Lily, seorang mahasiswi berusia dua puluh tahun, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena satu malam yang penuh jebakan. Ia dijebak oleh temannya sendiri hingga membuatnya terpaksa menikah dengan David Angkasa Bagaskara- seorang CEO muda, tampan, namun terkenal dingin dan arogan.
Bagi David, pernikahan itu hanyalah bentuk tanggung jawab dan penebusan atas nama keluarga. Bagi Lily, pernikahan itu adalah mimpi buruk yang tak pernah ia minta. Setiap hari, ia harus berhadapan dengan pria yang menatapnya seolah dirinya adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, di balik sikap angkuh dan tatapan tajam David, Lily mulai menemukan sisi lain dari pria itu.
Apakah Lily mampu bertahan dalam rumah tangga tanpa cinta itu?
Ataukah perasaan mereka justru akan tumbuh seiring kebersamaan atau justru kandas karena ego masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diandra_Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pabrik Anak
Lily termenung sepanjang malam. Ia tak bisa tidur gara-gara memikirkan kata-kata dari David saat makan malam tadi. Matanya menatap langit-langit kamar yang luas ini. Ia seorang diri di dalam kesepian.
Suami menyebalkannya itu malah meninggalkannya. Entah pergi kemana malam-malam begini, mungkin ke rumah kekasihnya?
Lily merengut kesal sepanjang jalan pulang tadi. Bisa-bisanya David menceritakan bahwa hubungannya dengan Veronica sudah membaik. Itu pula yang menjadi alasan dia tak mau agar Lily hamil. Dia juga bilang jika mulai detik ini mereka tidak bisa bersentuhan. David berjanji untuk tidak melakukan hubungan suami istri dengannya lagi.
Penuturan itu sebenarnya sebuah keuntungan bagi Lily. Dengan begitu, ia bukan lagi budak nafsu pria itu. Lily bisa menikmati kehidupan mewah selama setahun ini tanpa harus melayaninya.
Namun sepertinya ada yang kosong. Jujur, Lily sudah tertarik dan candu akan sentuhan liar itu. Sensasi yang luar biasa ketika bersetubuh dengan suaminya.
'Aku jadi jablay setahun ini. Ya, status istri tapi tidak dibelai,' gumamnya.
"Astaga, Lily. Sejak kapan kamu jadi murahan seperti ini. iiwwwhhh, cuma gara-gara dia, aku jadi gundah. Seperti tidak ada pria lain saja. Come on, Lily. Setelah badai ini, kamu akan bebas dan pasti menemukan pria idaman yang benar-benar tulus." Lily berbicara sendiri untuk menyemangati dirinya yang sedang galau itu.
***
Pagi menjelang. Suasana kali ini berbeda. Semua penghuni rumah ada di meja makan, kecuali David.
"Selamat pagi semuanya!" Lily memberanikan diri menyapa.
"Selamat pagi, Nona Lily. Duduklah! Mana suamimu?"
DEGH.
Belum apa-apa dia sudah dibuat jantungan. Pertanyaan Tuan William berhasil membuat Lily tergagap di pagi ini.
"David ada meeting penting ke luar kota pagi ini, Yah. Tadi dia gak sempat pamit pada ayah. Benar kan, Lily?" Tuan Handoko melirik menantunya dan menekankan pertanyaan yang bahkan Lily saja tidak tau dimana suaminya saat ini?
"I–iya, benar, Pih,," jawab Lily cari aman.
"Oh begitu. Cucuku sangat sibuk sekali. Tidak bisakah dia sarapan dulu bersama kakeknya yang sudah tua ini?" Tuan William nampak kecewa. Lily hanya menunduk, menyembunyikan raut gugup karena berada di antara orang-orang penting ini.
"Kamu sudah rapi, apa kamu mau pergi hari ini?" tanyanya.
"Iya nih, Yah. Aku mau ada acara sosialita. Biasa lah," timpal Nyonya Amanda seraya mengibaskan kipas bulu berwarna senada dengan setelan formalnya berwarna merah menyala.
"Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya pada Nona Lily," ujar Tuan William yang sontak membuat bibir merah merona itu mengerucut seketika.
"A–aku? Aku mau berangkat kuliah, kebetulan ada kelas pagi, Kek." Lily memberanikan diri mengangkat wajahnya. Sebenarnya ia merasa sangat gugup, apalagi tatapan Nyonya Amanda begitu datar. Lama tak jumpa dengan ibu mertuanya, Lily merasa jika Nyonya Amanda sedikit berbeda. Kadang sangat baik, kadang sangat ketus padanya.
"Kalau begitu biar kakek yang mengantarmu," ucap Tuan William yang membuat semua orang yang ada di ruang makan itu terlonjak.
"A–apa? Gak salah, Yah? Ayah tidak perlu merendahkan diri ayah untuk mengantar menantu kami. Nona Lily biasa diantar Pak Seno," timpal Nyonya Amanda merasa heran dengan sikap ayah mertuanya itu.
"Apa menurutmu mengantar ke sekolah adalah suatu hal yang rendah?"
"Bu–bukan begitu. Tapi ayah ..."
"Sudahlah, Sayang. Ayah hanya ingin mengantar. Mungkin beliau rindu jalan-jalan di kota ini. Maklum saja ayah sudah lama tidak pulang ke Indonesia," sahut Tuan Handoko melerai. Ia mendelik ke arah istrinya, mengisyaratkan agar istrinya itu untuk diam.
"Kek, mohon maaf. Suatu kehormatan karena anda menawarkan diri untuk mengantar, namun saya bisa berangkat sendiri, Kek," ucap Lily yang merasa seakan dirinya lah penyebab perdebatan kecil pagi ini.
"Kamu berani membantah keinginan saya, Nona?" Tanyanya dengan lirikan tajam.
"Ti–tidak, Kek."
"Bagus. Kalau begitu cepat sarapan. Saya akan antar dan jemput kamu ke sekolahmu," ujarnya penuh penekanan tanpa ada yang berani membantah. Sekalipun Tuan Handoko dan Nyonya Amanda yang sebenarnya sedikit keberatan itu. Mereka merasa jika apa yang Tuan William lakukan pada Lily sangat berlebihan.
Sementara itu Ricardo menguping pembicaraan di balik tembok pembatas ruang makan itu. Awalnya ia hendak bergabung untuk sarapan bersama. Namun saat mendengar permintaan kakeknya, kakinya tiba-tiba terhenti seketika. Dirinya ikut geram karena dengan adanya Tuan William sepertinya rencananya untuk mendekati Lily semakin sulit. Padahal niatnya hari ini ia akan melaksanakan melancarkan aksinya, mumpung David tidak pulang sejak semalam.
'Aarghhh... Kakek ngapain sih pake mau antar segala? Menyebalkan sekali!' gerutuku kemudian ia tak jadi bergabung untuk sarapan bersama. Anak bungsu keluarga Bagaskara itu dengan kesal segera tancap gas menggunakan motor gede kesayangannya. Meninggalkan rumah dan memilih untuk melampiaskan kemarahan pada teman-temannya di kampus.
Jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi saat Lily sudah berada di dalam mobil bersama Tuan William. Rasanya jangan ditanya. Jantungnya rasanya mau copot karena terus merasa gugup sekaligus takut. Lily benar-benar tak nyaman duduk berdua bersama kakek tua itu.
"Semester berapa sekarang?" tanya Tuan William.
"Se–semester akhir, Kek," jawab Lily gugup.
"Waah, bentar lagi lulus dong. Bagus, berarti nanti tidak ada alasan untuk kalian menunda kehamilan," ujarnya yang membuat Lily terbelalak.
'Aah, sial! Kenapa aku sampai lupa? Bukankah Mas Dav semalam bilang aku harus menolak dengan alasan masih kuliah. Kenapa aku gak bilang aja masih semester 6 atau 7? Duuh, gimana ini?'
"Kenapa pucat begitu? Kamu sakit?" tanyanya saat melihat Lily bergeming dengan wajah yang mulai memucat. Ia bingung harus bicara apa? Bisa mati kalau David tahu bahwa Lily jujur pada Tuan William ia akan segera lulus.
"Eng–nggak kok, Kek. Aku cuman belum siap saja untuk hamil."
"Belum siap? Kau hanya belum mencobanya? Apa kau takut kehilangan masa mudamu Jika punya anak? Kau jangan risau, bahkan setelah punya anak, kamu bisa menikmati hari-harimu karena anak kalian nanti akan diasuh oleh baby sister. Kau masih bisa jalan-jalan ataupun melakukan apapun yang kamu suka," ujarnya.
"Ta–tapi, Kek..."
"Apa kamu tidak ingin menjadi ibu dari pewaris keluarga Bagaskara? Cicitku nanti adalah salah satu penerusnya. Anak darimu dan David," ujar Tuan William yang membuat Lily kebingungan.
"Ma–maksud kakek? Bukankah setelah Mas Dav, pewaris keluarga akan jatuh pada Tuan muda Ricardo? Itu yang aku dengar dari Mami." Lily menuturkan apa yang diketahuinya. Meskipun ia sendiri masih bingung dengan silsilah orang-orang kaya itu. Padahal apa susahnya membagi hak waris agar tidak ada perselisihan antara dua bersaudara?
Tuan William tersenyum miring lalu menatap ke arah jendela samping. Melihat lalu lintas yang lancar ramai di pagi ini. Ia tak ingin menjelaskan apapun pada orang asing. Yang ia inginkan hanyalah seorang penerus dari David sebelum dirinya meninggal dunia.
"Pikirkan saja baik-baik, Nona Lily. Ini akan sangat menguntungkanmu. Selamanya kau akan hidup dalam kemewahan. Kakek pastikan keluargamu pun akan sejahtera. Kau hanya perlu hamil dan memberiku cicit sebanyak-banyaknya. Permintaan ini tak sulit mengingat kau masih muda dan produktif," ujarnya yang lagi-lagi membuat Lily terbengong. Antara jengkel dan bingung bercampur jadi satu.
'Sial, kakek tua itu bilang aku produktif. Mana suruh bikin anak banyak. Memangnya aku pabrik anak?' gerutu gadis manja itu.
***
Bersambung...