Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengambil Hatinya
"Gimana? udah selesai masalahnya?" tanya Alena antusias.
Deva sudah keluar rumah sakit dua hari yang lalu. Meskipun lengannya belum sembuh total, tapi dia tetap bersikeras untuk sekolah.
Deva tersenyum tipis menatap Alena. "Udah, Len. Makasih banget, ya. Gue gak tau kalo misalnya lo gak ada, mungkin masalah keluarga gue gak akan kelar entah sampai kapan."
Alena mengangguk ikut tersenyum senang.
"Ternyata bener, Ibu cuma salah paham tentang Ayah. Saat itu, Ayah cuma niat nangkap sekretaris ceweknya yang mau jatuh karena kepeleset kopi yang tumpah di kantor Ayah, dan kebetulan hari itu Ibu ke perusahaan Ayah nganter makan siang. Saat ngebuka pintu, Ibu lihat keduanya di posisi seolah lagi pelukan. Ibu langsung nangis dan lari tanpa tahu kenyataannya. " Deva menghela nafas. "Sebenarnya Ibu udah lama cemburu dan gak mau ayah nerima sekretaris perempuan yang muda itu, tapi Ayah tetap butuh dia yang kerjanya cepat dan teliti. Pas Ibu lihat kejadian itu, Ibu udah putus asa dan nganggap Ayah memang suka perempuan itu. Setelah hari itu, hampir tiap hari keduanya bertengkar ngebuat gue frustasi. Ibu selalu nuntut Ayah buat nyetujuin perceraian, tapi Ayah gak pernah setuju. Akhirnya ... ibu pergi dari rumah. Saat itu, Ayah udah punya bukti CCTV di kantornya, dan dia baru ingat setelah dua minggu hubungan dengan ibu merenggang. Tapi semuanya udah terlambat. Ibu udah pergi keesokan harinya, dia cuma ninggalin surat di samping tempat tidur gue ...."
"... sejak saat itu, hidup gue benar-benar berantakan. Dan, gue beruntung banget bisa ketemu lo, Alena." Deva menatap Alena sangat lekat, membuat Alena sendiri tidak nyaman dan malu. "Walaupun gue sempat penasaran, kenapa lo tau semuanya ...."
Ekspresi Alena menegang.
Deva yang melihat itu hanya tersenyum santai. "Gue gak bakal tanya lo tau dari mana. Tenang aja, gue udah bersyukur banget lo mau ikut campur dan ngebantu masalah keluarga gue..."
Alena tersenyum lega.
Saat ini, keduanya sedang berada di perpustakaan. Tadinya, Alena akan ke pergi ke kantin, namun saat di koridor dia bertemu Ravael dan teman-temannya, lalu Deva ingin mengajaknya bicara berdua di perpustakaan. Walaupun sempat di tanggapi cemberut oleh ketiga sahabatnya, tidak lupa dengan Ravael dan Rafka, tapi mereka tetap setuju.
Mereka memperingatinya, jangan sampai berpelukan lagi. Alena terkekeh mengingat itu.
Deva yang melihat Alena terkekeh, menjadi kebingungan.
"Kenapa, Len?"
Alena mendongak melihat Deva yang sedang menatapnya.
"Ah, nggak, kok." Alena tersenyum lebar. "... ayo ke kantin bareng."
***
"Mah? Ada tamu?"
Alena baru saja memasuki pintu rumah lalu mendengar suara orang asing di ruang tamu. Sebelum masuk juga, dia melihat mobil mewah di halaman yang bukan milik keluarganya.
"Iya, ada. Dia tamu penting Papah kamu. Baru-baru ini, dia ngajak kerjasama perusahaan Papah kamu. Sekarang, dia mau makan malam di sini," jawab Berliana dengan antusias.
Alena bingung dengan wajah antusias mamanya. Kenapa sesenang itu?
Alena mengangguk mengerti.
Ia baru saja pulang, karena sebelumnya dia kumpul-kumpul di rumah Audrey bersama Dhita dan Risha. Sudah hampir menjadi kebiasaan rutin satu minggu sekali mereka harus berkumpul di rumah antara empat orang itu dengan bergilir. Biasanya akan menginap, tapi hari ini Alena sedang tidak ingin, jadi Alena pulang jam tujuh malam.
Berliana sudah kenal dengan teman-teman putrinya, sehingga dia selalu mengizinkan Alena keluar rumah jika bersama mereka. Kalau tidak, harus bersama Ravael atau kelima temannya. Mereka sudah menjamin Alena akan aman, Berliana tidak khawatir lagi dengan itu.
Saat ini, Alena akan pergi ke kamar, namun Berliana mencegahnya. "Kamu jangan dulu ke kamar, harus nyapa tamu Papah dulu."
Alena mengerutkan kening. "Kenapa harus?"
"Harus, dong. Biar kenal." Berliana terkikik.
Alena lebih bingung dibuatnya. Senyuman mamahnya seperti mempunyai maksud lain. Dia hanya bisa mengangguk enggan. Lalu, Berliana menarik Alena menuju ruang tamu.
Saat sampai, Alena melihat seseorang dengan pakaian kasual, tengah mengobrol santai dengan papanya. Ia tidak bisa melihat wajahnya karena orang itu membelakangi.
Devian melihat istri dan putrinya yang baru saja datang. Wajahnya penuh dengan senyuman. "Alena? Kamu baru pulang? Sini dulu, bentar. Kenalin tamu Papah."
Alena hanya menurut dan menghampiri papahnya. Namun, saat melihat wajah tamu itu Alena langsung tercengang.
Bagaimana tidak? Dia bukanlah pria paruh baya yang ada di benaknya barusan, tetapi pemuda dengan umur diatas kakaknya. Apalagi wajahnya sangat tampan. Malah, lebih tampan jika dibandingkan dengan kelima teman lelakinya itu.
Pemuda di seberang yang melihat wajah Alena yang tercengang, sangat gemas. Ia berusaha untuk mempertahankan wajah sopannya di depan 'camer'.
"Alena?" Panggilan Devian menyadarkan Alena.
Gadis itu berkedip malu. Bagaimana dia sangat tidak sopan? Apalagi dia melihat wajahnya terang-terangan. Alena tersenyum malu menatap papahnya.
"Kenapa sama ekspresi kamu?" tanya Devian mengulum senyum.
Dia tahu putrinya akan terpesona, namun Devian tidak tahu, bukan karena itu maksud dengan ekspresi wajah Alena.
"Ah, gak pa-pa, Pah."
"Kalo gitu, kenalin diri kamu."
Alena mengangguk kaku, dan berdiri sembari menyodorkan tangannya. Setelah orang di depannya menerima tangannya, Alena tersenyum sopan. "Kenalin, nama aku Alena Valencia Alvarendra ...."
Lelaki itu menatap mata Alena seraya tersenyum lembut. "Zaidan Allaver Anderson."
Senyum sopan Alena luntur di gantikan raut terkejut. Dia mematung, tangannya yang tengah di genggam, gemetar dan berkeringat.
Sedangkan di sisi lain, tangan yang masih Zaidan genggam menegang. Lalu, dia melihat raut wajah Alena yang tertegun terkejut dengan mata membola. Walaupun memang sangat lucu di matanya, namun reaksinya membuat Zaidan mengangkat alis bingung.
Tidak hanya Zaidan, Devian dan Berliana yang melihatnya sama-sama mengernyit melihat reaksi putri mereka.
"Alena?" panggilan lembut yang seakan-akan sudah akrab dengan orang di depannya, membuat Alena segera pulih.
Alena akan melepaskan tangannya dengan tergesa, namun Zaidan masih menggenggamnya erat.
"Apa kamu baik-baik aja?" Zaidan bertanya hangat.
Alena menautkan alisnya. Dia bertanya seolah sudah mengenalinya. Alena sangat malu. Apalagi, suaranya yang hangat dan lembut membuat semburat merah muncul di kedua pipi Alena.
"Y-ya, aku baik. Apa kamu bisa lepasin tangan aku?" ucap Alena seraya menunduk agar Zaidan tidak melihat dia yang tengah blushing.
Zaidan terkekeh melihat wajahnya. Lalu, melepaskan tautan tangannya. Alena berbalik menghadap papah dan mamahnya yang hanya melihat keduanya dengan senyum menggoda.
Dengan tubuh dan suara tegang, Alena mencicit. "Pah, Mah, Alena udah boleh ke kamar, kan?"
Kedua orang tuanya mengangguk. "Bentar lagi makan malam. Nanti mamah panggil."
Alena mengangguk. Gadis itu dengan tergesa berlari ke kamarnya tanpa menoleh lagi.
Ketiga orang yang melihatnya hanya terkekeh geli.
"Apa putri Anda kenal aku?"
Devian menggeleng. "Saya gak tahu, Tuan Zaidan. Tapi, kemungkinan besar enggak, karena dia gak terlalu kenal banyak orang. Cuma temen sekolahnya aja."
Zaidan mengangguk. Dengan terang-terangan Zaidan bertanya.
"Putri Anda misterius dan menarik. Apa boleh aku deketin dia?”
Tapi, bukannya marah atau ekspresi lain, Devian dan Berliana mengangguk senang. Mereka tahu identitas Zaidan tidak biasa, jarang juga orang mengetahui orangnya langsung, orang lain tidak akan pernah menyangka, pengusaha paling kaya itu adalah remaja yang seumuran di atas putra mereka.
Berliana dan Devian membolehkan Zaidan mendekatinya putrinya, bukan hanya karena identitasnya. Namun karena mereka tahu, Zaidan terlihat serius. Dia dewasa dan tidak suka bermain-main. Devian dan Berliana yakin, perlindungan Zaidan terhadap putri mereka pun akan lebih besar.
Zaidan tersenyum lebih lebar melihat persetujuan mereka kedua Alena.
Tinggal hanya mengambil hatinya, batinnya penuh tekad.