Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Sentuhan yang Memabukkan
Waktu merayap lambat di ruang keluarga. Aaron Silvan duduk di depan laptopnya, jari-jarinya sesekali menari di atas keyboard, namun pandangannya lebih sering mencuri arah sofa di seberangnya. Di sana, Claire terlelap. Tubuhnya meringkuk nyaman, perutnya yang membesar terlihat jelas di balik selimut tipis yang membalutnya. Cahaya sore yang lembut memeluk siluet Claire, membuatnya tampak damai namun juga begitu rentan.
Aaron mengamati wajah Claire, lama. Wajah itu, yang kini tanpa beban, tanpa air mata, tanpa ketakutan—begitu berbeda dengan gambaran yang ia miliki di awal. Dulu, ia selalu melihat Claire dengan mata yang dingin, penuh penghakiman, seolah wanita itu hanya bayangan yang mengganggu ketenangannya. Kini, di balik kelopak mata Claire yang terpejam, Aaron melihat ketenangan yang belum pernah ia rasakan, ketenangan yang seolah terpancar dari kehadirannya sendiri.
Damai.
Kata itu bergaung dalam benak Aaron. Bagaimana bisa wajah yang dulu selalu tegang dan penuh air mata kini bisa setenang ini?
Aaron masih ingat betul betapa ia dulu menolak kehadiran Claire, betapa ia menghindarinya, betapa dinginnya ia bersikap. Setiap kali Claire mendekat, ia akan menarik diri. Setiap kali Claire berbicara, ia akan membalas dengan kata-kata singkat dan tanpa emosi. Rasa tanggung jawab yang ia pikul terasa seperti beban, bukan anugerah. Ia bahkan pernah berpikir untuk melarikan diri dari semua ini.
Penyesalan itu tiba-tiba mencengkeram Aaron. Ia menyadari betapa kejamnya ia. Bagaimana bisa aku melakukan hal semacam itu pada wanita sepertinya?
Aaron, yang selalu berpegang pada logika dan efisiensi, kini dihadapkan pada emosi mentah yang tidak bisa ia klasifikasi. Ia telah bersikap seperti seorang pengecut, menyakiti seseorang yang tidak bersalah.
Pikirannya melayang pada Benjamin. Nama itu selalu memicu emosi kompleks dalam diri Aaron—campuran antara kasih sayang seorang saudara, kekecewaan, dan kadang-kadang, rasa frustrasi. Benjamin, yang selalu amburadul, yang selalu mencari masalah, yang selalu memerlukan campur tangan keluarga. Benjamin, yang dicintai Claire.
Saat dia tahu Benjamin meninggal dunia… bagaimana keadaannya? Aaron membayangkan Claire yang rapuh, mungkin menangis sendirian di sebuah sudut, hatinya hancur, sendirian menghadapi berita tragis itu. Tanpa ada yang mendampinginya, tanpa ada yang menopangnya.
Gelombang penyesalan yang lebih dalam menghantamnya. Jika saja aku ada di sana... Aaron ingin sekali menarik kembali waktu itu, berada di samping Claire, memeluk tubuh yang rapuh dalam kesedihan itu, menopangnya di saat-saat tergelapnya. Ia membayangkan dirinya membisikkan kata-kata penghiburan, menawarkan bahunya sebagai sandaran.
Lalu setelahnya… aku akan mengambil tanggung jawab terhadapnya. Terhadap bayinya. Tanpa harus menjadikannya bayang-bayang ditempat ini.
Rahang Aaron mengeras. Ada kepahitan di balik penyesalan itu. Ia menyesal telah menjadi manusia yang acuh tak acuh, yang hanya peduli pada dirinya sendiri dan bisnisnya. Bagaimana mungkin ia tidak melihat kerapuhan Claire yang begitu jelas? Wanita sepolos dan senaif itu, sampai mau-mau saja menjalin hubungan dengan Benjamin yang amburadul dan pada akhirnya mengandung anaknya.
Aaron sangat tahu Benjamin adalah pria yang bermasalah. Ia sudah berusaha keras untuk menarik Benjamin keluar dari lubang itu, namun Benjamin selalu menolaknya. Dan kini, Claire adalah korbannya.
Saat pikiran-pikiran itu berkecamuk, bibir Claire di sofa sedikit melengkung, membentuk seulas senyum yang begitu manis, seolah ia sedang bermimpi indah. Senyum itu menghanyutkan Aaron. Hatinya mencelos, namun kali ini bukan karena penyesalan.
Seketika, pikiran aneh lainnya muncul. Jika Benjamin bangkit dari liang kuburnya, apakah wanita ini akan kembali padanya dan meninggalkanku? Pertanyaan itu memicu gelombang aneh di dada Aaron. Rasa ketidaksukaan dan sesuatu yang mirip kecemburuan tercetak jelas di wajahnya.
Apakah Claire akan menceraikan dia dan menikahi Benjamin? Apakah Claire tidak akan bersikap manja padanya lagi, dan malah bersikap dingin padanya atas balasan yang Aaron perbuat padanya selama ini?
Rasa sakit itu tidak terduga. Aaron merasakan hatinya mencelos, seperti ada lubang kosong yang tiba-tiba menganga. Cengkraman di mouse laptopnya menguat. Wajahnya mengeras, ekspresi yang menunjukkan ia tidak suka dengan pikiran itu. Tidak. Dia tidak akan kembali pada Benjamin. Entah mengapa, pikiran itu terasa begitu mengancam.
Aaron menutup laptopnya dengan gerakan tegas, suara jepitan penutupnya memecah kesunyian. Ia bangkit dari duduknya, mendekati sofa tempat Claire terlelap. Dengan gerakan hati-hati, ia menyelipkan satu tangan di bawah punggung Claire, dan tangan lainnya menopang kakinya. Ia mengangkat Claire pelan, tubuh wanita hamil itu terasa lebih ringan dari dugaannya. Aroma aftershave Aaron yang hangat dan familier menyelimuti Claire yang masih terlelap.
Ia menggendong Claire menuju kamar wanita itu di lantai dua. Setiap langkahnya terasa disengaja, hati-hati, seolah Claire adalah harta karun yang rapuh. Ia membuka pintu kamar Claire yang sedikit terbuka, lalu meletakkan wanita itu perlahan di atas tempat tidur. Ia merapikan selimut yang sedikit tersingkap, memastikan Claire nyaman.
Saat Aaron hendak berbalik pergi, sebuah tangan kecil yang hangat tiba-tiba meraih pergelangan tangannya. Langkah Aaron terhenti. Ia menoleh, melihat mata Claire sudah terbuka. Claire tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum, senyum lembut yang masih mengandung sisa-sisa mimpi indahnya. Dengan gerakan lambat, ia menarik pelan tangan Aaron, isyarat tanpa kata yang begitu jelas.
Aaron terdiam sejenak, lalu perlahan mendekat, membiarkan Claire menarik tangannya. Ia duduk di tepi tempat tidur, di samping Claire.
Claire memegang tangan kanan Aaron dengan kedua tangan kecilnya yang lembut. Dengan gerakan yang penuh kasih sayang, ia meletakkan telapak tangan Aaron yang besar dan hangat di pipinya, merasakan suhu tubuh Aaron yang menenangkan. Claire memejamkan mata sesaat, senyumnya semakin lebar, menikmati kehangatan dan keheningan yang menyelimuti mereka.
Tidak ada kata di antara mereka. Ruangan itu terasa begitu tenang, sunyi, hanya diisi oleh napas teratur Claire dan detak jantung Aaron yang kini bergemuruh. Aroma aftershave Aaron yang khas, kini berpadu dengan aroma tubuh Claire yang manis, memenuhi indra Aaron.
Selagi Claire sibuk merasakan kehangatan tangan Aaron dan mencium aroma yang ia dambakan, Aaron hanya memerhatikan wajah itu. Ia tidak merasa gugup, tidak canggung juga. Sebaliknya, ia merasa terbiasa dengan sikap manja Claire. Apapun yang Claire lakukan sekarang, sama sekali tidak mengganggunya. Ia malah memandang wajah itu dengan sorot mata yang sulit digambarkan, tidak tajam seperti dulu, tidak dingin, namun lebih ke tatapan yang tenang, penuh makna, dan bahkan sedikit posesif.
Saat mata Aaron bertemu dengan mata Claire, Claire tersentak. Tatapan Aaron bukan lagi tatapan yang mengabaikan atau menghakimi. Itu adalah tatapan tak biasa, yang membuat hati Claire berdegup lebih cepat, mengisi dadanya dengan sensasi yang belum pernah ia rasakan. Tatapan Aaron seolah mengunci matanya, menatap begitu dalam, menembus sampai ke dasar jiwanya. Claire tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Perlahan, sangat perlahan, Aaron menunduk. Napas Claire tertahan di tenggorokannya. Aaron mendekatkan wajahnya, lalu mengecup keningnya dengan lembut, sebuah sentuhan yang penuh kelembutan yang mengejutkan.
"Istirahatlah lebih lama," bisik Aaron, suaranya dalam dan serak, namun kini memiliki nada kehangatan yang baru. "Aku akan menyuruh Susan membangunkanmu saat makan malam tiba."
Setelah itu, Aaron bangkit dari tempat tidur. Ia berbalik, melangkah keluar dari kamar itu, meninggalkan Claire yang masih terbaring.
Debaran jantung Claire begitu cepat, seolah ingin meledak dari dadanya. Wajahnya memerah padam, menjalar hingga ke telinga. Ia merasakan sensasi geli di keningnya, di tempat Aaron mengecupnya.
Baginya, itu bukan sekadar kecupan. Itu adalah janji.
Claire meringkuk seperti kucing di atas tempat tidur, menenggelamkan wajahnya yang bersemu merah di antara bantal, dengan kedua tangan meremat kuat seprei. Pipinya terasa panas, dan senyum konyol tak bisa lepas dari bibirnya.
Ia membalikkan tubuhnya, menatap langit-langit, tangannya tanpa sadar menyentuh keningnya. Aaron... dia... dia mengecupku. Kehangatan itu menyebar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa ringan, melayang.
Ia menggulingkan tubuhnya, menelungkupkan wajah ke bantal, mencoba meredakan debaran jantungnya yang liar. Setiap tarikan napas terasa seperti ledakan. Ia terlalu bahagia, terlalu terkejut, terlalu salah tingkah. Hari ini, ia berhasil mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga.