itu cepat-cepat.
“Pengelana atau bukan, dia tetap mengganggu urusan kami. Kalau begitu, akan langsung kubunuh saja!”
Dengan seenaknya, pria itu mencabut pedangnya dan melangkah mendekati orang tua itu.
“Kau sudah tahu aturan kami, kan? Kalau tak bisa membayar, akan kami ganti dengan nyawa… atau kami hancurkan seluruh desa ini!”
Lin Yan tetap diam di tempatnya, namun matanya menajam saat melihat pedang si pria hampir menyentuh leher orang tua itu.
Tanpa berkata banyak, tubuh Lin Yan melesat maju seperti kilat, dan clang!—pedang hitam itu berhenti di udara, terhalang oleh bilah pedang Lin Yan yang kini terhunus di tangan kanannya.
“Bajingan! Berani-beraninya kau menyentuh pedangku! Kau tidak tahu siapa aku!”
Pria itu menerjang, mengayunkan pedangnya bertubi-tubi, namun setiap tebasan ditepis dengan mudah oleh Lin Yan. Gerakan Lin Yan tenang, namun sangat presisi, seolah-olah dia sedang menari di antara serangan musuh.
Satu tebasan…
Dua langkah mundur…
Kemudian tubuhnya berputar dan pedangnya menyapu horizontal.
Slash!
Jeritan melengking terdengar saat tangan kanan si pria terlempar di udara, darah menyembur dari pangkal lengannya.
“AKHHHHH!!! TANGANKU!!!”
“Serang dia! Jangan hanya diam! Hajar dia!!!” teriak pria itu kepada anak buahnya dengan penuh amarah dan rasa sakit.
Kelima orang anak buahnya langsung bergerak cepat, mengepung Lin Yan dari segala arah.
“Jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!” seru mereka sambil menghunuskan pedang.
Namun, Lin Yan tidak bergerak dari tempatnya. Matanya tenang, tubuhnya rileks. Ketika serangan pertama datang, tubuhnya miring sedikit, dan pedangnya bergerak secepat kilat.
Srat!
Darah menyembur dari dada satu orang.
Drap!
Satu tubuh tumbang di tanah, lalu satu lagi.
Lin Yan bergerak bagaikan bayangan yang menghindari setiap tebasan musuh dengan gerakan efisien dan mematikan. Pedangnya seperti hidup — setiap ayunan menyasar titik vital dengan presisi mengerikan.
Ketiga sisanya mulai ragu. Mata mereka mulai diliputi ketakutan. Keringat dingin mengucur, dan kaki mereka mulai mundur.
“Dia… bukan orang biasa…”
“Mundur! Kita harus mundur dulu!”
Namun Lin Yan tidak memberi mereka kesempatan. Sekali gerakan cepat, dua di antara mereka terbelah bersamaan. Yang tersisa mencoba lari, tapi sebelum dia sempat melangkah lima langkah, suara angin tajam mendesis di belakangnya.
Thuk!
Pedang Lin Yan menancap tepat di punggungnya, menembus keluar dada.
Kini hanya tersisa sang pemimpin.
Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. Saat Lin Yan menarik kembali pedangnya dari tubuh terakhir anak buahnya, dia perlahan mundur sambil mengangkat satu tangannya yang masih tersisa.
“J-jangan bunuh aku! Aku adalah murid ketua Sekte Iblis Malam! Kalau kau membunuhku, guruku akan mencarimu sampai ke ujung dunia!”
Lin Yan tak bergeming. Langkahnya mantap mendekati pria itu.
“Kalau kau menyentuhku, Sekte Iblis Malam tak akan tinggal diam… kami juga sudah bekerja sama dengan Kelompok Naga Hitam—”
Slash!
Kata-kata pria itu terhenti. Kepalanya menggelinding di tanah sebelum tubuhnya sempat jatuh.
Lin Yan berdiri di atas mayat pria itu, mata tajamnya menatap lurus ke depan.
“Kelompok Naga Hitam, ya?” gumamnya pelan. “Justru kalianlah yang akan kuhabisi… satu per satu…”