"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Koma
Tubuh Bram terbaring kaku di atas ranjang putih dengan alat bantu pernapasan yang terpasang. Wajahnya pucat, tenang, seolah sedang tidur panjang yang entah kapan akan berakhir.
Cassie duduk di kursi di sisi ranjang, tangannya menggenggam jemari Bram yang terasa dingin. Perutnya kini membesar, memasuki bulan ketujuh kehamilan.
Setiap hari ia datang, Cassie mengajak Bram berbicara. Berharap suara itu bisa menjangkau Bram yang tertidur dalam dunia tak bernama.
“Bram…” bisiknya pelan. “Hari ini anak kita menendang lebih kencang. Kumohon bangunlah kalau kamu ingin merasakannya."
Tak ada jawaban. Hanya bunyi monoton dari alat monitor detak jantung dan suara lembut mesin pernapasan.
Cassie menghela napas panjang. Rasanya seperti berjalan di lorong panjang yang gelap, dengan satu cahaya kecil di ujungnya yang semakin lama semakin redup.
Kadang ia berharap waktu bisa dibalikkan—kembali ke saat Bram memintanya pulang ke Indonesia. Andai saja ia bisa melepas egonya, andai saja ia ikut Bram hari itu.
Tapi semuanya sudah terlambat. Bram tak pernah sampai ke bandara. Kecelakaan itu datang tiba-tiba. Mobil yang ditumpanginya ditabrak dari samping oleh truk besar yang melintas dengan kecepatan tinggi. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun kesadarannya tak pernah kembali sejak hari itu.
“Cassie...” suara pelan memecah lamunannya. Melinda, ibu Bram, berdiri di ambang pintu dengan wajah letih. Rambutnya mulai memutih, dan matanya sembab.
Cassie menoleh. “Ibu...datang pagi ini?”
Melinda mengangguk lemah. Ia duduk di samping Cassie dan menatap putranya dengan tatapan pilu.
“Sudah tiga bulan...” gumamnya. “Dokter bilang, harapan semakin kecil, Cassie. Kami... kami sudah ikhlas, Nak.”
Cassie menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang menggenang. “Jangan bilang begitu. Aku percaya Bram akan bangun. Dia hanya... butuh waktu. Dia berjanji padaku akan kembali. Pasti dia akan kembali.
Namun hatinya sendiri tak yakin. Tiga bulan bukan waktu singkat. Ia sudah menemani setiap hari. Menyaksikan bagaimana tubuh Bram tak memberi respon sedikit pun. Dan kini, bayinya hampir lahir. Sendiri.
Melinda menatap Cassie dengan lembut. “Kau sudah sangat kuat, Nak. Tapi kalau kau lelah... kau boleh berhenti berharap.”
Perempuan itu tidak menjawab. Tangannya tetap menggenggam jemari Bram, seakan masih bisa mengalirkan harapan ke dalam tubuh itu.
Hari berganti. Malam kembali turun di New York. Cassie pulang ke apartemen, berjalan pelan di lorong dengan satu tangan menopang punggung bawahnya yang terasa berat.
Sesampainya di rumah, ia mendapati pesan dari adik iparnya. Reynan. Lelaki itu masih sering menghubunginya, walau kini ia tahu Reynan tidak pernah lebih dari sekadar seorang adik yang diam-diam menaruh hati padanya.
Isinya singkat:
Cassie, aku tahu waktumu berat. Tapi jika kau butuh tempat bersandar, aku masih ada. Jika Bram tak kembali, izinkan aku menjaga kalian berdua.
Cassie membaca pesan itu berulang kali. Ada bagian dari dirinya yang merasa terharu. Tapi ada pula yang diliputi rasa bersalah. Ia masih istri Bram. Tapi... sampai kapan?
Beberapa hari kemudian, ia kembali ke rumah sakit dengan langkah lebih lambat dari biasanya. Tubuhnya kelelahan. Di dalam ruangan, tak banyak yang berubah. Bram masih terbaring, seakan waktu berhenti hanya di tubuhnya.
Cassie duduk seperti biasa, lalu menggenggam tangan suaminya.
“Bram... aku tahu kamu mungkin tidak bisa mendengar aku. Tapi aku ingin jujur.”
Ia menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara bergetar.
“Aku lelah, Bram. Aku ingin kuat, sungguh. Tapi aku tak tahu harus menunggu sampai kapan.”
Ia menunduk, air matanya jatuh satu per satu.
“Reynan bilang... dia bersedia menjaga aku dan anak kita. Aku tidak pernah berpikir untuk membuka hati lagi. Tapi kalau kamu terus seperti ini... aku harus mempertimbangkan kehadiran pri lain dalam hidupku.
Tangannya gemetar saat menatap Bram. Dia tahu hal yang dikatakan olehnya adalah sebuah omong kosong belaka. Dia tidak mungkin berpaling semudah itu.
“Maafkan aku. Tapi aku hanya perempuan biasa, Bram. Aku ingin membesarkan anak kita bersama seseorang yang mencintainya, yang bisa bicara, yang bisa memeluk dan menyayangi.”
Lalu, dalam sunyi yang panjang, tangannya yang menggenggam jemari Bram tiba-tiba merasakan sesuatu.
Gerakan kecil. Cassie tertegun. Ia menoleh, menatap tangan itu dengan mata membelalak. Jemari Bram, perlahan, menggenggam balik.
“Bram?” suaranya nyaris tak terdengar. “Bram! Kamu... kamu dengar aku?!”
Monitor detak jantung menunjukkan peningkatan aktivitas. Mesin di samping tempat tidur mulai berbunyi dengan ritme yang lebih cepat. Cassie berdiri, menekan tombol darurat dengan tangan gemetar.
Beberapa detik kemudian, tim medis berlarian masuk. Dokter utama memeriksa pupil mata Bram dan mengangguk.
“Dia mulai sadar. Ada respon.”
Cassie tak bisa berkata-kata. Ia hanya berdiri mematung, tangan menutup mulutnya, air mata mengalir deras di pipinya.
Beberapa hari kemudian, Bram benar-benar sadar. Matanya terbuka, menatap langit-langit putih yang asing, lalu perlahan beralih ke arah jendela. Kepalanya terasa berat, tapi ia tahu... ia hidup.
Saat Cassie masuk, ia langsung tersenyum meski lemah.
“Cassie...Kamu tidak pergi?" ucap Bram muram.
Cassie menghampiri dan memeluknya lembut. “Aku di sini. Aku tak pernah benar-benar pergi.”
Bram menatap perut Cassie yang membesar, lalu mengangkat tangannya, menyentuhnya dengan lembut.
“Anak kita... dia baik-baik saja?”
Cassie mengangguk, air matanya kembali jatuh.
“Dia baik. Dan dia menunggu kamu bangun. Sama sepertiku.”
Bram tersenyum, matanya berkaca-kaca.
“Aku mendengar kamu. Saat kamu bilang kamu akan menerima Reynan... tubuhku berusaha kuat untuk bangun.”
Cassie tertawa pelan di sela isaknya. “Maaf kalau aku harus mengatakan itu. Tapi... mungkin memang kamu membutuhkan dorongan untuk kembali bangun.”
Mereka tertawa bersama, tangis dan tawa bercampur dalam pelukan yang lama, erat, dan penuh rasa syukur.
Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, Cassie merasa napasnya kembali lega. Masa depan mereka belum pasti, tapi hari ini, mereka kembali bersama. Dan itu cukup.
"Kita akan bersama selamanya, Cassie. Maafkan aku membuatmu menunggu terlalu lama."
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca... ❤️
misteri??????
Apakah Raina akan melampiaskan balas dendamnya pada Elira? 🤔🤔🤔
Semoga mommy dan baby nya sehat selalu 🤲🙏❤️
Dan juga Bram sekarang sudah bisa bersikap tegas sama Raina & emaknya, setelah dia menyadari kesalahannya dan gak mudah menggapai hati cassie